:::: MENU ::::

Selasa, 03 Februari 2015



 Camus, Pramoedya, Nietzsche, Beethoven, dan sedikit Iwan Fals. Apakah aku hanya akan menjadi sekedar saduran dari kegemilangan ajaran dari para idola-idolaku ini? Jika Einstein mengatakan bahwa mengidolakan seseorang hanya dilakukan oleh manusia dekaden, maka sesungguhnya dia tidak bisa serta merta menuduh yang demikian. Mengidolakan seseorang bukan berarti menjiplak dengan sempurna segala ajarannya. Mereka hanya menjadi panutan bagaimana seharusnya memandang dunia, barangkali mereka mempersepsi dunia sama halnya dengan kita mempersepsinya, meskipun tidak sama persis. Mereka adalah guru, Einstein pun juga mempunyai guru sebelum dia menemukan teori relativitasnya.

Camus mengatakan untuk tidak lagi memunculkan rasa bersalah dalam diri; tidak ada kata maaf. Sepintas ini bertentangan dengan etiket umum di kalangan Jawa: terlalu banyak kata maaf dan rendah diri di sana-sini. Bahkan berjalan di gang pun, kita harus mengucapkan “nuwun sewu” pada orang tua yang sedang duduk santai di depan rumah. Menurut Camus, kata maaf sebenarnya adalah usaha melepaskan tanggung jawab dari kesalahan. Dia mengajak manusia menguasai diri, sesadar-sadarnya atas segala tindakannya. Jika pun ada kesalahan, mereka tidak perlu minta maaf; cukup maju selangkah dan berkata, “Aku yang melakukannya dengan sadar, tidak perlu melihat orang lain. Tentu aku bertanggung jawab atas kelakukanku.” Suatu keberanian yang sedang hilang dari wajah pemimpin negara. Mereka lebih suka menihilkan diri sendiri dalam tindakan. Menjadikan peraturan yang dibuatnya sendiri untuk menenggelamkan tanggung jawab. Kita lebih sering melihat saling lempar tanggung jawab antar instansi saat mereka terkena masalah. Itukah sifat dasar bangsa kita?

Pramoedya, sang realis juga eksistensialis. Dalam kuartet novelnya yang berlatar penjajahan Belanda, menampilkan perjuangan atas persamaan hak dan tingginya harga diri. Harga diri? Anda pernah mendengar orang yang gila harga diri, itukah yang diinginkan Pram? Tidak. Kita perlu memberi istilah lain untuk salah kaprah istilah gila harga diri, yakni: Gila Penghargaan! Pram mengajarkan kita untuk tidak saling memangsa, dan merasa unggul jika berhadapan dengan sesama manusia. Dalam Jejak Langkah, dia menulis, “Diri datang bukan untuk menang, tak pernah bercita-cita jadi pemenang atas sesama”. Nama aslinya yang seharusnya Pramoedya Ananta Mastoer, digantinya dengan menghilangkan suku kata “Mas”, sebagai lambang bahwa dirinya menjunjung tinggi kesetaraan. Dan seperti pejuang kesetaraan, dia selalu dianggap sebagai pemberontak yang mengancam keamanan negara.

Nietzsche, dengan Zarathustra-nya yang menyindir tanpa ampun. Menghancurkan nilai moral, sekaligus menumbuhkan nilai moral yang baru. Apa nilai moral yang baru? Kehendak katanya, segala sesuatu adalah karena kehendak, kehendak akan kuasa khususnya. Tuhan telah mati, katanya. Segala nilai moral berdasar ketuhanan juga ikut hancur bersamanya. Manusia hanya harus kembali menuju dirinya sendiri untuk membunuh Tuhan. Manusia adalah batu berpori, mereka ingin menjadi utuh tanpa lubang sehingga mau tak mau harus mengisi lubang pori-pori itu dengan sesuatu disebut Tuhan. Oh iya, Nietzsche sendiri mempunyai idola yang berubah-ubah. Dia pernah jatuh cinta pada karya Richard Wagner, seorang komposer Jerman. Pada waktu yang lain dia terkesima dengan pemikiran filsuf Schopenhauer. Pada akhirnya, dia memusuhi kedua idolanya itu.

Ludwig van Beethoven, seorang yang baru saja kukenal lewat sebuah film “Copying Beethoven”. Di dalamnya saya mengenalnya sebagai seorang yang tidak peduli pada nilai moral pada umumnya. Dia tidak pernah meragukan kemampuannya sendiri dalam bermusik. Dia berkata, “Tuhan berbisik kepada semua orang, tapi kepadaku Dia berteriak hingga aku tuli.” Beethoven memang seorang tuli, bisakah anda membayangkan seorang pencipta musik yang tuli? Dalam kesempatan lain, Beethoven juga sedikit diulas pada novel Jostein Gaarder berjudul “Gadis Jeruk”, dia berkomentar “Beethoven memiliki surga dan nerakanya sendiri, itu terbukti pada simfoni Moonlight.” Saya sendiri tidak terlalu paham musik-musik opera klasik. Namun, musiknya saya akui menenangkan. Dia sendiri mengomentari bahwa musiknya, “menjembatani jiwa-jiwa manusia”.

Iwan Fals, Virgiawan Listanto nama aslinya. Saya mengenalnya semasa SMP, saya jatuh cinta pada lagu “Sore Tugu Pancoran” yang dimainkan radio di rumah. Karyanya mewakili kondisi warga menengah ke bawah. Anak kecil loper koran yang rela meninggalkan pekerjaan rumah demi mendapat biaya sekolah. Pelacur penafkah keluarga yang sepi pengunjung (cerita pada lagu “Azan Subuh Masih di Telinga” dan “Doa Pengobral Dosa”). Belum lagi lagu romantisnya semacam “22 Januari”, “Yang Terlupakan”, atau “Jendela Kelas Satu”. Aaah, sungguh memikat. Sebelumnya, saya adalah seorang fans dari Rhoma Irama, sebelum akhirnya saya sadar bahwa dia adalah “pengkhotbah moral” yang lebih suka menentang kejahatan dan berlagak suci dalam kedok gitarnya, saya khilaf.

Saya kira setiap idola yang layak dimaknai sebagai idola tidak terlalu silau dengan nama besar dan penghargaan. Baginya, fans yang bisa menemukan dirinya sendiri dalam karyanya adalah penghargaan yang cukup.