:::: MENU ::::

Senin, 21 Juli 2014



Tidur siang sudah cukup hari ini. Aku terbangun karena mendengar suara bola plastik beradu dengan tembok. Tidak hanya sekali, berkali-kali. Sepertinya ada yang sedang latihan passing dengan tembok. Sedikit suara berisik di perumahan memang mengganggu, warganya –termasuk aku, sudah terlalu akrab dengan kesunyian.

Setelah cukup sadar, aku keluar kamar. Dari balkon aku melihat anak lelaki depan rumah bermain bola dengan tembok –seperti yang kuduga, dia bermain sendirian. Bola plastik yang belum ditusuk jarum itu penuh udara sehingga mudah memantul, dan mudah juga membangunkanku. Jika kukira-kira, usianya tidak lebih dari dua belas tahun, mungkin masih kelas empat SD.

Tidak ada yang menarik saat bermain bola dengan tembok. Permukaan ratanya bisu, tidak ada komunikasi. Aku ingin membandingkan masa saat seumuran dengan anak laki-laki itu. Saat sore tiba, aku biasa membawa bola ke lapangan di mana teman-teman kampung sudah menunggu. Sekitar dua belas orang bermain bersama hingga maghrib menjelang. Permainan diakhiri dengan kesepakatan konyol, “siji gol engkas ya, sing ngelebokne terakhir menang.” Aku tidak mengerti bagaimana caranya anak ini mau bermain bola sendiri dengan tembok.

Di perumahan tempatku tinggal, Perumahan Istana Tidar, tidak ada lapangan sepakbola, hanya ada lapangan badminton. Sebenarnya, tidak perlu lapangan bola untuk bisa bermain sepakbola. Lapangan apapun bisa digunakan, tinggal menambah batu bata sebagai tanda tiang gawang maka sudah bisa digunakan bermain sepakbola. Di rumahku sendiri, lapangan yang digunakan adalah lapangan voli. Lapangan yang sudah lama tidak digunakan karena warga kampung yang angin-anginan, maka lebih baik difungsikan, hehe.

Lapangan badminton ini sepi peminat. Tidak ada yang memanfaatkan, hanya pada saat baru selesai dibangun saja lapangan ini ramai. Waktu itu, sore hari banyak anak kecil dan remaja bermain badminton. Pada malam harinya, giliran orang tua yang bermain, tapi hanya malam minggu saja. Warga perumahan biasanya para pekerja kantor. Mereka hanya sempat bersosialisasi pada malam hari, itupun malam minggu saja. Pada satu bulan pertama, lapangan ini benar-benar menjadi ruang publik. Pada hari selanjutnya, lapangan ini kembali sepi. Mungkin para penghuni perumahan ini berwatak asli asosial, tapi aku tak mau menjustifikasi.

***

Aku merasa kasihan kepada anak tetangga ini. Lama kuamati, sekitar setengah jam kemudian dia berhenti menendang bola. Dia tidak mungkin capek, anak seumurannya di rumahku bisa bermain sepakbola sepanjang sore. Dia mungkin bosan. Keputusan untuk berhenti bermain sebenarnya tepat, sebelum dia terbiasa bermain dengan tembok dan menganggap tembok itu sebagai teman sejati.

Di perumahan tempatku tinggal memang jarang anak kecil. Aku yakin anak itu ingin bermain di luar rumah, tapi dengan siapa? Jalanan paving depan rumah selalu sepi, sesekali hanya ada motor atau mobil milik mahasiswa atau pegawai yang pulang kerja. Lapangan badminton di barat rumah juga sepi. Kesepian ini tentu meningkatkan taraf kekhawatiran orang tuanya. Di televisi maupun surat kabar sering ada berita penculikan dan perdagangan anak.

Di jalanan dan lapangan sangat berbahaya, kata orang tua. Satu-satunya lingkungan yang aman adalah di dalam rumah, yang dibatasi pagar teralis besi.

Aku selalu benci perumahan. Rumah-rumah yang punya bentuk sama, mengisyaratkan masyarakat kota tanpa kreasi. Pagar separuh tembok, separuh teralis besi menunjukkan ketidakamanan. Pintu rumah yang terkunci menunjukkan ketertutupan. Apakah aku sedang menjustifikasi? Tidak, aku hanya mencoba menebak sifat yang tersembunyi dengan tanda-tanda yang ada. Kutipan dari Lyn Yutang di bawah sepertinya juga menjelaskan hal yang sama dengan pernyataanku:

Tempat yang banyak polisinya, berarti tidak ada kebebasan. Tempat yang banyak tentaranya, berarti tidak ada perdamaian. Tempat yang banyak pengacaranya, berarti tidak ada keadilan.

Aku memang pernah melihat rumah yang memiliki bentuk sama di tempat lain, di perumahan perkebunan. Namun, rumah-rumah di daerah perkebunan tidak angkuh, tidak ada pagar teralis besi. Yang ada hanya pagar bambu selutut untuk melindungi tanaman obat dan bunga yang sering mereka siram setiap sore. Tidak ada rumah yang tertutup, anak-anak buruh kebun biasa bermain di jalan depan rumah. Di daerah perkebunan pula masih banyak tanah lapang untuk anak-anak bermain sepak bola atau olahraga apapun yang mereka sukai.

Dari zaman ke zaman, jumlah tanah lapang di perkotaan selalu berkurang. Tanah lapang biasanya berasal dari tanah yang ditinggalkan pemiliknya, biasanya karena sang pemilik bertempat tinggal dari luar kota. Selain itu aku sering juga melihat anak-anak bermain di tanah sawah yang sudah tidak digarap lagi.

Saat ini, tidak ada lagi sawah yang tidak digarap dibiarkan. Jangankan yang tidak digarap, yang masih produktif pun dialihfungsikan menjadi perumahan. Bertambahnya jumlah penduduk merupakan kesempatan brilian bagi pemilik lahan untuk menjual tanah mereka kepada perusahaan pengembang. Beberapa yang mencoba mencari peruntungan, malah menjadi developer dadakan dengan menjual sendiri tanah lapangnya berupa tanah kavling atau perumahan.

Di Banyuwangi, Jember, Situbondo, dan kota menengah lainnya, alasan pertambahan penduduk untuk membuka perumahan sebenarnya absurd. Beberapa kali aku melihat rumah-rumah di perumahan kosong. Pemiliknya bisa jadi berasal dari luar kota, atau sudah mempunyai tempat tinggal lain. Pemilik rumah macam ini, menganggap rumah di perumahan adalah salah satu investasi. Tunggu dulu, seingatku hanya orang dengan berpenghasilan lebih yang memikirkan investasi di bidang properti. Dan kalau aku tidak salah, perumahan-perumahan ini mendapat subsidi dari Kementerian Perumahan Rakyat. Pemerintah menyubsidi perumahan dengan harapan memudahkan rakyat kecil, utamanya keluarga muda untuk memiliki rumah. Satu lagi selain subsidi BBM, subsidi perumahan bisa jadi salah sasaran.

Keluarga muda terkadang membutuhkan rumah sendiri, namun jumlah mereka tidak terlalu banyak sebanyak jumlah perumahan baru yang dibangun. Perumahan yang baru dibuka membutuhkan waktu lebih dari dua tahun untuk bisa menjual seluruh propertinya. Pada awal dibukanya, laku setengah saja sudah beruntung. Kebutuhan akan perumahan dengan berdalih ledakan penduduk adalah alasan klasik dari para developer latah yang terlalu sering melihat iklan tv Agung Podomoro Group. Mereka tertarik karena nilai properti yang dijual tidak akan anjlok, harga tanah dan bangunan akan selalu naik.
Tumbuhnya perumahan, terutama di tanah bekas pertanian atau perkebunan bisa berdampak pada masyarakat di daerah. Pemerintah sebenarnya bisa melakukan penekanan jumlah perumahan yang menjamur. Mereka bisa saja membuat kebijakan untuk menekan tumbuhnya perumahan. Misalnya, dengan melarang alih fungsi lahan pertanian menjadi pertanian. Sikap optimis pada pemerintahan macam ini harus diiringi dengan menutup kemungkinan akan adannya potensi suap dari developer kepada birokrasi.


Sementara para birokrasi dan pengusaha melakukan kongkalikong membuka perumahan baru, anak-anak kebingungan mencari lapangan untuk bermain. “Untuk apa kita menghiraukan permainan, kita (pengusaha) sedang berbisnis, bukan sedang bermain,” kata seorang pengusaha yang juga mempunyai anak laki-laki. Setahuku, anak laki-lakinya selalu nyaman di dalam rumah bersama gadget dan play station. Kakinya lupa bagaimana caranya berlari dan menendang, dan mulutnya juga lupa bagaimana caranya berteriak.[]