:::: MENU ::::

Sabtu, 17 Mei 2014

-Agustira Rahman Ilhami-
Tukang, layaknya para buruh, pekerja kasar. Seperti buruh lepas, mereka berganti-ganti tempat bekerja. Ganti tempat, ganti proyek, juga ganti bidang. Pada proyek berskala kecil menengah, mereka bisa mempunyai pengalaman mengerjakan berbagai macam bidang pekerjaan. Maksud saya berbagai macam pekerjaan adalah mereka bisa saja pernah menggarap jembatan (transportasi), gedung (struktur), atau mungkin bendungan (bangunan air). Pada proyek kecil menengah biasanya tidak dilakukan seleksi terlalu ketat terhadap para  tukang mengenai spesifikasi keahliannya.
Meski banyak yang tidak memiliki sertifikat keahlian, para tukang tidak bisa dianggap enteng dalam hal keahlian. Pengalaman bertahun-tahun di bidang bangunan terkadang membuat mereka mengerti struktur tanpa menghitung. Waktu yang mengajarkan mereka. Seperti kata Albert Cammus. Semua hanya masalah terbiasa. Saya sedikit iri dengan mereka, bagaimana bisa mereka mengerti struktur tanpa menghitung, sedangkan kuliah saya lebih sering diisi lembur bersama Microsoft Excel dan kalkulator?
Memang ada konsekuensinya, tidak bisa kita mengatakan bahwa para tukang lebih mudah memahami struktur karena melalui proses tanpa hitungan struktur rumit. Kita lihat bahwa mereka menghabiskan minimal sepuluh tahun untuk melatih pemahaman tersebut. Dengan mengetahui itu, diharapkan tidak ada yang menganggap bahwa “insting insinyur” tumbuh secara instan. Kecuali, anda setuju dengan orang yang menganggap bahwa menjadi tukang (bekerja kasar) selama sepuluh tahun adalah menyenangkan. Sepuluh tahun bukan masa yang pendek. Berpeluh-peluh menyangkul adukan spesi, menata bata, hingga mengangkat kuda-kuda utuh ke atap bukanlah perkara yang menyenangkan, utamanya  bagi sebagian besar mahasiswa Teknik Sipil yang biasa duduk di kelas.
Para tukang adalah korban zaman, begitu ungkap Ahmad Tohari dalam novelnya “Orang-Orang Proyek”. Pada awalnya, tidak ada yang pernah bercita-cita menjadi seorang tukang bangunan. Profesi ini tidak terlalu meningkatkan harkat martabat keluarga. Tidak terlalu menjanjikan penghasilan yang tetap. Para tukang sebagian besar berpendidikan rendah. Bukan berarti bodoh, namun mereka lebih memilih bekerja sedari muda untuk mencukupi keluarganya daripada meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi. Kemudian mereka mengekor kepada tetangganya di desa menuju sebuah proyek di kota. Awalnya mereka menjadi kuli (asisten tukang). Setelah cukup pengalaman dan insting yang kuat, mereka bisa naik ‘pangkat’ menjadi tukang.
Desa menjadi tempat lahirnya tukang. Di Banyuwangi, saya jarang mendapatkan bahwa tukang dalam proyek berasal dari kota (Kecamatan Banyuwangi). Banyak dari mereka yang berasal dari pedesaan barat (Kecamatan Glagah, Licin) dan dari masyarakat sederhana daerah selatan (Kecamatan Muncar, Cluring, Srono, dst).
Bisa dibilang keahlian tukang dibesarkan oleh kondisi sosialnya mereka bekerja. Pada awalnya para tukang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kecil semacam jembatan penghubung jalan kabupaten atau rumah tinggal berlantai dua. Proyek berskala kecil ini mengakibatkan mudahnya proyek tersebut diamati. Para tukang pemula dengan mudah bisa mengingat berapa banyak material yang sudah keluar masuk hari ini. Mereka lalu membandingkan dengan volume pekerjaan yang mampu dikerjakannya dengan material itu. Misalnya saja, dua hari lalu dating seribu buah batu bata menggunakan satu mobil pick-up. Mereka kemudian mengamati bahwa dengan seribu bata, mereka mampu membuat tembok seluas empat belas meter persegi. Hal tersebut cukup kecil sehingga bisa diamati oleh para tukang.
Pengamatan-pengamatan tersebut berlanjut pada obyek lain pada bangunan seperti berapa pada keramik, pekerjaan pintu, plafon, atau pekerjaan atap. Bahkan, tukang yang ‘keren’, bisa menghitung dengan cepat (dan terlihat mudah) kebutuhan tulangan pada plat beton. Pengamatan-pengamatan seperti ini tidak akan berhasil jika dilakukan pada proyek berskala besar seperti gedung berlantai lebih dari tiga. Pada akhirnya, saya akan mempunyai alasan mengapa setiap orang harus berangkat dari hal-hal kecil.
Para tukang adalah insinyur alam. Mereka mengetahui apa yang salah pada bangunan dengan melihatnya saja. Saya mempunyai teman yang mengaku beruntung mendapatkan tukang yang pintar. Dalam renovasi rumah saudaranya, teman saya (mahasiswa teknik sipil) menyerahkan gambar denah dan tampak depan yang diinginkan. Tukang tersebut melihat gambar tersebut dan meminta ijin untuk merevisinya. Teman saya mengijinkan, dan di akhir proyek dia berkata bahwa cukup puas dengan perubahan pada gambar yang direvisi tadi. Jika teman saya yang sebagai mahasiswa dan tukang ini saya sebut sebagai sampel dari golongan masing-masing, saya bisa mengatakan bahwa insting insinyur milik para tukang lebih baik daripada mahasiswa.
Dosen saya mengajarkan bahwa insting insinyur hanya akan didapatkan saat sering berada di proyek. Namun, saya tidak setuju pendapat itu (saya bisa mengelak, karena pendapat dosen saya belum diresmikan dalam SNI). Insting insinyur juga bisa didapat melalui proses-proses di dalam kelas. Mahasiswa yang notabene sebagai akademisi bisa disebut kalah jauh dengan intensitas keberadaannya di area proyek. Mereka sesuai dengan tugasnya sebagai mahasiswa, lebih sering menghabiskan waktu di dalam kelas membahas rumus dan flowchart perhitungan struktur. Insting insinyur bisa tumbuh andaikata mereka tahu mengenai maksud dari tahapan-tahapan perhitungan, ditambah lagi intensitas berlatih melalui contoh-contoh soal. Adanya keberlanjutan latihan akan membuat mereka tahu ketika hasil perhitungan yang didapatkan tidak normal. Misalnya saja, kolom baja yang terkena beban 10 ton biasanya cukup dengan profil WF.200. Ketika dalam perhitungan didapatkan bahwa hasilnya lebih besar atau lebih kecil dari hasil biasanya, mereka bisa tahu bahwa ada yang salah dari perhitungannya. Bahkan, jika mahasiswa lebih teliti, insting insinyur mereka tidak akan berhenti pada bangunan yang berukuran sedang saja. Hal ini tentu berbeda dengan insting insinyur milik tukang yang hanya berlaku pada bangunan berukuran sedang.
Insting insinyur bisa tumbuh di dalam kelas maupun di luar kelas. Mahasiswa tidak perlu berkecil hati jika mereka didamprat oleh tukang dengan perkataan, “Gawe opo sekolah? Teorimu gak digawe nang kene!”  Tukang juga tidak seharusnya terkena omelan tak berlogika dari para pelaksana lulusan Teknik Sipil hanya karena mereka tidak pernah bersekolah di bidang Teknik Sipil. Tukang dan mahasiswa bisa menumbuhkan pemahaman terhadap bangunan melalui proses yang berbeda. Penghormatan terhadap proses masing-masing akan menuju pemahaman yang sama.
Namun, melihat realita yang ada, ternyata proses-proses di dalam kelas yang terlalu berlebihan akan menimbulkan masalah. Banyak dari mahasiswa yang akhirnya tidak mengerti apa yang sedang mereka hitung. Jari-jari mereka hanya bisa menekan tombol kalkulator sesuai dengan persamaan yang diinginkan rumus dan peraturan. Ketika ditanya, “Kamu menghintung apa?” “Saya tidak tahu!” Saya tidk menyalahkan. Pada satu titik jenuh, beberapa hal dalam perhitungan saya pikir tidak penting untuk dicari tahu. Yang penting kan dapat “A”, eh!!