:::: MENU ::::

Kamis, 28 Juli 2016

Ibuku mati tahun lalu. Anakku mati dua minggu sebelum lebaran kemarin. Anakku tidak mati diracun sianida. Tak ada yang tahu namanya, tak perlu diberitakan media massa, tidak perlu pula ke meja hijau demi meminta keadilan nasib. Keadilan itu apa? Tai kucing tah?
Tentang Ibu dan Anak yang Mati
Creation of Adam, Michelangelo

Tadi siang, sebuah rumah makan memanggilku membenahi pipa wastafelnya yang bocor. Aku melintasi meja dimana lelaki bahagia bersama teman-temannya sedang makan siang. Aku tahu dia, jarak tiga rumah dariku. Rumahnya menghadap jalan, rumahku ada di gang selebar motor yang terletak di samping rumahnya. Dia berbisik sambil mengangkat cangkir kopi pada teman bicaranya, “Aku tak akan tahan kalau jadi dia.” Kenapa dia perlu berbisik, harusnya dia mengatakan persis di telingaku. Dia kira aku kira aku akan bunuh diri? Demi Tuhan, jangan samakan aku dengannya.

Jika memang karena seumur hidup aku melarat, tinggal di rumah kumuh –yang belum aku bayar uang sewanya, membawa peralatan pipa di tas kumal, dan ibu dan anak yang meninggalkanku membuatku punya alasan untuk bunuh diri. Memang pernah terlintas di benakku pikiran kotor itu, tapi aku kira aku tak pernah bergantung dengan orang lain soal nasibku. Ibu dan anakku belum tentu bahagia jika aku menyusul mereka. Dan aku tak punya daya mencegah kepergiannya. Aku masih hidup di Bumi, di planet yang sama dimana istriku juga berpijak namun di belahan yang lain.

Tetangga dengan rumah berpagar tinggi dihiasi pecahan kaca di atasnya itu, dia tidak begitu mengenal tetangganya yang kumal ini. Jika dia mengatakannya itu di depan telingaku, aku sangat bahagia. Betapa aku akan tahu bahwa kecukupan materi membuat hati manusia lemah dan demikian emosional. Betapa mata yang lemah saat dia membayangkan berada di posisiku akan menghibur diriki, aku kira.

Dan sekarang aku tahu apa guna ‘empati’ bagi seorang korban takdir seperti diriku. Empati membuat orang yang bernasib buruk sedikit terhibur, bukan karena orang lain mengerti perasaannya (mustahil itu), tapi karena ternyata dirinya lebih kuat daripada orang lain yang sudah mewek hanya karena membayangkan mengalami nasib yang sama.

Orang semacam dia itu adalah orang kafir. Iya, kafir, kalian tak salah dengar. Mereka gila kuasa akan apapun. Begitu satu barang “miliknya” diambil atau berkurang, mereka jadi gila. Begitu barangnya bertindak tidak sesuai perintah mereka naik pitam. Lihatlah, bahkan keluarganya pun dianggapnya hanya sekedar harta kekayaan. Penghargaan macam apa itu?

Dia adalah contoh terbaik keterasingan. Aku juga korban keterasingan, terasing dari kota yang berkembang lebih cepat dibanding tebal dompetku. Tapi, itu bukan salahku jika kota ini tumbuh. Itu di luar kontrol seorang tukang pipa. Namun, dia, yang berharta itu, dia menjadi asing akan materi yang diusahakannya sendiri. Dia kira bisa mengatur segalanya, dan tiba-tiba, puffffff.... Semua bergerak tak tentu arah, remote control tak bekerja lagi kali ini. Pada sebuah bencana, dia mengaku depresi sedang aku menyadari.

Ibu dan anakku mati, tak ada cuti esok hari, bocornya pipa rumah orang tidak berhenti dengan sendirinya. Dan aku masih disiksa waktu, aku mengadu pada Pastur, dan dia mengatakan itu sama sekali bukan urusan Tuhannya. Benar sekali. Urusan hatiku bukanlah urusan Tuhan, aku sendiri yang harus menenangkannya.

Sebaiknya aku tenggak air putih banyak-banyak, dan segera  menyapa kegelapan kamar. Selamat malam.

*) Fiksi yang muncul setelah menonton Searching for Sugarman dan mendengar anak bisu yang tertawa bercanda dengan bapaknya di kamar lantai bawah. 28 Juli. Duren Tiga, Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar