:::: MENU ::::

Sabtu, 15 November 2014



Laki-laki menyukai teka-teki. Dan karena itulah dia tidak menyukai wanita yang banyak bicara. Ketika wanita berbicara, ada dua kemungkinan yang ada dalam otaknya: menggurui, atau muntah. Aku tidak mengerti kenapa mereka memperlakukan laki-laki sebagai orang yang benar-benar peduli dengan masalah mereka saat mereka menceritakan seluruh detail masalahnya. Mulut mereka besar, tapi telinga mereka buntu.
                Mungkin ini salahku sendiri karena terlalu banyak mendengarkan lagu-lagu romantis Iwan Fals. Salah satunya berjudul 22 Januari. Dalam liriknya, sudah bisa ditebak bahwa si wanita adalah pendiam. Tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Bagian yang paling aku suka adalah bait yang menceritakan mereka berdua berjalan berdampingan di malam hari. Saat itu diceritakan sedang mendung. Saat mereka asyik jalan, keluarlah satu-satunya kata dari mulut si lelaki, “Sebentar lagi hujan.” Aku tidak tahu apakah kata-kata itu sebagai ajakan untuk pulang karena mereka tidak membawa payung, ataukah tanda kegirangan dari si lelaki karena akan berbagi kehangatan di tengah dinginnya hujan sembari berteduh di pinggir jalan. Aku sendiri membayangkan mereka berteduh di halte bus yang sudah sepi sambil duduk berdekatan, kehangatan tubuh masing-masing tersalurkan dari genggaman tangan mereka. Karena lagu inilah aku berkeyakinan bahwa Iwan Fals mempunyai selera wanita yang sama denganku, hahaha.
                Aku rasa semua orang setuju bahwa kita harus adil terhadap tubuh yang diberikan Tuhan kepada kita. Kita diberi lima indera, mata, telinga, lidah, kulit, dan hidung. Kelima indera ini diciptakan Tuhan sebagai bekal manusia untuk memahami apa yang di luar dirinya. Wanita tidak bisa bertindak tidak adil dengan memaksa laki-laki mengeksploitasi indera pendengarannya, telinga juga bisa letih dan syaraf-syaraf otak masih harus memikirkan rangsangan dari keempat indera lainnya.
Berkomunikasi seharusnya tidak melulu dengan bahasa lisan dan teks, terlebih lagi untuk sepasang kekasih yang mengaku sudah mengerti satu sama lain. Lagipula, aku rasa kenikmatan saat bercinta terlalu abstrak untuk digambarkan melalui bahasa apapun. Lihatlah, kamus bahasa indonesia hanya setebal tujuh centimeter, bahkan masih kurang tebal jika dibuat bantalan tidur.
Kita kemudian harus mulai memikirkan kembali cara berkomunikasi antar pasangan. Aku ingin menatap mata beningmu yang konon bisa menerawang jauh ke lubuk hati. Kulitku ingin merasa dicintai dengan belaian lembut tanganmu, dia juga tidak pernah keberatan jika harus ditampar jika sesekali pantas menerimanya. Hidungku juga ingin menghafal bau tubuhmu agar aku bisa menebak parfum apa yang sering kau pakai. Lidahku ingin merasakan masakanmu yang katanya sering kau beri bumbu cinta. Apapun pendapatmu tentang kegombalan ini, yang pasti sepasang kekasih tidak sepantasnya mengerti apa yang dirasakan pasangannya hanya melalui bahasa lisan dan teks. Dengan itu kita bisa berpendapat bahwa seorang bisu sekalipun masih layak mendapatkan cinta.

1 komentar: