Kami sepakbola di jalan, kami badminton di jalan, kami
bermain layang-layang di jalan. Di jalan yang sama, yang merenggut nyawa satu
juta orang per tahun. Kami menemukan kesenangan di sini, menakar seberapa peka
para tua mengerti kebutuhan kami.
"Kamu masih kecil, kami yang sudah tua yang berhak menentukan kebutuhan kalian anak bau air ketuban!!"
"Kamu masih kecil, kami yang sudah tua yang berhak menentukan kebutuhan kalian anak bau air ketuban!!"
“Tidaklah kami anak kecil sebagai manusia berkebutuhan
kecuali kalian yang menentukan. Kalian menggusur lapangan, maka kami akan mengganggu
gerak kalian di jalan.” Jika saja bawah sadar anak-anak seumuran kami tiba-tiba
muncul ke permukaan, maka kami akan mengatakan itu sambil meludah ke arah
antek-antek pembangunan.
Pernah aku melihat globe dalam kelas yang dipajang di
dinding di belakang guru kami yang sedang mengajar, Jawa nampak diselimuti
warna hijau, bahkan juga Jepang. Tapi kami tidak tahu mengapa di sekeliling
kami tidak ada lapangan rumput, hingga akhirnya guru geografi menertawakan kami
dan berkata. “Itu hanya simbol tinggi-rendahnya daratan, siswaku,” kami malu,
kecewa, dan merasa bodoh betapa tanda warna itu telah membohongi kami. Tapi
salahkah kami yang hanya inginkan lapangan bermain? Kami toh masih muda, tidak
seperti kalian yang tua bangka, hanya duduk di depan meja menghitung uang
kebutuhan anak-anak kalian yang terhimpit
biaya pendidikan. Tulang kami masih muda, bapak-ibu sekalian. Kami
berhak melenturkannya agar terolah menjadi sehat. Dan, hati kami juga akan
lunak sebagaimana tulang kami, tidak seperti hati kalian yang kaku sebagaimana
pula tulang kalian yang sudah uzur.
Aku, memang satu dari banyak anak yang tak punya tata
krama. Berbicara pada yang tua dengan sedemikian mendongak. Tapi kalian memang
biasa memakai bahan-bahan keras untuk menolak kami anak muda. Kalian biasa
memakai kata-kata kotor untuk meremehkan keinginan kami. Dan kami tidak bisa
menggunakan bahasa sopan untuk berhadapan dengan kalian.
Kami butuh lapangan, kalian butuh jalan. Kami akan
merampas jalan kalian, untuk kami bersenang-senang. Jika marah, marahlah,
kemarahan kalian pasti hanya akan menjadi lelucon yang menandakan betapa
nakalnya kami. Siapakah yang tidak bangga menceritakan kenakalan semasa
anak-anak? Dan jika kami pun mati di jalan, surga masih terbuka bagi kami,
dosa-dosa kami toh masih ditanggung kalian orang tua. Haha, tidak ada kerugian
satu pun bagi kami. Malah kalian yang menangisi kami dan meneruskan kehidupan
dengan rasa bersalah sebab tak bisa mendidik anak.
Sayang sekali, aku harus mengakhiri catatan ini. Ibu
sudah memanggil untuk tidur, aku harus sekolah esok pagi.
0 komentar:
Posting Komentar