:::: MENU ::::

Senin, 04 Juli 2016

Baudrillard sedang kesal, kesal sekali mungkin. Ah, kapan memangnya dia tidak kesal. Filsuf pencemberut, cengeng, suka memaki. Kami menyewa kamar di salah satu hotel berbintang di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Dia ingin melihat Burj Khalifa yang terkenal itu dari dekat. Burj Khalifa adalah gedung tertinggi di dunia, kami menyewa kamar hotel yang menghadap pada gedung kokoh ini. Tidak perlu menyewa hotel yang dekat, jika memandang pada arah yang tepat, Burj Khalifa terlihat dari manapun juga.
Bagi dia, melancong bukanlah berfoto-ria dengan penuh senyuman, dia hanya mencari obyek makian lain setelah berbusa-busa bosan mengolok-olok konsumerisme Amerika Serikat. Dan sebagai teman imajiner yang baik, saya selalu mengikutinya. Kami datang saat malam larut, malam yang terang di Bumi dan kegelapan hanya milik langit di atas kami.
Baru saja dia tiba di kamar, duduk sambil menata pakaian dalam lemari, dia sudah berani memaki-maki hotel yang kami inapi, “Cakrawala masih terang di malam buta, pendingin ruangan menyala dalam kamar hotel yang kosong di tengah padang pasir ......” Orang ini tidak bisa hidup tanpa mengkritik. Dia jijik pada pembangunan. Baginya laju pembangunan menjadi semakin bodoh. Dan hotel ini menunjukkan mindless luxury, kemewahan tanpa otak, katanya.
“Siang atau malam tetap saja terang, apa orang sekarang sebegitu takut pada gelap?” dia meneruskannya, dan saya sudah terbiasa mendengar dia demikian. Terkadang saat saya sedang tidak enak hati, saya merasa cemoohannya pada pembangunan juga diarahkan pada saya. “Dasar orang tua ketinggalan zaman, lambat menerima kenyataan,” kata saya dalam hati meski kemudian segera saya tarik kembali.
Dia lebih suka mendengar cerita-cerita saat manusia tinggal di goa. Dia mengagumi manusia purba yang dekat dengan alam. Dia menyukai para “kera” yang tahu kebutuhan hakikinya untuk bertahan hidup. Dan pada saat yang bersamaan memandang sinis pada “spesies hasil evolusi terakhir manusia” yang semakin hari semakin mengedepankan kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya artifisial.
Hmm, saya membayangkan orang di depan saya ini tengah memanggang paha mammoth di dalam gua. Memakai pakaian kulit singa purba, dan memegang pentungan sebesar badannya.
Lelucon Evolusi

Dia tidur larut malam seperti biasanya. Rencananya kami akan berbelanja kebutuhan sehari-hari ke supermarket terdekat dari hotel.
Keesokannya dia bangun pagi dan kami bergegas menuju supermarket yang buka 24 jam. Saat dia masuk supermarket yang lampunya menyala meski matahari sudah terbit, dia protes: “Dasar arsitek gila, matahari kurang terang apa coba?!!” Si kasir penjaga toko yang tak tahu apa-apa menjadi takut, kincup, dan menunduk sambil menempelkan barang belanjaan kami pada pemindai laser. Etalase, boneka peraga, lampu hias, tanaman palsu, tak luput dari makiannya. Dia selalu merasa sesak dan gerah dimanapun dia berada.

Meski dia bukan orang baik dalam pengertian orang normal. Tapi saya menyukai Baudrillard. Saya menyukai orang-orang yang suka memaki, suka dengan orang yang menyimpan dendam yang sejenis dia, Nietzsche atau Marquise Sade. Dan mulai meninggalkan orang woles macam Camus, saya tidak bisa menjadi woles seperti dia. Bagi saya, dendam dan kebencian menimbulkan energi yang lebih dari cukup untuk menemukan titik kritis persoalan. Namun, tentu saja, tidak mudah untuk menjadi pembenci yang cerdas. Tanpa kecerdasan dan wacana, sepertinya kebencian kita hanya akan menjadi kritik kacangan. Dan kecerdasan tanpa kebencian, itu tidak mungkin. Semakin kita tahu, semakin kita membenci. Tak kenal, maka tak boleh membenci.
Siapa yang bilang kalau kecerdasan akan sia-sia tanpa adanya kasih sayang. Saya hanya tertawa. Sebab bagi saya, rasa benci tumbuh bersamaan dengan kasih sayang, tak ada bedanya, pisau bermata dua.

***
Kembali pada Baudrillard yang sekarang sudah reda emosinya setelah meminum kopi dan menghisap rokok Surya yang saya bawa. Dia punya mata dan pikiran yang tajam dalam melihat ruang. Sebagaimana dia melihat komunikasi, ruang baginya merupakan cerminan para insinyur yang sedang mabuk. Sedang kecanduan dan teler. Berlebih-lebihan.
Jean Baudrillard

Banyaknya lampu hias, tanaman palsu, atau AC yang bertebaran di dinding ruangan, baginya menunjukkan betapa manusia berada dalam kondisi teler. Tapi mengapa manusia menjadi teler dalam segala proses mencipta? Jawaban terdekatnya adalah ‘kuasa’. Para pencipta ruang (arsitek) sepertinya menginginkan adanya kendali penuh manusia dalam mengatur ruang-ruang sesuai keinginannya. Mereka berusaha menciptakan ruangan yang terlepas dari keadaan kacau dan tak terpahami yang biasa mereka temui di ruang terbuka. Mereka adalah tipe orang yang gila kuasa.
Jika kita lihat, ruangan supermarket, hotel, ataupun apartemen, sebisa mungkin dalam keadaan stabil, tak berubah. Jika anda ke supermarket hari ini, maka tak akan ada bedanya suasana yang anda alami saat mengunjungi kembali sebulan kemudian. Tidak akan ada pengalaman meruang yang berbeda pada setiap kunjungan. Suhunya sama, siang dan malam sama terangnya, lagu yang diputar dengan volume yang sama, paling cuma penataan barangnya yang berbeda.
Mereka sengaja menciptakannya demikian, memisahkan ruangan ciptaannya dari kompleksnya iklim di dunia luar. Hari ini, batas-batas ruangan menjadi absolut. Bagaikan bunker Hitler yang membuat penghuninya tidak tahu kondisi dunia luar. Bagaikan penjara Alcatraz yang mengasingkan narapidana dari keluarganya. Ruangan macam ini tidak mengikuti siklus lingkungan sekitar dalam eksistensinya. Dia memiliki siklus sendiri yang berada dalam kendali pemiliknya. (Tuhan tidak ada dalam supermarket? Dalam beberapa hal, itu bisa jadi benar)
Para pemilik ruang menginginkan ruangan di dalam kendalinya. Baik itu suhu, terangnya cahaya, aroma, tingkat kebisingan. Sejak itulah hidup kita dipenuhi remote control dan tombol, demi sebuah kendali mutlak. Dan sejak itu pula pengalaman meruang kita menjadi tanpa kejutan. Sejak itu pula kita gampang bosan. Sejak itu pengalaman meruang kita menjadi terlalu manusiawi, terlalu logis, dan terlalu naif.
Baudrillard memang banyak berbicara soal hal-hal berlebihan. Suatu keinginan menambahkan sesuatu dalam sebuah obyek hingga akhirnya obyeknya tenggelam dalam riuhnya aksesoris. Namun, saya tahu kelemahannya: Dia bisa menulis ribuan paragraf mengenai hal-hal yang melewati batas, namun dia tidak pernah tahu batas yang seharusnya tidak dilampaui, tidak tahu dimana seharusnya manusia berhenti.
Pernah saya dengar dia berbicara lantang di atas mimbar, “Manusia sekarang sudah kebablasan! Pembangunan sekarang kelewatan! Konsumerisme melampaui batasan!” Kemudian, di antara para jamaah yang bingung, ada yang bertanya, “Wahai Baudrillard, tahukah anda batasan mana yang menjadi batas wajar manusia? Tahukah anda titik kritis mana yang membuat kami berangsur menjadi gila?”
Baudrillard tertunduk sedih, “Saya tidak tahu sejak kapan kita jatuh dalam jalur kegilaan ini, saya tidak tahu siapa yang harus disalahkan, bahkan saya tidak tahu apakah saya benar-benar tidak terlibat dalam membuat umat manusia dalam malapetaka.”

***
Kami sudah dua hari menginap, dan esok kami harus kembali ke rumah masing-masing. Kami harus naik pesawat pada pagi buta, dan tidak bisa tidur larut kali ini. Saya mengingatkan, “Bukankah kamu ingin melihat Burj Khalifa, gedung tertinggi di dunia? Ini malam terakhir loo.”
Dia menjawab, “Aku sudah cukup melihat Burj Khalifa dari luarnya, aku tidak tertarik apa yang ada di dalamnya, aku rasa isinya sama saja dengan gedung lain.”

0 komentar:

Posting Komentar