:::: MENU ::::

Kamis, 11 September 2014

Tugas besar yang paling berkesan, seingat saya adalah TB (Tugas Besar) Hidrologi. Saya menghitung fluktuasi air banjir dan menentukan debit maksimum saat banjir. Poin yang berkesan di sini adalah mahasiswa harus menulis tangan, saya tegaskan, tulis tangan sebanyak tiga ratus lembar di kertas HVS/A4 yang kemudian dibendel. Isi bendelan tugas ini adalah hitungan-hitungan dengan rumus yang terkadang tidak dimengerti konsepnya. Saya bersyukur ada manusia jenius yang menciptakan pogram bernama MS. Excel. Saya tinggal copy paste file berisi rumus dari Vivi, teman saya, kemudian memasukkan variabel-variabel pengubah, dan hasilnya disalin di atas kertas.

                Mahasiswa Teknik Sipil sudah terbiasa menulis. Tangan mereka sudah lihai, luwes. Mereka biasa menulis dengan rentang waktu yang padat. TB setebal tiga ratus lembar dikerjakan dalam kurang lebih satu bulan. Bisa dibayangkan seberapa sering mereka menulis. Bisa dibayangkan pula seberapa keren mereka yang mengejewantahkan pemikiran ke dalam tiga ratus halaman dalam waktu sesingkat itu. Tan Malaka saja mengerjakan karyanya master piece-nya, Madilog, dengan waktu delapan bulan, itupun tidak setebal tiga ratus halaman.

                Dalam film “Finding Forester”, William Forester yang diceritakan sebagai novelis legendaris memarahi Jamal, muridnya, yang tidak kunjung menulis ketika sudah duduk di hadapan mesin ketik. Jamal tidak kunjung menulis karena pikirannya buntu, tidak tahu apa yang akan ditulis. William memarahi Jamal untuk segera berhenti berpikir dan segera menulis. Baginya, menulis akan lebih jujur jika kita mengawali menulis dengan hati, bukan dengan berpikir. Namun, tentu saja untuk mereka yang belum terbiasa menulis, menulis adalah hal yang sulit dilakukan, peduli itu diawali dengan hati atau dengan pikiran. Senior saya di Tegalboto, Oryza, mengatakan bahwa belajar menulis seperti belajar sepeda kayuh. Sama seperti belajar sepeda, keahlian menulis akan timbul hanya jika sudah menjadi kebiasaan.

                Menjadikan menulis sebagai kebiasaan sudah menjadi jati diri dari mahasiswa Teknik Sipil. Sebagian besar laporan dan tugas besar dikerjakan dengan menulis tangan. Nasihat untuk membiasakan diri untuk menulis sudah basi, seperti menyuruh anak SMA mengerjakan soal UAN SMP.

TB Pasti Berlalu

Tugas tetap saja tugas. Satu-satunya bagian yang membahagiakan dari mengerjakan tugas adalah saat mengakhirinya. Seberapa cepat kebahagiaan dicapai, diukur dari seberapa cepat menyelesaikan tugas besar.
               
Jangan bertindak sok suci untuk menikmati proses. Mereka yang menikmati proses dengan sengaja meninggalkan keutamaan pencapaian dan berakhir dengan molornya kelulusan. Lagipula, berproses pun tidak terlalu berguna banyak. Jika yang dikatakan berproses adalah mengamati kembali pekerjaan tugas besar kakak tingkat yang dijadikan contekan untuk kemudia mendapat hasil yang lebih akurat, dosen tidak peduli. Mereka hanya ingin mahasiswa menyetor bendelan bercover biru untuk dijadikan tiket masuk ruangan ujian akhir semester atau beberapa persentasi nilai akhir.

                Namun, saya melihat sudah banyak mahasiswa yang sadar akan keutamaan hasil akhir ini. Mahasiswa menulis tugas besar dengan menanggalkan sifat kritis, rumus yang salah tidak dikoreksi. Saya rasa itu wajar, mereka hanya ingin cepat lulus. Kuliah tidak murah, semakin lama lulus maka semakin banyak uang yang terkorek habis. Berbanding terbalik, jika cepat lulus maka semakin banyak uang yang masuk di kantong –jika mendapat pekerjaan sih.    Tugas besar yang menjadi penghalang kelulusan patut diselesaikan secepatnya demi kesehatan kondisi keuangan dan terjaganya harga diri.

                Mengerjakan tugas besar seperti maraton. Keringat-keringat yang jatuh di sepanjang rute sama banyaknya dengan kejengkelan karena sulit bertemu dosen-asisten/asisten-dosen. Kaki yang kram karena kelelahan sama berartinya dengan buntu karena bosan menuliskan rumus-rumus absurd. Kami terpaksa untuk memahami bahwa kebahagiaan dicapai dengan jalan penderitaan. Di saat keringat membasahi badan dan kaki mulai pegal-pegal, terbayang di dalam kepala kami pita garis finish yang akan menanti kami.


                Setelah melewati pita itu kami akan berbahagia, seolah lupa bahwa pita itu bukan hanya garis finish, tapi juga garis start untuk rute selanjutnya. Kebahagiaan kami hanya sementara. Kebahagiaan itu lenyap seketika kami menyadari harus kembali berlari menuju garis finish selanjutnya. Terkadang kami benci, mengapa mengorbankan diri pada penderitaan yang begitu lama hanya untuk kebahagiaan yang sementara. Saya teringat nasihat Freud tentang kebahagiaan dan penderitaan. Dia mengatakan, “Manusia lebih mudah menjadi menderita daripada berbahagia,” begitulah kira-kira nasihatnya.[]

0 komentar:

Posting Komentar