:::: MENU ::::

Senin, 17 November 2014

Dari keempat kakek dan nenekku, aku hanya pernah bertatap muka dengan satu di antaranya. Dia adalah ibu dari ibuku. Hal yang paling kuingat darinya adalah dia sering membuat kue menjelang hari raya. Banyak orang yang memesan untuk dibuatkan kue. Ada beberapa kue yang bisa dipesan kepada mbah (aku memanggilnya demikian), yakni tingting jahe, tingting kacang, sato, kue mawar dengan selai nanas (aku tidak tahu nama yang umumnya dipakai untuk kue ini).

Menjelang hari raya Idul Fitri, mbah selalu sibuk. Dia membuat kue dari pagi hingga sore. Pada pagi hari dia mulai menata kayu bakar dalam tungku. Dia membutuhkan bahan bakar kayu dengan apinya yang besarnya tidak bisa dihasilkan dari kompor minyak.

Di atas tungku itu kemudian dia melelehkan gula hingga berbentuk lengket semacam lem kertas, warnanya kuning tua. Ibu tidak terlalu bisa memasak, dia terkadang membantu tapi hanya untuk hal-hal sepele seperti merendam dan mengupas kacang, menjemur buah asem, dan mengepak kue ke dalam toples. Terkadang aku juga membantu di dapur, jika tidak sedang bermain biasanya aku ikut mengaduk gula yang sedang dipanaskan, ikut mencetak kue sato. Aku juga ikut memotong lembaran kue tingting jahe dan tingting menjadi bagian-bagian kecil sebelum masuk ke toples. Tapi itu tidak sering, ayah mengingatkanku untuk tidak terlalu sering beraktifitas di dapur, katanya dapur itu urusannya wanita. Sejak itu aku mulai berpikir dua kali jika ingin membantu mbah di dapur, lagipula aku tidak benar-benar membantu di dapur, mbah sering harus mengaduk lagi gula yang telah aku aduk, dia harus menuntun pisauku saat memotong lembaran kue. Hematnya, aku di sana hanya merepotkannya saja.

Dapurku untuk membuat kue masih beralaskan tanah, luasnya hampir sepertiga keseluruhan luas rumah. Tidak ada kompor gas, hanya tungku api yang terbuat dari batu bata. Bahan bakarnya adalah kayu kering, mbah biasanya menyimpan cadangan kayu kering di depan rumah di bawah teritisan atap, di samping taman depan. Di dapur itu juga ada meja makan bertaplak merah muda dengan corak persegi kecil. Ukurannya cukup besar untuk menampung sekitar delapan jenis masakan di atasnya.

Dapurku tidak pernah terlihat berkilau, tembok dan tungkunya berwarna hitam akibat asap dari sisa pembakaran kayu bakar. Tidak ada langit-langit, aku bisa melihat genteng dan rangka atapnya dari bawah yang juga berwana hitam. Lantainya berwarna coklat kehitaman, kadang becek karena ada tetesan air yang jatuh dari atap yang bocor, tapi itu tidak sering.

Saat aku SMP, rumahku direnovasi. Atapnya ditinggikan, ubin lantai diganti dengan keramik. Dapurnya juga ikut diperbaiki. Lantai tanah diganti keramik, tungku diganti kompor minyak, tidak ada tembok hitam. Waktu itu mbah tidak terlalu keberatan, karena dia memang akan berhenti menerima pesanan kue, lebih tepatnya ibu dan ayahku yang menyuruhnya berhenti. Dia mulai sering sakit, ibu merasa dia sudah cukup bekerja di usianya yang menginjak tujuh puluh tahunan. Lagipula keadaan ekonomi keluargaku juga sudah meningkat, nafkah yang dicari ayahku cukup untuk sedikit memanjakan mbah. Ayah dan ibu sepakat untuk menyuruhnya berhenti membuat kue agar sakitnya tidak berkelanjutan.

Aku tidak terlalu ingat dia menderita sakit apa saat dia baru berhenti membuat kue. Aku hanya ingat saat aku sudah sekolah di SMK, dia menderita flu tulang. Nama yang aneh untuk sebuah penyakit, karena aku tahu bahwa tulang tidak akan bisa batuk. Apapun itu, dia menjadi lebih ringkih saat berjalan. Dia sering berjalan pelan-pelan dengan telapak tangan bersandar kepada tembok. Dia juga jarang keluar rumah. Dia lebih sering menghabiskan aktivitas di ruang tamu untuk sekedar melihat jalanan dari balik kaca jendela. Jika terdengar suara adzan, dia ke kamar mandi mengambil wudhu’ kemudian sholat di kamar. Setelah itu dia kembali ke ruang tamu, kadang juga dia terlelap setelah melakukan sholat.

Seiring bergulirnya waktu, kesehatannya semakin memburuk. Dia semakin jarang duduk di ruang tamu, lebih sering berada di dalam kamar. Dia keluar kamar hanya pada saat ingin mandi dan wudhu’. Saat makan, ibu mengantarkan makanannya ke kamarnya.

Aku tidak mengerti seberapa besar mbah menyayangiku. Itu dikarenakan mbah tidak terlalu banyak berbicara. Dia jarang menasehatiku, dia hanya sering marah saat aku tidak kunjung pulang bermain sepak bola saat adzan maghrib. Dia juga marah saat aku keluar rumah pada jam dua siang untuk bermain. Dia keberatan jika aku bermain saat panas matahari masih menyengat, tapi aku menyukai bermain sepak bola di bawah panas matahari sehingga aku terlalu mendengarnya dan sering mencuri kesempatan keluar rumah saat dia lengah. Sekalipun demikian, dia sering memujiku sebagai anak pintar saat aku mendapatkan ranking tinggi di kelas. Dia juga sering menyuruhku belajar di malam hari, tapi aku jarang menurutinya karena merasa pelajaran di kelas terlalu mudah sehingga lebih sering mengerjakan PR di sekolah pada pagi hari.

Saat aku sudah kuliah di Jember, ibu mengatakan bahwa mbah sering tanya kabarku. Aku paham kekhawatirannya, sehingga aku masih sering untuk pulang agar dia tidak terlalu bingung memikirkan kabarku. Dia meninggal saat aku semester tiga. Dia meninggal bersama sakit yang dideritanya, tapi aku lebih senang menganggapnya sakit karena memang sudah waktunya. Jika aku tidak salah, dia meninggal pada hari Sabtu. Waktu itu aku masih bekerja sebagai tukang gambar freelance pada akhir pekan. Aku ingat ibu meneleponku saat aku di dalam mobil untuk survey lokasi perumahan yang akan aku gambar. Dia meninggal pada tengah hari, setelah dia melakukan sholat dhuhur.

Sejak saat itu, aku mulai berpikir bahwa satu kamar di rumah kami akan kosong. Aku juga tidak akan melihat orang berbaju kebaya lagi di rumah, aku yakin ibu dan adikku tidak akan mau memakai kebaya mengikuti tradisi. Aku juga teringat bahwa aku lupa mencium tangannya untuk berpamitan sebelum bekerja tadi pagi, aku sedikit menyesal untuk itu. Lebih menyesal lagi saat aku tidak bisa mengingat apa percakapan terakhir kami berdua.

Bagaimanapun, aku tidak perlu menyesali kepergiannya. Aku rasa dia telah berbahagia karena mengakhiri perjalanan waktunya di dunia saat anak-anaknya telah mandiri, dalam artian tugasnya sebagai orang tua dan nenek telah selesai. Jikapun ada alasan bagi Tuhan untuk mempertahankan dia di dunia, itu adalah sekedar untuk membuat anak-anaknya mempunyai kesempatan untuk membalas budi untuk merawatnya. Tugas pokoknya telah selesai, dan dia layak untuk mendapat keabadian sebagaimana yang pernah Tuhan janjikan. (17/11/2014)



*Tulisan ini saya buat untuk Dewi Fatmawati yang baru saja kehilangan neneknya. Semoga kamu punya keikhlasan yang besar dan menghilangkan keinginan egois untuk menikmati waktu bersamanya. Dia pasti bahagia karena meninggalkan dunia fana, surga sudah diciptakan untuk membahagiakan jiwa manusia yang lelah.







Sabtu, 15 November 2014



Laki-laki menyukai teka-teki. Dan karena itulah dia tidak menyukai wanita yang banyak bicara. Ketika wanita berbicara, ada dua kemungkinan yang ada dalam otaknya: menggurui, atau muntah. Aku tidak mengerti kenapa mereka memperlakukan laki-laki sebagai orang yang benar-benar peduli dengan masalah mereka saat mereka menceritakan seluruh detail masalahnya. Mulut mereka besar, tapi telinga mereka buntu.
                Mungkin ini salahku sendiri karena terlalu banyak mendengarkan lagu-lagu romantis Iwan Fals. Salah satunya berjudul 22 Januari. Dalam liriknya, sudah bisa ditebak bahwa si wanita adalah pendiam. Tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Bagian yang paling aku suka adalah bait yang menceritakan mereka berdua berjalan berdampingan di malam hari. Saat itu diceritakan sedang mendung. Saat mereka asyik jalan, keluarlah satu-satunya kata dari mulut si lelaki, “Sebentar lagi hujan.” Aku tidak tahu apakah kata-kata itu sebagai ajakan untuk pulang karena mereka tidak membawa payung, ataukah tanda kegirangan dari si lelaki karena akan berbagi kehangatan di tengah dinginnya hujan sembari berteduh di pinggir jalan. Aku sendiri membayangkan mereka berteduh di halte bus yang sudah sepi sambil duduk berdekatan, kehangatan tubuh masing-masing tersalurkan dari genggaman tangan mereka. Karena lagu inilah aku berkeyakinan bahwa Iwan Fals mempunyai selera wanita yang sama denganku, hahaha.
                Aku rasa semua orang setuju bahwa kita harus adil terhadap tubuh yang diberikan Tuhan kepada kita. Kita diberi lima indera, mata, telinga, lidah, kulit, dan hidung. Kelima indera ini diciptakan Tuhan sebagai bekal manusia untuk memahami apa yang di luar dirinya. Wanita tidak bisa bertindak tidak adil dengan memaksa laki-laki mengeksploitasi indera pendengarannya, telinga juga bisa letih dan syaraf-syaraf otak masih harus memikirkan rangsangan dari keempat indera lainnya.
Berkomunikasi seharusnya tidak melulu dengan bahasa lisan dan teks, terlebih lagi untuk sepasang kekasih yang mengaku sudah mengerti satu sama lain. Lagipula, aku rasa kenikmatan saat bercinta terlalu abstrak untuk digambarkan melalui bahasa apapun. Lihatlah, kamus bahasa indonesia hanya setebal tujuh centimeter, bahkan masih kurang tebal jika dibuat bantalan tidur.
Kita kemudian harus mulai memikirkan kembali cara berkomunikasi antar pasangan. Aku ingin menatap mata beningmu yang konon bisa menerawang jauh ke lubuk hati. Kulitku ingin merasa dicintai dengan belaian lembut tanganmu, dia juga tidak pernah keberatan jika harus ditampar jika sesekali pantas menerimanya. Hidungku juga ingin menghafal bau tubuhmu agar aku bisa menebak parfum apa yang sering kau pakai. Lidahku ingin merasakan masakanmu yang katanya sering kau beri bumbu cinta. Apapun pendapatmu tentang kegombalan ini, yang pasti sepasang kekasih tidak sepantasnya mengerti apa yang dirasakan pasangannya hanya melalui bahasa lisan dan teks. Dengan itu kita bisa berpendapat bahwa seorang bisu sekalipun masih layak mendapatkan cinta.