:::: MENU ::::

Sabtu, 30 Juli 2016


                Kita selalu punya alasan untuk menjadi serakah. Selalu punya ruang kosong dalam perut untuk menambah nasi di pesta makan. Selalu punya alasan untuk meninggikan gedung-gedung hingga hilang ditelan awan. ‘Kita’ hilang dalam impian, atau ‘kita’ adalah impian itu sendiri. Apa itu kebutuhan? Kita tidak tahu. Produksi semen sudah lebih dari yang kita butuhkan, tapi pabrik semen selalu punya alasan untuk menganggap pembukaan pabrik semen baru adalah sebuah kebutuhan. Kita tidak butuh semen lagi.
Kita Tidak Butuh Semen Lagi
Bansky

                Produksi semen sudah mencapai 79,8 juta ton pada tahun 2015. Di tahun yang sama, konsumsi yang terpakai hanya 60,6 juta ton. Tren grafik juga menunjukkan kapasitas produksi pabrik semen yang terus meningkat, sedangkan konsumsi semen tidak begitu menunjukkan peningkatan.
                Selain itu, mayoritas penggunaan semen pun masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Jawa menyumbangkan lebih dari 50% penggunaan semen. Tepatnya dengan angka 16,24 juta ton dari 30,12 juta ton penjualan semen nasional pada semester satu 2016. Tradisi Jawa sebagai pulau yang rakus semen tercatat setidaknya sejak tahun 2006 atau mungkin jauh lebih lama. Jawa memang sudah penuh dengan pembangunan, tapi manusianya selalu punya alasan untuk menyesakkan bangunan baru di tanah yang sempit ini.
How Much Land Does A Man Need? Kata Leo Tolstoy dua abad yang lalu. Jawabannya: tidak tahu, tidak tentu, atau mungkin juga tidak perlu dipertanyakan. Pertanyaan Tolstoy yang kemudian dijadikan sebuah cerpen tersebut akan menganggu pikiran kita. Apakah kita hanya butuh rumah dengan satu kamar tidur atau lima kamar tidur? Kamar mandi dalam atau luar? Halaman sempit untuk menanam tanaman obat atau kebun luas untuk pohon jati? Atau kita hanya butuh kolong jembatan? Pertanyaan “How much portland cement does we need?” juga sama tak terjawabnya bagi pengusaha. Namun bagi orang yang tidak serakah, maka akan mengatakan bahwa semen tersebut lebih dari cukup untuk membangun Indonesia.
                Sebuah nafsu kesetanan sedang hinggap dalam mental pembangunan Indonesia. Pemerataan hanyalah wacana, kerakusan yang abadi tumbuh dalam pembangunan Pulau Jawa.

Kita Tidak Butuh Semen Lagi
Laju produksi dan konsumsi semen di Indonesia

                Ada alasan lain mengapa kita tidak butuh lebih banyak semen saat ini. Beberapa orang mengatakan bahwa pembangunan dibutuhkan oleh masyarakat, tapi nyatanya pembangunan lebih dibutuhkan oleh pengusaha konstruksi. Bagaimana bisa?
                Seorang teman yang saat ini sedang belajar usaha konstruksi berbincang dengan saya saat hari raya kemarin. Dia ingin mempunyai perusahaan konstruksi sendiri, namun saat ini dia sedang menjadi karyawan sebagai pelaksana lapangan untuk mencari tahu seluk-beluk dunia konstruksi. Dia mengatakan bahwa pengurangan dimensi struktural adalah wajar. Selama komponen tersebut tidak kasat mata seperti pondasi, galian tanah. Tidak hanya itu, campuran spesi (adukan semen) dan pembetonan juga tidak disesuaikan dengan spesifikasi. Hal ini mengakibatkan bangunan tidak tahan lama.
                Tidak heran jika kegiatan konstruksi saat ini sering berulang-ulang di tempat sama dalam setiap tahunnya. Setelah dibangun, direnovasi, direnovasi lagi, direnovasi lagi. Hal ini yang membuat ketergantungan kita terhadap semen menjadi akut. Semen yang menjadi semacam micin membuat pengusaha konstruksi ketagihan memakannya. Dia juga mengatakan, “Lek apik-apik engko proyeke entek, terus kontraktor mangan opo?” (kalau kualitasnya bagus, tidak ada proyek lagi, kontraktor makan apa nanti?). Tunggu dulu, padahal kan Jawa menghabiskan 50% semen nasional, bagaimana bisa proyek habis atau mandeg?? Saya yang tidak asing lagi dengan kegiatan konstruksi sejak sekolah menengah memahami bahwa perspektif demikian dimiliki oleh mayoritas pekerja konstruksi.


Bisakah Pembangunan Indonesia Menjadi Berkelanjutan?

Richard Heinberg, mengatakan bahwa peradaban yang tidak menggunakan energi yang terbarukan tidak dapat bertahan lama. Energi, dalam hal ini semen/karst adalah bahan yang terbatas jumlahnya. Jika peradaban manusia yang dibangun dalam ketergantungan kepada karst, maka bukan tidak mungkin mereka akan kebingungan mencari alternatif lain untuk menggantikannya. Bahwa segala yang terbatas itu tidak mungkin dikonsumsi terus-menerus (apalagi hingga mengakibatkan kecanduan) adalah hukum yang harus dipatuhi untuk melanjutkan peradaban.
Bukan hanya energi minyak saja yang sedang krisis, pada saatnya karst tidak akan diproduksi lagi. Dan bijih besi untuk baja juga akan mengikuti kepunahan jika kita tetap “gila” pembangunan.
Saya kembali fokus dengan umur bangunan. Bangunan kayu dikatakan ramah lingkungan jika umur bangunan dari kayu tersebut bisa melampaui umur kayu saat ditebang. Artinya, jika kita menggunakan kayu jati berumur 50 tahun untuk membangun rumah misalnya, maka rumah kita tersebut minimal harus berumur 50 tahun pula. Hal ini ditujukan agar pohon jati yang lain berkesempatan tumbuh, sehingga bisa dikatakan kita tidak akan kehabisan stok kayu jati.
Lalu bagaimana dengan bangunan dengan bahan dasar beton? Apakah ada bangunan beton yang berumur minimal 470 tahun? Boro-boro 470 tahun, lima tahun sekali aja renovasi, dua puluh tahun ganti gaya arsitektur, lima tahun sekali tiap ganti bupati/gubernur/presiden sudah ganti master plan tata kotanya.[]

Referensi
http://duniaindustri.com/lampaui-estimasi-konsumsi-semen-sepanjang-2015-tumbuh-18-jadi-61-juta-ton/
http://duniaindustri.com/ditopang-pasar-sumatera-konsumsi-semen-februari-2016-tumbuh-29/
http://investasiinfrastruktur.net/semen.php?halaman=produksi
http://investasiinfrastruktur.net/semen.php?halaman=pulau

0 komentar:

Posting Komentar