:::: MENU ::::

Minggu, 03 Agustus 2014



Saat aku mengatakan aku mencintaimu, aku tidak pernah mempunyai maksud tersirat bahwa aku akan menikahimu. Kebanyakan orang terlalu muluk-muluk mempercayai kata-kata hingga tidak menyadari jika ternyata pemaknaannya berlebihan. Aku hanya mengatakan, “Aku mencintaimu”, dan kau bertindak seakan-akan mendengar, “Aku ingin hidup selamanya denganmu”? Bagaimana bisa kau mengartikannya seperti itu jika kau tidak berlebihan?
                Wanita butuh janji –seperti juga kau, meskipun sebenarnya kau tahu bahwa janji itu hanya penghibur bagimu, kau cukup berpengalaman dengan pengingkaran kan? Lihatlah dunia luar, begitu banyak wanita, begitu banyak hal indah. Kita tidak bisa menjamin bahwa suatu saat nanti kita bisa jatuh cinta kepada orang lain selain kita. Pada awalnya, kita juga mengira untuk tetap mencintai satu hal saja –sebelum hal lain tiba-tiba membuat kita takluk kembali. Seperti saat aku tiba-tiba mencintaimu, dengan mudah aku meninggalkan cintaku yang dahulu.
                Tapi aku tidak menyalahkanmu. Saat ini aku adalah kekasihmu, kau pantas berharap seperti itu. Hubungan selalu mengekang bukan? Jika tidak mengekang, hubungan akan kehilangan makna. Seperti saat aku dilahirkan sebagai anak oleh ibuku, maka aku dikekang untuk tinggal bersamanya. Saat aku dianggap sebagai murid oleh guruku, maka aku dituntut untuk belajar hanya darinya. Saat aku mengaku beragama Islam, maka aku dituntut untuk melakukan lima rukun Islam. Saat aku menjadi rakyat Indonesia, maka aku dituntut untuk tidak memiliki kewarganegaraan lain. Dan saat aku menjadi kekasihmu, secara langsung aku dituntut untuk tidak mencintai yang lain.
                Iya, kamu benar. Aku harus tidak mencintai orang lain. Tidak bisa dikatakan cinta jika mendua,” kata orang lain di sekelilingku yang gencar menolak poligami. Memberikan hati pada lebih dari satu orang sama saja melacurkan diri sendiri. Kami bisa dibilang laki-laki murahan karena bisa jatuh cinta kepada beberapa orang sekaligus. Namun, bukan kita yang mengendalikan kepada siapa kita jatuh cinta, dan mungkin kita bisa tidak sengaja saat jatuh cinta, seperti saat aku jatuh cinta padamu. Jika saja kau ingin menyamakan dengan pelacur, aku menganggap bahwa pada kadar tertentu bisa dibilang sama. Pelacur dan pejatuh cinta sama-sama tidak sengaja atau bahkan terpaksa melakukan hal-hal yang tidak disukai masyarakat umum.
                Jangan kau bilang bahwa pelacur itu hina. Yang menghinakan dia hanya mereka yang juga menginginkan aroma vagina –namun terkendala norma. Para penghina pelacur sebenarnya lebih hina karena mereka sedang menghina orang yang ingin menafkahi keluarga. Para pelacur bingung karena selalu membentur tembok tinggi birokrasi saat mencari pekerjaan. Mereka tidak mempunyai relasi yang cukup untuk melakukan tindakan nepotisme. Lalu para pelacur kembali ke kamar dari kantor yang telah menolaknya, dia berdiri di depan cermin dan berkata, “Aku cuma mempunyai tubuh ini untuk mencari kerja. Dan sepertinya para petinggi birokrasi ingin melihatnya tanpa busana.” Salahkah mereka? Birokrasi yang penuh nepotisme yang mengajarkan mereka menjadi pelacur.
                Maka jangan kau salahkan kepada siapa kita jatuh cinta. Hapuskan pikiran bahwa jatuh cinta pada dua hati dan pelacuran adalah hal yang keji. Terlalu naif segala justifikasi mengenai baik dan buruk, keduanya hanya masalah nasib. Terlalu banyak faktor yang nantinya seakan meniadakan niat awal kita dan memaksa untuk terlibat dalam kenyataan mainstream. Percayalah.

0 komentar:

Posting Komentar