:::: MENU ::::

Selasa, 23 Desember 2014



Bukankah kita hidup dalam fantasi?
Jika anda mempunyai kekasih yang nun jauh dari mata, maka sebisa mungkin anda akan menghadirkan objek-objek lainnya yang bisa mengantarkan khayalan menuju orang yang anda rindukan. Anda mungkin mengumpulkan benda-benda yang berisi kenangan seperti; jaket hadiah ulang tahun, boneka beruang, foto, atau mungkin botol minum yang berwarna sama dengan warna favorit pasangan anda. Sebisa mungkin, benda-benda itu anda kumpulkan sehingga kamar anda memungkinkan berkhayal seakan-akan sang kekasih sedang duduk bercengkrama atau merebah tidur di kasur bersama anda, tentunya. Belum lagi gaya komunikasi ala pasangan jarak jauh yang mendekati absurd, namun bukan berarti tidak bermakna sama sekali. Aku rasa sangat aneh bagi orang normal untuk meminta disuapi saat makan, padahal dia tahu, dia sedang texting(sms-an) dengan orang yang jaraknya berkilometer. Lebih aneh lagi saat pasangan meminta berciuman dengan kata “muah” yang disampaikan melalui SMS dengan tambahan emoticon (:*, tanda bibir sedang manyun). Se-tonggos apa bibirmu hingga bisa mencium orang yang ada di luar kota.
                Kita sadar, bahwa keterpisahan dengan orang terkasih adalah beban. Sebagai topeng, kita terpaksa menciptakan fantasi, mengimaji pikiran sehingga seakan-akan kita tidak sedang berpisah, selalu bersama, meskipun faktanya jelas bahwa kita sedang menanggung derita. Saya tidak membahas gagasan bahwa teknologi bisa mempersempit jarak. Bagi saya, arti kata “terpisah” masih tetap dalam koridor kemampuan bibir kita berbicara, telinga kita mendengar, dan mata kita melihat. Setiap orang yang tidak dalam radius bisa mendengar pembicaraan kita secara langsung dengan mata saling menatap, berarti sedang terpisah. Kita harus tahu bahwa teknologi hanya membantu berkomunikasi, bukan mengganti cara berkomunikasi, kita tetap harus bertemu tatap muka.
                Fantasi, sekalipun tidak benar-benar ada, merupakan suatu penghiburan bagi kita. Bisa dibilang anda menghipnotis diri sendiri saat menciumi foto kekasih yang tertempel di dinding kamar. Namun, itu tetap berguna sebagai penghiburan atas deadline tugas yang tiada henti, atau dosen killer yang sulit diajak berkomunikasi saat asistensi. Fantasi adalah obat termurah untuk “menghilangkan” rasa sakit. Anda tidak harus membeli arak untuk mabuk, atau obat-obatan yang katanya bisa membuat kita berada di surga yang lepas dari pengawasan malaikat Ridwan. Fantasi hanya butuh bahan bakar berupa; kenangan yang ingin diulangi, atau bisa juga timbul dari keinginan menjadi peran utama dalam suatu adegan romantis. Itu semua tidak perlu uang.
                Di sisi lain, fantasi adalah cermin ketidakmampuan meraih keinginan. Maka dari itu, jika ada orang yang sulit untuk berfantasi, saya akan menghormatinya. Dengan anggapan bahwa, keadaannya saat ini adalah keadaan yang diinginkannya, dia telah berhasil mewujudkan impiannya dalam dunia nyata sehingga tidak perlu lagi berfantasi. Tapi, keinginan––ya keinginan. Mungkinkah manusia bisa berhenti memiliki keinginan? Bukankah keinginan yang tercapai hanya melahirkan keinginan baru, fantasi yang tercapai melahirkan fantasi yang baru? Duh menungso, uripmu ancen ora ngerti diuntung, wes dike’i rejeki mudun, tapi ora tau ngucap syukur.

Minggu, 21 Desember 2014



Jika kita tidak saling mengajukan permintaan, kita tidak dapat saling mencintai atau bekerja.
Kutipan di atas adalah kalimat yang dituliskan Phillip Hill dalam bukunya “Lacan untuk Pemula”. Tulisan itu tampil bersama ilustrasi dan digambarkan sedang diucapkan oleh laki-laki bersayap (malaikat) kepada seorang perempuan. Bibir mereka berdua berdekatan sebagai tanda mereka adalah sepasang kekasih.
                Permintaan seperti dalam perspektif Lacan adalah permintaan tentang sesuatu yang tidak ada. Hill menyontohkan dengan baik tentang ini dengan menggambarkan seorang bocah yang meminta barang kepada orang tuanya. Bocah meminta cokelat, orang tua menyanggupi. Lima menit kemudian bocah meminta pisang, orang tua masih menyanggupi. Kemudian bocah meminta biskuit, orang tuanya menaruh biskuit ke mulutnya. Saya yakin bocah itu akan meminta obyek-obyek yang lain, jika saja mulutnya tidak disumpal biskuit.
                Dan cinta, mirip dengan permintaan yang dilancarkan si bocah. Kata “Aku rindu padamu” yang dikatakan oleh pasangan kita (maaf untuk yang masih jomblo) adalah keinginan untuk bertemu. Namun, bersamaan dengan itu, sebenarnya dia juga mengatakan bahwa dia sedang tersiksa dengan ketidakhadiran pasangannya. Lantas kemudian, tidak ada yang menjamin setelah mereka bertemu, tidak akan ada permintaan yang dilancarkan oleh masing-masing pasangan. Sensasi rindu yang hilang kemudian berganti menjadi permintaan lainnya, seperti: ajakan makan malam, shopping.
                Cinta menemukan bentuknya dengan saling mengajukan permintaan kepada pasangannya. Begitu banyaknya permintaan yang dilancarkan ini terkadang memunculkan anggapan bahwa setiap orang selalu bersikap manja kepada pasangannya. Anggapan ini tentu diucapkan oleh orang ketiga serba tidak tahu (sahabat, teman, atau konsultan cinta). Saya rasa itu wajar karena mereka yang mengerti arti permintaan dalam percintaan adalah orang yang sedang bercinta. Orang lain mungkin akan menganggap mereka yang sedang bercinta sebagai anak kecil (karena manja), atau bahkan sebagai budak (karena terus-menerus menyanggupi permintaan pasangannya). Keadaan ini sebenarnya wajar, bahkan pun jika permintaan yang diajukan tidak rasional, karena pada dasarnya setiap pasangan sedang ingin menguji seberapa besar kemampuan pasangannya untuk mengabulkan permintaan. Sebaliknya, saat pasangan tidak saling mengajukan permintaan, maka cinta tidak akan bermakna lagi dan mereka menganggap bahwa cinta tidak akan berguna lagi bagi dirinya.
                 Para individualis seringkali bermasalah dengan konsep ini, karena mereka mungkin tidak bisa menemukan alasan mengapa mencintai orang lain, mereka merasa sudah cukup memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Orang lain mungkin hanya beban. Jikapun mereka sedang berpacaran, maka mereka tentu akan mengeluh saat mereka diserang permintaan oleh pasangannya. Dalam pikirannya akan timbul pernyataan, “Aku tidak pernah butuh apapun darinya, mengapa aku harus mencukupi kebutuhannya?” Orang seperti ini sepenuhnya masih belum menyadari kebutuhannya. Sekurang-kurangnya, manusia membutuhkan orang lain untuk dicintai, bahkan untuk sekedar pemuasan biologis. Pada saatnya dia sadar, dia akan mencari pasangannya. Bagaimanapun, intensitas permintaan yang dilancarkan seseorang bisa menjadi parameter betapa besar cintanya.

Catatan: Jangan kira dengan tulisan ini, anda menganggap saya bercita-cita menjadi konsultan cinta layaknya Mario Teguh. Saya menulis ini saat sedang buntu merevisi proposal skripsi. Saya menemukan bahwa menulis blog lebih gampang daripada menulis skripsi. Cita-cita saya jangka pendek ini masih tetap menjadi seorang Insinyur Sipil yang amanah demi menghasilkan rejeki yang barokah.