:::: MENU ::::

Kamis, 11 Juli 2019

“Dunia ini penuh ilusi. Kita tertipu oleh semesta yang seakan-akan menampilkan diri sebagaimana adanya. Padahal, apa yang kita lihat adalah yang semata-mata keterbatasan inderawi manusia.”
-Neil de Grasse Tyson dalam Cosmos: A Spacetime Odyssey-

Ilmu astrofisika yang digeluti Tyson telah menemukan berbagai cara untuk melihat realitas yang tidak bisa ditangkap oleh indera manusia yang terbatas. Penemuan seperti sinar inframerah, x-ray, gamma, gelombang radio, dst. memvisualisasi dunia yang tak bisa ditangkap oleh kasat mata. Penemuan teleskop yang bisa mengumpulkan cahaya hasil ledakan galaksi dalam jarak ratusan tahun cahaya, mikroskop yang bisa melihat reaksi atom-atom bekerja pada setiap benda, visualisasi gelombang suara dalam musik. Namun, apakah ilusi hanya persoalan keterbatasan indera?
Benar bahwa kemajuan ilmu astrofisika berhasil menemukan cara mengungkap realitas lain,   tapi bagaimana jika cara pandang yang mendasari ilmu ini pun ternyata juga ilusi?
Astrofisika merupakan bidang yang melihat ruang sebagai kumpulan entitas terukur yang tak seluruhnya bisa dilihat kasat mata. Lefebvre menyebutnya sebagai realistic illusion, salah satu ilusi terhadap ruang yang ia ajukan. Ilusi ini bertumpu pada tradisi Aristotelesian yang menganggap bahwa ruang dan watku adalah kategori-kategori yang berisi kehadiran yang bisa dicerap. Pemahaman ini bersifat materialistik, dan meyakini bahwa benda-benda memang memiliki eksistensi yang tidak seluruhnya dipahami oleh subyek. Dengan demikian, perkembangan pengetahuan astrofisika dan ilmu lain yang sealiran mengarah pada kemajuan teknologi untuk melihat rangsangan-rangsangan tanda eksistensi yang tidak bisa ditangkap oleh indera manusia (teleskop, miksroskop, sinar x-ray, dst.)
Selain daripada ini, terdapat ilusi lain yang disebut transparent illusion. Sebaliknya dari pemahaman sebelumnya, ruang dianggap sebagai bagian dari alam pikir (mental thing), sebagai tempat eksisnya hal-hal ideal hasil perenungan. Ruang dalam pemikiran ini tak memiliki ikatan dengan pengalaman dan kemewaktuan. Dalam tradisi Kantian, (yang diilhami dari Descartes) ruang terbentuk dari kesadaran a prioridan sebagai bagian dari ranah struktur ideal. Ruang dipisahkan dari dimensi waktu sehingga setiap ide berlaku di ruang yang abadi dan dalam bentuk (form) yang tetap.
Dalam penafsiran sederhana, pemahaman ruang terbagi menjadi secara materialis di satu sisi dan secara idealis di sisi yang lain. Kedua pemahaman inilah yang berpengaruh pada pemaknaan ruang pada umumnya. Oleh Lefebvre, kedua pemahaman ini ditempatkan sebagai ilusi (!?) Lalu apa sebenarnya ruang yang diajukan oleh Lefebvre?

Ruang dalam Wacana Arsitektur
Dalam ilmu arsitektur, pemahaman kata ruang juga memiliki dua pemahaman/perlakuan berbeda. Di satu sisi, arsitektur pra-modern melihat ruang sebagai kumpulan benda arsitektural. Sebagaimana dalam realistic illusion, ruang pada era ini terbentuk dari entitas tektonik. Arsitektur pra modern membentuk ruang dengan menghadirkan materi yang bisa dirasakan, dinilai, dan diukur oleh indera.
Kita bisa melihat pemahaman ini dengan gambar-gambar yang dihasilkan pada zaman arsitektur pra modern. Misalkan dalam Nolli Map, ruang kota digambarkan terbentuk dari kumpulan bangunan yang ditampilkan menjadi outline bangunan berarsir hitam. Ini menunjukkan ruang dalam zaman pra-modern mengutamakan kehadiran material, bukan dari void yang mengitarinya.
Pemahaman ini berubah dengan munculnya Corbusian. Olehnya bangunan arsitektural memberi perhatian terhadap void daripada bangunan itu sendiri yang ditunjukkan dengan penggunaan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) rendah dan bangunan tingkat tinggi. Bayangkan apabila Radiant City rancangan Le Corbusier digambarkan dengan Nolli Map, bangunan itu hanyalah kumpulan titik di tengah-tengah pekarangan yang luas. Nolli Map pun tidak bisa mereduksi bangunan yang berpuluh lantai itu menjadi kumpulan persegi dua dimensi, itulah mengapa Nolli Map sudah outdated dalam menggambarkan rancangan perkotaan a la Le Corbusier.
Meski demikian, dalam era modern pun ilusi ruang dalam arsitektur tak pernah lepas dari realistic illusions beralih sepenuhnya menjadi transparent illusion. Ruang dalam wacana arsitektur masihlah berada dalam tataran realistic illusion. Ruang dalam arsitektur masih sering bertukar makna dengan kata tempat. Bahkan saat pertama kali mendengar kata ruang sosial, mungkin lebih banyak arsitek yang membayangkan sebuah area tertentu yang dihidupi oleh kegiatan sosial manusia, misalkan pasar, alun-alun, jalanan, dst. Dalam Bahasa Indonesia, ruang dan tempat sering bertukar arti. Penyebutan ‘kamar tidur’ menjadi ‘ruang tidur’, kita bahkan tak memiliki penyebutan yang tepat untuk menyebut tempat menerima tamu selain ‘ruang tamu’. Dalam Bahasa Inggris, ia bertukar makna dengan room, place, ground, sphere.
Perdebatan mengenai persepsi terhadap ruang itu masih belum bisa menjawab apa yang dimaksud Lefebvre sebagai ruang sosial dan bagaimana dia membongkar dua ilusi besar di atas. Lebih-lebih nanti pada akhirnya, bagaimana persepsi Lefebvre mempengaruhi bidang ilmu arsitektur dan perancangan perkotaan?

Lanjut di Bagian 2 yak. Mau nulis lanjutannya tapi masih perlu baca lebih detail bukunya Lefebvre biar gak sesat.

Peta Kota Roma oleh Giambatista Nolli, 1748
Radiant City rancangan Le Corbusier, 1924