:::: MENU ::::

Jumat, 01 Juli 2016

Kami sepakbola di jalan, kami badminton di jalan, kami bermain layang-layang di jalan. Di jalan yang sama, yang merenggut nyawa satu juta orang per tahun. Kami menemukan kesenangan di sini, menakar seberapa peka para tua mengerti kebutuhan kami. 

"Kamu masih kecil, kami yang sudah tua yang berhak menentukan kebutuhan kalian anak bau air ketuban!!"

“Tidaklah kami anak kecil sebagai manusia berkebutuhan kecuali kalian yang menentukan. Kalian menggusur lapangan, maka kami akan mengganggu gerak kalian di jalan.” Jika saja bawah sadar anak-anak seumuran kami tiba-tiba muncul ke permukaan, maka kami akan mengatakan itu sambil meludah ke arah antek-antek pembangunan.

Pernah aku melihat globe dalam kelas yang dipajang di dinding di belakang guru kami yang sedang mengajar, Jawa nampak diselimuti warna hijau, bahkan juga Jepang. Tapi kami tidak tahu mengapa di sekeliling kami tidak ada lapangan rumput, hingga akhirnya guru geografi menertawakan kami dan berkata. “Itu hanya simbol tinggi-rendahnya daratan, siswaku,” kami malu, kecewa, dan merasa bodoh betapa tanda warna itu telah membohongi kami. Tapi salahkah kami yang hanya inginkan lapangan bermain? Kami toh masih muda, tidak seperti kalian yang tua bangka, hanya duduk di depan meja menghitung uang kebutuhan anak-anak kalian yang terhimpit  biaya pendidikan. Tulang kami masih muda, bapak-ibu sekalian. Kami berhak melenturkannya agar terolah menjadi sehat. Dan, hati kami juga akan lunak sebagaimana tulang kami, tidak seperti hati kalian yang kaku sebagaimana pula tulang kalian yang sudah uzur.

Aku, memang satu dari banyak anak yang tak punya tata krama. Berbicara pada yang tua dengan sedemikian mendongak. Tapi kalian memang biasa memakai bahan-bahan keras untuk menolak kami anak muda. Kalian biasa memakai kata-kata kotor untuk meremehkan keinginan kami. Dan kami tidak bisa menggunakan bahasa sopan untuk berhadapan dengan kalian.
Sumber: beritadaerah.co.id
Kami butuh lapangan, kalian butuh jalan. Kami akan merampas jalan kalian, untuk kami bersenang-senang. Jika marah, marahlah, kemarahan kalian pasti hanya akan menjadi lelucon yang menandakan betapa nakalnya kami. Siapakah yang tidak bangga menceritakan kenakalan semasa anak-anak? Dan jika kami pun mati di jalan, surga masih terbuka bagi kami, dosa-dosa kami toh masih ditanggung kalian orang tua. Haha, tidak ada kerugian satu pun bagi kami. Malah kalian yang menangisi kami dan meneruskan kehidupan dengan rasa bersalah sebab tak bisa mendidik anak.

Sayang sekali, aku harus mengakhiri catatan ini. Ibu sudah memanggil untuk tidur, aku harus sekolah esok pagi.

0 komentar:

Posting Komentar