:::: MENU ::::

Rabu, 20 Agustus 2014

Penerimaan mahasiswa baru sudah selesai. Masa ospek (perkenalan kampus) sedang berlangsung. Tidak sulit menengarai berlangsungnya masa ospek. Jika di kampus ada mahasiswa yang berambut hampir botak dengan jumlah yang tidak wajar, berarti ospek sudah dimulai. Setidaknya, itu adalah ciri fisik mahasiswa baru di Fakultas Teknik Universitas Jember. Jika diperhatikan lebih lanjut,  mereka juga sangat sopan, bersepatu pantofel, kemeja putih, celana hitam, kadang beralmamater (sekalipun kita tahu mereka sedang tidak melakukan sidang skripsi). Bagi saya, dandanan macam ini lebih mirip buruh pencari kerja daripada seorang calon akademisi.

Kegiatan ospek bertujuan mengenalkan mahasiswa baru kepada lingkungan barunya di kampus. Beberapa orang berpendapat bahwa pendekatan personal mahasiswa dengan lingkungan kampus bisa diraih dengan cepat melalui kedisiplinan dan sedikit bumbu kekonyolan. Pendapat ini saya rasa umum di Indonesia, yang mewajibkan mahasiswa baru melakukan baris-berbaris dalam waktu lebih dari satu jam sambil mendengar cacian senior dan mewajibkan mahasiswa memakai atribut-atribut yang unik –sebagai kata ganti aneh.

Bagi mahasiswa teknik, kedisiplinan dirasa perlu. Mahasiswa nantinya akan terhimpit waktu untuk mengerjakan tugas besar dan laporan praktikum (juga tugas kecil seperti mahasiswa fakultas lain seperti makalah, presentasi, proposal). Saya ingat bahwa alasan itulah yang menjadi pembenaran senior melakukan pendisipilinan sejak dini terhadap mahasiswa baru. Sejauh ini saya sependapat dengan mereka. Kedisipilinan yang merupakan cerminan dari ketertiban yang menurut Sigmund Freud, mutlak diperlukan dalam peradaban.

Sedikit meluaskan pembicaraan, saya ingin membicarakan bagaimana ketertiban diperlukan dalam peradaban menurut Freud. Dalam peradaban, manusia berusaha memproduksi benda-benda untuk membantunya menguasai alam semesta. Benda ini yang kita sebut sebagai teknologi. Dalam proses produksi teknologi ini, manusia menyadari bahwa tenaga dan waktunya yang terbatas. Kedua faktor inilah menjadi pagar luar yang menghalangi manusia mengembangkan rasa ingin tahunya secara bebas. Kita tahu bahwa rasa ingin tahu manusia tidak pernah menemui titik akhir, penemuan satu akan menimbulkan rasa ingin tahu yang nantinya mendorong lahirnya penemuan selanjutnya. Manusia sebagai pencipta peradaban mulai sadar bahwa keterbatasan tenaga dan waktu yang dimiliki memaksanya untuk melakukan manajemen terhadap kedua faktor ini. Pada akhirnya, timbullah istilah deadline (yang membatasi waktu) dan target produktivitas (yang membatasi tenaga). Manusia berharap dengan adanya kepastian mengenai seberapa banyak tenaga dan waktu yang dihabiskan dalam satu pekerjaan, mereka bisa cepat berpindah melakukan pekerjaan lain, sebagai tuntutan peradaban.

Manusia memuja ketertiban. Mereka menginginkan semua terjadi sesuai rencana. Namun, realitas tidak sedemikian sederhana sehingga mengijinkan kita untuk menyelesaikan pekerjaan dengan lancar. Nietzsche mengingatkan bahwa, selamanya, realitas akan selalu acak dan konsep yang diciptakan manusia hanya sekedar refleksi pengalaman pribadinya sehingga tidak dimungkinkan adanya konsep yang universal. Para pemuja ketertiban –baca:manusia, boleh saja menciptakan standar operasional prosedur (SOP) dalam setiap pekerjaannya. Namun, kemudian mereka harus tunduk pada realitas yang memaksa mereka mengkritik konsep mereka sendiri dengan pertanyaan, “Apakah konsep ini sudah memuat semua kemungkinan dalam realitas?”, “Mungkinkah konsep ideal ini terlaksana?”

Sudah lama sekali manusia menginginkan ketertiban dalam dirinya, sesaat menyadari betapa mengagumkannya keteraturan pada alam semesta. Mereka tiba-tiba menginginkan mencontoh keteraturan lintasan orbit planet-planet di galaksi yang menyebabkan terhindarnya tabrakan antar planet. Namun, tetap saja mereka harus bersiap kecewa saat mendapati bahwa alam menyediakan faktor-faktror eksternal lain yang akan menghalangi untuk mencapai keinginannya. Selain faktor eksternal, manusia juga terpaksa menelan kenyataan bahwa ada faktor internal yang ikut menghambat berbentuk rasa malas, yang celakanya telah ada sejak mereka lahir di dunia.

Dengan serentetan pendapat ini, saya setuju dengan pemikiran senior untuk menumbuhkan kedisiplinan dalam diri mahasiswa baru. Kita tahu, dengan adanya kedisiplinan yang tumbuh dalam diri memang tidak akan serta merta menghilangkan faktor penghambat eksternal, namun paling tidak kita hanya bisa berharap kedisiplinan menghilangkan penghambat internal yang berupa rasa malas tadi.

Di sisi lain, saya ragu dengan praktik yang dilakukan dalam rangka penumbuhan kedisiplinan ini. Saat saya menjadi mahasiswa baru, ada waktu dimana seluruh mahasiswa baru pergi ke lantai basement sebuah gedung untuk sebuah acara. Kami berbaris sesuai kelompok yang sebelumnya ditentukan. Mahasiswa senior yang tergabung dalam divisi kedisiplinan mulai mondar-mandir. Pada awalnya tidak jelas apa tujuan membentuk barisan yang rapi hingga kemudian kami tahu bahwa mereka sedang mencari-cari kesalahan kami. Mereka berjalan di sela-sela barisan meneliti; kelengkapan atribut (celana hitam, kemeja putih, almamater, sepatu hitam, dan papan kardus besar yang digantung di dada berisi identitas, cukuran rambut). Mereka yang terlihat tidak memenuhi standar kemudian disruh berbaris di depan. Saya rasa tidak perlu menambahkan apa yang terjadi jika mahasiswa baru disuruh berbaris terpisah di depan barisan temannya oleh mahasiswa senior, selain pembunuhan terhadap identitas.

Pada awalnya kami menaruh maklum dan terbersit pikiran bahwa teman kami yang di depan pantas menerima hukuman karena ketidaksesuaiannya dengan keinginan senior. Namun, pada tahap selanjutnya, kedisiplinan yang diinjeksikan secara paksa dan terus-menerus membuat kami mencari orang ideal yang bisa dijadikan contoh. Terlebih lagi, dalam proses penanaman kedisiplinan ini banyak mahasiswa yang dengan terpaksa menghilangkan jati diri mereka sebagai pemalas. Sangat naluriah rasanya ketika mahasiswa baru menghilangkan identitas lama demi mendapatkan identitas baru, mereka mencari contoh ideal untuk memastikan apakah pengorbanan mereka pantas dilakukan. Mereka curiga bahwa mengorbankan identitas lama mereka bisa menjadi sia-sia, sehingga mereka perlu meyakinkan diri betapa signifikannya pengaruh pengorbanan mereka terhadap hidup mereka selanjutnya. Pencarian pribadi yang ideal pada mulanya akan ditujukan kepada para mahasiswa senior divisi kedisiplinan, yang secara intensif berhadapan dengan mahasiswa baru saat terjadi pelanggaran. Sebab, tidak mungkin mahasiswa divisi kedisiplinan begitu konservatif dengan aturan kecuali mereka sudah merasa cukup disiplin menaati aturan itu. Kemurkaan yang dilakukan oleh senior kepada mahasiswa baru terus-menerus mengukuhkan bahwa merekalah manusia ideal.

Pencarian contoh yang ideal dalam penerapan aturan sudah menjadi cerita biasa. Saya rasa ini mirip sekali dengan tuntutan masyarakat terhadap Polantas agar menaati aturan lalu lintas atau kyai yang harus melakukan sholat lima waktu, ketaatan mereka terhadap peraturan yang mereka dakwahkan sendiri sangat berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan masyarakat. Sekalipun demikian, contoh ideal seperti itu tidak kami temui di Fakultas Teknik. Ketika itu, divisi kedisiplinan bukanlah orang ideal yang bisa dijadikan contoh. Nyatanya, saat mereka mengharuskan cukur rambut sepanjang satu centimeter dengan alasan kerapian, sebaliknya beberapa dari mereka mempunyai rambut gondrong dengan panjang lebih dari dua puluh centimeter. Mereka mewajibkan kami memakai pakaian dengan rapi, namun dandanan mereka tidak lebih baik dari preman yang nongkrong di waung dekat terminal. Mereka mewajibkan kami menghormati senior, sedangkan mereka tidak membalas berbicara dengan hormat kepada kami yang muda.

Saya tidak mempermasalahkan rambut mereka sebagai tolak ukur manusia ideal. Yang saya permasalahkan adalah, semakin konservatif divisi kedisiplinan melindungi kemurnian peraturan mereka dari pemberontak, selama itu pula mereka semakin dituntut untuk lebih sering bercermin akan kepatuhan mereka terhadap peraturan yang mereka buat sendiri. Sikap konservatif menjaga kemurnian peraturan yang tidak diimbangi dengan kepatuhan senior berakibat mahasiswa baru tidak memiliki contoh ideal yang mengakibatkan kekaburan etika yang coba ditanamkan. Kegagalan semacam ini sudah bisa terlihat dengan pasti saat tabiat mahasiswa baru yang kembali tidak disiplin pasca dilakukannya ospek.

Pada akhirnya, pada perdebatan imajiner yang panjang dengan seorang mahasiswa panitia ospek, saya mengkhayalkan dia mengakhiri perdebatan dengan mengatakan, “Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan, sandiwara ini hanya berlangsung selama empat kali pertemuan.” Aih, ternyata ospek hanya sandiwara (sambil nyanyi lagunya Godbless), “Dunia ini…. Panggung sandiwara …. Ceritanya mudah berubah ….. lalalalala …….

Minggu, 03 Agustus 2014



Saat aku mengatakan aku mencintaimu, aku tidak pernah mempunyai maksud tersirat bahwa aku akan menikahimu. Kebanyakan orang terlalu muluk-muluk mempercayai kata-kata hingga tidak menyadari jika ternyata pemaknaannya berlebihan. Aku hanya mengatakan, “Aku mencintaimu”, dan kau bertindak seakan-akan mendengar, “Aku ingin hidup selamanya denganmu”? Bagaimana bisa kau mengartikannya seperti itu jika kau tidak berlebihan?
                Wanita butuh janji –seperti juga kau, meskipun sebenarnya kau tahu bahwa janji itu hanya penghibur bagimu, kau cukup berpengalaman dengan pengingkaran kan? Lihatlah dunia luar, begitu banyak wanita, begitu banyak hal indah. Kita tidak bisa menjamin bahwa suatu saat nanti kita bisa jatuh cinta kepada orang lain selain kita. Pada awalnya, kita juga mengira untuk tetap mencintai satu hal saja –sebelum hal lain tiba-tiba membuat kita takluk kembali. Seperti saat aku tiba-tiba mencintaimu, dengan mudah aku meninggalkan cintaku yang dahulu.
                Tapi aku tidak menyalahkanmu. Saat ini aku adalah kekasihmu, kau pantas berharap seperti itu. Hubungan selalu mengekang bukan? Jika tidak mengekang, hubungan akan kehilangan makna. Seperti saat aku dilahirkan sebagai anak oleh ibuku, maka aku dikekang untuk tinggal bersamanya. Saat aku dianggap sebagai murid oleh guruku, maka aku dituntut untuk belajar hanya darinya. Saat aku mengaku beragama Islam, maka aku dituntut untuk melakukan lima rukun Islam. Saat aku menjadi rakyat Indonesia, maka aku dituntut untuk tidak memiliki kewarganegaraan lain. Dan saat aku menjadi kekasihmu, secara langsung aku dituntut untuk tidak mencintai yang lain.
                Iya, kamu benar. Aku harus tidak mencintai orang lain. Tidak bisa dikatakan cinta jika mendua,” kata orang lain di sekelilingku yang gencar menolak poligami. Memberikan hati pada lebih dari satu orang sama saja melacurkan diri sendiri. Kami bisa dibilang laki-laki murahan karena bisa jatuh cinta kepada beberapa orang sekaligus. Namun, bukan kita yang mengendalikan kepada siapa kita jatuh cinta, dan mungkin kita bisa tidak sengaja saat jatuh cinta, seperti saat aku jatuh cinta padamu. Jika saja kau ingin menyamakan dengan pelacur, aku menganggap bahwa pada kadar tertentu bisa dibilang sama. Pelacur dan pejatuh cinta sama-sama tidak sengaja atau bahkan terpaksa melakukan hal-hal yang tidak disukai masyarakat umum.
                Jangan kau bilang bahwa pelacur itu hina. Yang menghinakan dia hanya mereka yang juga menginginkan aroma vagina –namun terkendala norma. Para penghina pelacur sebenarnya lebih hina karena mereka sedang menghina orang yang ingin menafkahi keluarga. Para pelacur bingung karena selalu membentur tembok tinggi birokrasi saat mencari pekerjaan. Mereka tidak mempunyai relasi yang cukup untuk melakukan tindakan nepotisme. Lalu para pelacur kembali ke kamar dari kantor yang telah menolaknya, dia berdiri di depan cermin dan berkata, “Aku cuma mempunyai tubuh ini untuk mencari kerja. Dan sepertinya para petinggi birokrasi ingin melihatnya tanpa busana.” Salahkah mereka? Birokrasi yang penuh nepotisme yang mengajarkan mereka menjadi pelacur.
                Maka jangan kau salahkan kepada siapa kita jatuh cinta. Hapuskan pikiran bahwa jatuh cinta pada dua hati dan pelacuran adalah hal yang keji. Terlalu naif segala justifikasi mengenai baik dan buruk, keduanya hanya masalah nasib. Terlalu banyak faktor yang nantinya seakan meniadakan niat awal kita dan memaksa untuk terlibat dalam kenyataan mainstream. Percayalah.