:::: MENU ::::

Rabu, 29 April 2015



                 Iklan mie instan yang saya pilih untuk ditelaah ini adalah iklan Mie Sedaap yang terbaru. Secara singkat, bisa saya ceritakan latarnya adalah demikian: Beberapa keluarga sedang berkumpul di sebuah rumah. Disana mereka melakukan aktivitas bersama yang cenderung menyenangkan seperti berenang, bernyanyi, berkumpul dan berbincang diiringi dengan banyak tawa. Rumah yang dijadikan latar tempat adalah sebuah rumah dengan fasilitas dapur bersih, kolam renang, taman, juga balkon di lantai dua. Perkumpulan yang saya rasa lebih dari sepuluh orang ini memilih mie instan sebagai hidangan utama yang disajikan.

                Mari kita bicarakan satu persatu makna yang ingin disampaikan oleh pembuat iklan kepada para pemirsa sekaligus target konsumennya dalam layar kaca televisi ini. Pertama, adalah lagu “Siapa yang Suka” yang dijadikan backsound: lagu ini sudah cukup populer dan mempunyai lirik yang sederhana, sehingga dalam iklan, lagu ini cukup mudah dinyanyikan oleh sekumpulan anak kecil dengan menggunakan instrumen musik yang sederhana pula (gitar kecil dan piano tiup). Sekumpulan anak kecil yang sedang bernyanyi di taman inilah yang memulai lirik pertama lagu: “Mie sedap siapa yang suka?” Sebuah lirik yang lebih mudah kita dengar bersifat persuasif, bukan sebuah pertanyaan murni. Pertanyaan yang mengajak ini kemudian ditanggapi oleh remaja di balkon lantai dua: “Mie Sedaap semuanya suka”. Disini ada sebuah misi yang dilancarkan pembuat iklan untuk membuat pemirsa menganggap bahwa produk mereka sebagai selera universal (setidak-tidaknya dalam keluarga ini). Dalam sebuah perkumpulan keluarga, tuan rumah bisa saja terjebak dalam kebingungan memilih menu yang pas bagi seluruh anggota keluarga. Kebingungan yang pasti adalah antara memilih satu menu yang dianggap cocok dengan selera seluruh anggota keluarga atau memilih menyediakan beragam menu demi mengakomodasi selera yang berbeda-beda dari setiap anggota. Produk mie instan digambarkan sebagai satu menu yang dianggap cocok untuk mendamaikan kebingungan ini. Produk ini hadir dalam berbagai rasa, namun dengan penyajian yang tidak rumit, dia hadir sebagai solusi dari keberagaman selera konsumen.
                Tidak berhenti disana, kita bisa meneruskan pencarian makna dari setiap tanda yang disajikan oleh iklan dengan durasi kurang dari 30 detik ini. Mungkin kita juga mulai bertanya pada diri sendiri mengapa harus susah payah menggeledah iklan ini, sedangkan produk yang diiklankan sudah kita kenal ini tampil dengan cara yang sederhana dalam sebuah bungkusan. Sebuah produk, hadir dalam masyarakat bukan hanya berupa bungkus plastik, namun juga beserta imaji-imaji yang menyertainya, mereka hadir dengan ilusi yang mengatakan bahwa mereka adalah barang yang diperlukan. Dalam iklan ini, kita sudah membicarakan bahwa mie instan adalah sebuah solusi yang ditemukan untuk menghadapi kebingungan kita dengan keberagaman selera. Lebih dari itu, iklan sebenarnya juga menyisipkan cita-cita setiap individu untuk menarik konsumennya sekalipun tidak berhubungan langsung dengan produk mereka. Kita bisa melihat hal ini pada iklan ini dan banyak iklan lainnya, pada iklan sabun kecantikan misalnya: kita dihadapkan pada sebuah wanita berkulit cerah dan mulus yang mandi dengan busa yang melimpah, makna busa disini tidak hanya menunjukkan kebersihan, namun juga sebuah kemewahan/luxury, sebuah imaji yang didukung oleh tempat mandi bathup (sedangkan di Indonesia, mayoritas masih memakai gayung), juga kamar mandi yang memilih warna putih, merah maroon, atau juga ungu, sesuai warna tema sabun. Ada sebuah cita-cita masyarakat yang ingin difasilitasi oleh iklan, cita-cita universal ini adalah “cita-cita untuk menjadi borjuis”. Sejak persamaan hak didengungkan sebagai objek yang diperjuangkan, beberapa masyarakat dari kalangan menengah ke bawah memaknainya sebagai terbukanya pintu untuk menjadi borjuis. Perusahaan dari berbagai produk meresponnya dengan baik dengan menampilkan produknya sebagai sarana-sarana menuju borjuasi. Mereka mengatakan kepada masyarakat bahwa, “Orang kaya memakai ini. Tapi bukan hanya mereka yang berhak memilikinya, anda juga.” Setidaknya itulah saya lihat pada iklan sabun kecantikan, shampoo, barang elektronik, tupperware, properti, juga mie instan yang akan segera kita bahas kedoknya sebentar lagi.
                Latar tempat dan para pemeran dalam hal ini yang menandai cita-cita borjuasi dalam iklan. Iklan produk ini mengambil latar tempat di sebuah rumah berfasilitas lengkap untuk memungkinkan sebuah kebahagian (semu). Sebuah rumah dengan area taman yang luas dan rindangnya pepohonan lengkap dengan balkon untuk menikmati pemandangan dari lantai dua, rumput yang tercukur rapi, dan juga kolam renang, serta dapur bersih. Para pemeran juga dipilih dari lintas generasi, sejak anak kecil, remaja, dewasa, hingga setengah baya. Dengan asumsi bahwa mereka adalah keluarga besar, mereka adalah contoh ideal untuk menggambarkan kebahagiaan bersama. Di Indonesia, keluarga tidak sekedar memiliki arti dalam kaitan masa lalu, namun juga bisa menjadi sebuah cita-cita. Kita sering mendengar cita-cita teman kita yang hanya ingin membahagiakan orang tuanya, memiliki anak yang sehat, tampan, dan cantik juga termasuk dalam cita-cita mereka. Inilah yang coba ditampilkan oleh produk ini. Sebuah cita-cita konsumen, yang dengannya mereka menampilkan bukan keadaan asli target konsumen, namun apa yang diinginkan konsumen dalam kehidupannya. Mereka juga dengan rendah hati memakai gagasan bahwa produk mereka bukanlah segalanya, namun hanya sebagian kecil dari cita-cita konsumen. Pembuat iklan ingin konsumen melihat produknya sebagai simbol dari cita-cita yang mungkin tidak akan pernah mereka capai. Bagi saya, setelah konsumen membeli dan memakai produknya yang tentu saja tidak akan mengantar mereka pada kondisi yang diinginkannya secara instan, maka pembuat iklan akan memakai semacam argumen, “Anda memang tidak bisa memiliki keluarga besar yang rukun, kolam renang, dan taman yang rindang, namun setidaknya anda bisa memakan apa yang juga mereka makan.”
                Hal menarik yang kita dapat pada iklan adalah bahwa mereka mencitrakan produk mereka menggunakan cara yang bahkan asing bagi mereka. Kita lihat pada scene selanjutnya. Ada sebuah adonan bahan dasar mie instan yang sedang ditekan-tekan dengan kedua tangan, sebuah proses yang bertujuan untuk melembutkan adonan sehingga tidak macet saat digiling dan dibentuk menjadi mie. Selanjutnya setelah berbentuk menjadi mie, tangan itu kemudian menguraikannya. Kita tahu bahwa produksi mie instan dalam skala besar tidak akan menggunakan kerja manual seperti yang ditampilkan ini, saya sendiri pernah melihat proses seperti ini saat pengusaha kecil rumahan membuat mie ayam di rumahnya dalam skala produksi kecil, sekecil rumahnya. Namun, kita tidak bisa mengatakan bahwa ini adalah bentuk kebohongan dari iklan (karena semua iklan adalah bohong secara harfiah). Kita bisa menganggapnya sebagai pencitraan produknya: tangan, dalam scene ini melambangkan sebuah usaha keras dalam membuat produk, tangan ini kemudian juga bisa diartikan sebagai kelembutan dan ketelatenan jika tampil bersama adonan bahan dasar mie. Scene selanjutnya saat mie diurai yang menghasilkan bentuk mie membentuk mirip getaran amplitudo menandakan bahwa struktur mie bersifat kenyal dan sekaligus tidak mudah patah (sebuah kata yang juga dekat dengan kata rapuh dan mudah rusak).
Ada pula adegan dimana layar dibagi menjadi dua bagian, satu bagian menampilkan bungkus mie instan, dan yang lainnya menampilkan beragam bumbu: rempah-rempah yang terlempar menuju ke arah muka pemirsa, sepotong jeruk nipis segar dengan air jeruknya yang menetes, lalu bawang merah dalam saringan yang direndam air, bahkan juga kelapa muda yang terbelah (satu-satunya komponen yang bahkan tidak ada dalam komposisi atau rasa mie instan). Semua bumbu ini menunjukkan mie instan secara asali. Pembuat iklan mencoba berbicara bahwa dalam sebungkus mie instan, terdapat bumbu-bumbu dapur yang telah diolah. Bumbu-bumbu dapur ini digambarkan dalam kondisi segar yang ditunjukkan dengan rempah-rempah yang terlempar, air yang berkecipak, menetes, dan menyembur dari masing-masing bumbu masakan. Imaji yang sempurnya untuk menggambarkan kerja keras, kesegaran yang tersaji dalam sebungkus makanan.[]










Jumat, 03 April 2015

Menjalankan hukuman mati di negeri ini tampak merupakan penegakan keadilan. Pada awalnya saya juga berpikir demikian: membunuh satu orang demi kebaikan orang banyak mungkin lebih bijak. Namun, bukankah pendapat itu juga yang digunakan pelaku teror keagamaan untuk membunuh orang lain yang tidak sejalan dengan kelompoknya. Kelompok radikal di Indonesia mengatakan bahwa “darah orang kafir itu halal”. Dengan gaya yang meniru, sekarang kita menyatakan bahwa “nyawa pengedar narkoba itu halal (untuk dihilangkan)”.
                Kita perlu menanyakan kembali mengapa hukuman mati harus diberlakukan? Saya mendapat jawaban dari Jokowi, Jaksa Agung HM Prasetyo.
Jokowi menjawab: “Kalau ada pengampunan untuk narkoba dan makin lama dibiarkan, hancurlah kita.” Dia juga menyisipkan data bahwa setiap harinya 50 orang di Indonesia meninggal karena mengkonsumsi narkoba.1 Saya masih tidak melihat alasan logis memilih hukuman mati dari jawaban Jokowi ini. Kita tahu bahwa para aktivis HAM tidak sedang meminta pengampunan atau peniadaan hukuman bagi para pengedar narkoba, mereka hanya tidak setuju dengan pemilihan hukuman mati. Dalam pikiran Jokowi, ada semacam sintesis bahwa jika dia tidak menghukum mati pengedar narkoba maka dia sedang mengampuni mereka. Kita tahu bahwa ada hukuman selain hukuman mati, dan kita masih belum bisa mendapatkan jawaban logis dari Jokowi mengenai pemilihan hukuman mati.
Jaksa Agung HM Prasetyo, seperti yang dikutip Kompas.com 20 Maret 2015 mengatakan bahwa hukuman ini akan membuat jera para pengedar narkoba. Dirinya juga mengatakan bahwa dampak dari hukuman mati ini memang tidak akan terasa dalam waktu dekat. Dia menggunakan argumen, “Sudah dieksekusi mati pun sudah seperti itu (masih ada penangkapan pelaku narkoba), apalagi kalau tidak,” kata Prasetyo. Argumen ini sebenarnya membuat saya geli. Ketika mengatakan bahwa hukuman mati akan membuat jera para pengedar narkoba, pemerintah sebenarnya perlu melakukan teror psikologis yang lebih daripada yang sekarang. Kita tahu bahwa hukuman mati dilakukan di penjara Nusakambangan, sebuah pulau yang terpisah dengan Pulau Jawa. Penembakan tahanan juga dilakukan di dalam ruangan khusus dengan hanya dilihat oleh para petugas penjara. Seandainya saja pelaksanaan hukuman mati ini disiarkan secara langsung lewat media televisi yang memungkinkan para pengedar narkoba melihat temannya ditembak jantungnya hingga terkulai. Menjadi teror yang lebih bagus pula jika pemirsa pengedar narkoba melihat temannya yang masih menggelepar setelah ditembak kemudian didekati oleh algojo untuk menerima tembakan tambahan di bawah telinga untuk memastikan kematiannya. Saya rasa dengan begitu, keinginan pemerintah untuk menimbulkan efek jera kepada para pengedar narkoba akan lebih mengena. Mungkin akan ada yang bertanya, “bagaimana jika tayangan itu ditonton oleh selain pengedar narkoba, atau anak kecil hingga menimbulkan trauma?” Saya akan jawab bahwa setiap orang yang bukan pengedar narkoba adalah calon pengedar narkoba, setiap orang yang bukan pembunuh adalah calon pembunuh, dan setiap orang yang bukan penjahat adalah calon penjahat, sungguh baik kan jika kita bisa membuat orang yang bukan pengedar narkoba mengurungkan niatnya menjadi pengedar dengan menayangkan tayangan eksekusi hukuman mati. Lalu, untuk ditonton anak kecil, mungkin kita bisa melabeli tayangan itu dengan huruf “D” (tanda tayangan untuk dewasa) di pojok kanan atas layar meskipun kita masih belum tahu apakah huruf itu bisa mencegah anak kita tidak menontonnya. Lalu dengan mengeksklusifkan eksekusi hukuman mati, kita harus bertanya dari sisi mana para pengedar narkoba mendapatkan efek jera? Saya rasa ini yang harus dijawab Jaksa Agung.
Darimana kita mengukur keberhasilan hukuman? Apakah dengan menurunnya angka kejahatan kemudian kita menganggap hukum yang kita jatuhkan pada penjahat berhasil? Apakah dengan menurunnya angka peredaran narkoba, kita bisa mengatakan bahwa hukuman yang kita jatuhkan pada para pengedarnya sudah cukup efektif?
Albert Camus, adalah salah satu tokoh filsuf eksistensialis dari Prancis yang dengan tegas menolak hukuman mati. Meskipun dalam pemikirannya mengatakan bahwa hidup itu absurd, dirinya menolak adanya hukuman mati. Dalam esainya berjudul “Merenungkan Guillotin”, dia mengatakan ketidaksetujuannya itu. Di Prancis, pada tahun 1957, tahun dimana Camus menulis esai ini, eksekusi hukuman mati dilakukan dengan guillotin (alat pemenggal menggunakan pisau raksasa). Prancis, telah memberlakukan eksekusi mati secara tertutup, dengan pertimbangan bahwa hal ini akan menimbulkan naluri sadistis penontonnya muncul. Di sisi lain, ini membuat alasan bahwa hukuman mati membuat jera para pelaku kejahatan menjadi dipertanyakan. Camus menyatakan protesnya dengan satir dalam paragraf berikut:
“Daripada hanya ditulis: “Jika kau membunuh, kau akan menerima balasannya di tiang gantungan”, bukankah atas dasar periketeladanan akan lebih baik jika dinyatakan: “Jika kau membunuh, kau akan dipenjarakan selama berbulan-bulan, atau bertahun-tahun, terkatung-katung antara putus harapan dan terus-menerus diserang teror, sampai akhirnya pada suatu pagi kami akan mendatangi selmu dengan berjingkat melepas sepatu agar kau tidak menyadari kedatangan kami, sementara kau lelap setelah gelisah semalaman tidak bisa tidur. Kami akan mencengkerammu, mengikat kedua tanganmu ke belakang, memotong leher bajumu, kalau perlu rambutmu. Karena kami menjunjung tinggi kesempurnaan, kedua tangan akan diikat sedemikian rupa sehingga tubuhmu bengkok membungkuk, dengan demikian lehermu akan mudah dicapai. Kemudian dengan dua pengawal di kanan-kirimu, kami akan bawa kau dengan kaki terseret sepanjang koridor. Lalu, di bawah langit gelap malam, salah seorang algojo akan mengangkatmu dan menelungkupkanmu di atas papan hukuman, sementara algojo lain menjaga agar kepalamu tidak bergerak di cekungan penyangga, sedang seorang lagi menjatuhkan pisau seberat 60 kilogram dari ketinggian dua setengah meter, pisau yang akan memotong lehermu dengan ketajaman sebuah silet.”
                Pada paragraf lainnya dia mengutip laporan Koestle bahwa saat eksekusi secara terbuka seorang pencopet di Inggris, ternyata para pencopet lain sedang beraksi dalam kerumunan penonton. Tidak ada bukti yang pasti bahwa sebuah hukuman mati bisa mencegah tindak kejahatan. Jika pun demikian, maka kejahatan di dunia pastilah sudah tidak ada di jaman sekarang, karena hukuman mati telah ada sejak jaman barbar.
                Menurut Frederic Bastiat, seorang pemikir dari Prancis pula, banyak orang yang salah menafsirkan bahwa hukum bisa mencegah suatu tindakan kejahatan. Masyarakat tentunya harus kecewa dengan kenyataan bahwa hukum tidak demikian adanya. Masih adanya kejahatan di muka bumi bukan dikarenakan hukuman untuk para penjahat masih terlalu ringan. Melainkan, dikarenakan sistem yang mengijinkan kejahatan itu masih ada. Praktisnya, masih eksisnya profesi pengedar narkoba hingga sekarang bukan berarti menunjukkan hukuman mati terlalu ringan bagi mereka, melainkan dikarenakan penyelundupan narkoba di Indonesia masih sangatlah mudah. Dari sudut pandang ini kita lihat bahwa ketimbang memperberat hukuman, kita masih bisa memperbaiki sistem keamanan untuk mencegah narkoba masuk. Kita masih belum terlalu yakin dengan sistem pengamanan untuk mengatasi penyelundupan narkoba, karena jamak diketahui bahwa di dalam penjara pun para naripadana masih bisa bertransaksi jual beli barang yang katanya menakutkan itu. Masihkah kita berani mengambil nyawa orang lain, sebagai konsekuensi dari sistem keamanan kita yang bobrok?  Kita bisa saja mengambil nyawa pengedar narkoba dengan harapan jumlah narkoba yang diselundupkan akan menurun, namun jika nyatanya nantinya jumlah narkoba tidak kunjung menurun, apakah kita bisa mengembalikan nyawa mereka sebagai bentuk permintaan maaf? Masihkah kita bisa bilang bahwa hukuman mati akan menimbulkan efek jera?
Saya rasa kita harus mengkaji ulang alasan untuk menghabisi nyawa orang, memutus garis keturunan seseorang, hanya untuk melampiaskan naluri membunuh ataupun menunjukkan ketegasan yang dicitrakan. Baru-baru saja, kita mendapatkan bahwa ada perampok motor yang dibakar oleh massa, lalu MUI merekomendasikan kaum homoseksual dihukum mati. Kita tidak bisa hidup tentram dengan menghukum orang lain dengan menghilangkan nyawanya. Indonesia yang terkenal dengan ramah senyumnya ternyata bisa menjadi pembunuh seketika.

1http://www.tribunnews.com/nasional/2015/02/14/jokowi-64-berstatus-terpidana-mati-narkoba-ajukan-grasi-saya-pastikan-semua-ditolak