:::: MENU ::::

Rabu, 15 Oktober 2014

                Sejak awal melihat acara smackdown (dulu ditayangkan di Lativi), saya heran bagaimana para pemain gulat bertubuh kekar itu terjatuh beberapa kali tanpa cedera. Ringnya memang empuk, semacam ada pegas di bawahnya, namun saya rasa dibanting oleh orang bertinggi 7 kaki semacam Big Show akan sakit tidak peduli di manapun anda dibanting. Kemungkinan terbaik dari keheranan saya ini adalah mereka sudah berlatih untuk adegan ini.

                Sekalipun pegulat sudah berlatih, namun bukan berarti terhindar dari resiko cedera. Randy Orton mengalami cedera bahu dan absen beberapa bulan pada tahun 2002. Blue Blazer (pegulat bertopeng yang menggunakan blazer biru saat memasuki arena) tewas setelah jatuh dari ketinggian 15 meter saat bergelantungan pada tali yang kemudian putus. Resiko-resiko ini harus dihadapi oleh para pegulat hanya untuk melakukan sandiwara di atas ring.

                Gulat bukanlah olahraga, karena pertandingan gulat lebih merupakan sandiwara. Lebih jelas lagi, gulat adalah sandiwara yang menggunakan instrumen olahraga. Adegan banting-membanting dan kepalan tangan digunakan sudah terskenario sebagai satu kesatuan sandiwara. Mungkin, ini yang menyebabkan Dwayne “The Rock” Johnson bisa meniti karir sebagai aktor film. Dia sudah terbiasa berakting di panggung sandiwara gulat, paling tidak menjadi aktor film tidak membutuhkan banyak keringat.

                Dalam pertandingan gulat, skenario sudah disiapkan dan setiap pegulat mempunyai karakternya masing-masing. Penonton tidak perlu menebak-nebak bagaimana karakter pegulat, karena itu bisa dilihat dari namanya. Rey Mysterio, dia adalah pegulat dengan tubuh terkecil, 1,68 meter dan mempunyai gerakan lincah akrobatik. Sesuai dengan namanya, dia memakai topeng untuk menimbulkan kesan misterius. Big Show, mempunyai tinggi 2 meter lebih dan berbobot 193 kg. Jika anda ingin merasakan rasanya ditindih olehnya, suruh empat orang teman anda duduk di atas badan anda. Tubuh dan aksesoris pegulat menjadi obyek untuk memunculkan nama atau julukan pada beberapa pegulat. Setiap pegulat akan mempunyai ciri khas demi menciptakan citra dan karakter untuk membedakannya dengan pegulat lain. Kedudukan, pukulan andalan, bentuk tubuh, dan aksesoris akan menjadi ciri khas dari setiap pegulat.

Saya masih ingat Vince Mc Mahon, chairman WWE (World Wrestling Entertainment) selalu muncul dengan karakter pemilik yang angkuh dan sewenang-wenang. Kata-kata andalannya adalah “You’re fired,” untuk pegulat yang tidak disukainya. Vince Mc Mahon di sini bertugas menimbulkan citra bos yang egois –egois dan sewenang-wenang adalah citra bos secara umum. Lalu The Rock yang memakai pelindung berwarna hitam di kedua sikunya. Boogeyman, ditampilkan sebagai pria bercat dan berpakaian bulu, suka makan cacing.  Yang paling jadi favorit adalah John Cena, dia memakai celana pendek di bawah lutut yang sempat ditiru sebagai style pada celana seragam SMP semasa saya, hehe.

Pencitraan tanpa enigma juga terlihat saat pegulat dalam kuncian badan lawan. Mereka biasa mengerang kesakitan sambil menepuk-nepuk ring tanda tidak kuat menahan derita. Pada saat lawannya terkunci dan dinyatakan kalah, pemenang juga melakukan gaya yang dilebih-lebihkan. Randy Orton biasa naik di sudut ring merentangkan tangannya dengan dagu terangkat dan raut wajah bangga sekaligus sombong. The Rock, biasa mengitari lawan dan menatap penderitaan lawannya akibat sikutnya yang menusuk dada.

Roland Barthes dalam bukunya Mitologi, membahas tentang jelasnya pencitraan dalam gulat. Baginya, penonton mempunyai kepuasan tersendiri saat melihat pegulat jatuh tersungkur. Kepasrahan saat jatuh dan raut wajah penderitaan yang jelas tergambar merupakan prototipe kejadian di dunia nyata. Dia mengatakan bahwa gulat adalah pertunjukan besar mengenai suffering (penderitaan), defeat (kekalahan), dan fairness (keadilan). Untuk menemukan ketiga aspek utama yang ditampilkan ini, penonton disajikan gerakan, raut muka, nada bicara yang sejelas-jelasnya dari pemerannya. Pegulat biasanya berteriak, sempoyongan, dan memegangi bagian tubuh yang sakit untuk menunjukkan penderitaan. Untuk kekalahan, mereka tergeletak tanpa gerakan sedikitpun setelah menerima pukulan andalan dari lawan. Dan untuk keadilan, para penonton biasanya menghendaki ketika ada pertukaran pukulan yang setimpal dari masing-masing pegulat, banting dibalas banting, kepalan dibalas kepalan, sikut dibalas sikut, dsb. Mereka juga begitu antusias ketika seorang pengecut yang dengan sengaja membawa sejata (kursi, pentungan, dan tangga besi) untuk dihukum dengan dihabisi hingga tak berdaya.

Sama halnya dengan gulat, saya rasa video porno juga mempertontonkan citra tanpa enigma sesuai karakternya. Teriakan dan penderitaan dalam gulat bisa disamakan dengan desahan dan geliat tubuh aktris porno. Aktris porno Jepang dengan sengaja mengeluarkan suara desahan karena kenikmatan berhubungan intim. Mereka juga dengan nyata yang menunjukkan kesakitan dan kenikmatan sekaligus dengan berteriak saat orgasme. Hal ini sesuai menurut Freud, saat orgasme adalah saat perubahan dari penderitaan menuju pelepasan kenikmatan.

Jika dilihat dari video porno pada umumnya, kita akhirnya bisa mengkritik video porno yang pernah mengguncang dunia entertainment Indonesia. Pelakunya adalah Ariel Peterpan dan Luna Maya. Kedua pemain dalam video itu masih belum menampilkan apa yang dirasakan. Luna Maya hanya diam tanpa desahan, Ariel juga hampir tanpa ekspresi saat melakukan hubungan intim. Penonton dibiarkan dalam ambiguitas tentang apa yang dirasakannya. Ini diperparah dengan kualitas video yang menunjukkan pixel density yang rendah. Saya setuju dengan Arys Aditya, jika mereka berdua berniat membuat film porno mereka harus lebih menarik. Mereka masih belum bisa mengajak penonton untuk berfantasi membayangkan apa yang mereka rasakan.

Kita tidak akan bisa berharap melihat ekspresi dari pemain gulat dan porno pada dunia nyata, karena pada dasarnya mereka hanya melebih-lebihkan. Tujuan mereka berekspresi demikian adalah semata-mata membuat penonton mengerti. Ekspresi yang berlebihan dapat menggambarkan hasrat yang ingin ditampilkan sesuai skenario menjadi lebih jelas. Para kru dan sutradara akan merasa sukses apabila setiap adegan yang ditampilkan dapat dipahami oleh penonton tanpa menimbulkan pertanyaan.