:::: MENU ::::

Selasa, 23 Desember 2014



Bukankah kita hidup dalam fantasi?
Jika anda mempunyai kekasih yang nun jauh dari mata, maka sebisa mungkin anda akan menghadirkan objek-objek lainnya yang bisa mengantarkan khayalan menuju orang yang anda rindukan. Anda mungkin mengumpulkan benda-benda yang berisi kenangan seperti; jaket hadiah ulang tahun, boneka beruang, foto, atau mungkin botol minum yang berwarna sama dengan warna favorit pasangan anda. Sebisa mungkin, benda-benda itu anda kumpulkan sehingga kamar anda memungkinkan berkhayal seakan-akan sang kekasih sedang duduk bercengkrama atau merebah tidur di kasur bersama anda, tentunya. Belum lagi gaya komunikasi ala pasangan jarak jauh yang mendekati absurd, namun bukan berarti tidak bermakna sama sekali. Aku rasa sangat aneh bagi orang normal untuk meminta disuapi saat makan, padahal dia tahu, dia sedang texting(sms-an) dengan orang yang jaraknya berkilometer. Lebih aneh lagi saat pasangan meminta berciuman dengan kata “muah” yang disampaikan melalui SMS dengan tambahan emoticon (:*, tanda bibir sedang manyun). Se-tonggos apa bibirmu hingga bisa mencium orang yang ada di luar kota.
                Kita sadar, bahwa keterpisahan dengan orang terkasih adalah beban. Sebagai topeng, kita terpaksa menciptakan fantasi, mengimaji pikiran sehingga seakan-akan kita tidak sedang berpisah, selalu bersama, meskipun faktanya jelas bahwa kita sedang menanggung derita. Saya tidak membahas gagasan bahwa teknologi bisa mempersempit jarak. Bagi saya, arti kata “terpisah” masih tetap dalam koridor kemampuan bibir kita berbicara, telinga kita mendengar, dan mata kita melihat. Setiap orang yang tidak dalam radius bisa mendengar pembicaraan kita secara langsung dengan mata saling menatap, berarti sedang terpisah. Kita harus tahu bahwa teknologi hanya membantu berkomunikasi, bukan mengganti cara berkomunikasi, kita tetap harus bertemu tatap muka.
                Fantasi, sekalipun tidak benar-benar ada, merupakan suatu penghiburan bagi kita. Bisa dibilang anda menghipnotis diri sendiri saat menciumi foto kekasih yang tertempel di dinding kamar. Namun, itu tetap berguna sebagai penghiburan atas deadline tugas yang tiada henti, atau dosen killer yang sulit diajak berkomunikasi saat asistensi. Fantasi adalah obat termurah untuk “menghilangkan” rasa sakit. Anda tidak harus membeli arak untuk mabuk, atau obat-obatan yang katanya bisa membuat kita berada di surga yang lepas dari pengawasan malaikat Ridwan. Fantasi hanya butuh bahan bakar berupa; kenangan yang ingin diulangi, atau bisa juga timbul dari keinginan menjadi peran utama dalam suatu adegan romantis. Itu semua tidak perlu uang.
                Di sisi lain, fantasi adalah cermin ketidakmampuan meraih keinginan. Maka dari itu, jika ada orang yang sulit untuk berfantasi, saya akan menghormatinya. Dengan anggapan bahwa, keadaannya saat ini adalah keadaan yang diinginkannya, dia telah berhasil mewujudkan impiannya dalam dunia nyata sehingga tidak perlu lagi berfantasi. Tapi, keinginan––ya keinginan. Mungkinkah manusia bisa berhenti memiliki keinginan? Bukankah keinginan yang tercapai hanya melahirkan keinginan baru, fantasi yang tercapai melahirkan fantasi yang baru? Duh menungso, uripmu ancen ora ngerti diuntung, wes dike’i rejeki mudun, tapi ora tau ngucap syukur.

Minggu, 21 Desember 2014



Jika kita tidak saling mengajukan permintaan, kita tidak dapat saling mencintai atau bekerja.
Kutipan di atas adalah kalimat yang dituliskan Phillip Hill dalam bukunya “Lacan untuk Pemula”. Tulisan itu tampil bersama ilustrasi dan digambarkan sedang diucapkan oleh laki-laki bersayap (malaikat) kepada seorang perempuan. Bibir mereka berdua berdekatan sebagai tanda mereka adalah sepasang kekasih.
                Permintaan seperti dalam perspektif Lacan adalah permintaan tentang sesuatu yang tidak ada. Hill menyontohkan dengan baik tentang ini dengan menggambarkan seorang bocah yang meminta barang kepada orang tuanya. Bocah meminta cokelat, orang tua menyanggupi. Lima menit kemudian bocah meminta pisang, orang tua masih menyanggupi. Kemudian bocah meminta biskuit, orang tuanya menaruh biskuit ke mulutnya. Saya yakin bocah itu akan meminta obyek-obyek yang lain, jika saja mulutnya tidak disumpal biskuit.
                Dan cinta, mirip dengan permintaan yang dilancarkan si bocah. Kata “Aku rindu padamu” yang dikatakan oleh pasangan kita (maaf untuk yang masih jomblo) adalah keinginan untuk bertemu. Namun, bersamaan dengan itu, sebenarnya dia juga mengatakan bahwa dia sedang tersiksa dengan ketidakhadiran pasangannya. Lantas kemudian, tidak ada yang menjamin setelah mereka bertemu, tidak akan ada permintaan yang dilancarkan oleh masing-masing pasangan. Sensasi rindu yang hilang kemudian berganti menjadi permintaan lainnya, seperti: ajakan makan malam, shopping.
                Cinta menemukan bentuknya dengan saling mengajukan permintaan kepada pasangannya. Begitu banyaknya permintaan yang dilancarkan ini terkadang memunculkan anggapan bahwa setiap orang selalu bersikap manja kepada pasangannya. Anggapan ini tentu diucapkan oleh orang ketiga serba tidak tahu (sahabat, teman, atau konsultan cinta). Saya rasa itu wajar karena mereka yang mengerti arti permintaan dalam percintaan adalah orang yang sedang bercinta. Orang lain mungkin akan menganggap mereka yang sedang bercinta sebagai anak kecil (karena manja), atau bahkan sebagai budak (karena terus-menerus menyanggupi permintaan pasangannya). Keadaan ini sebenarnya wajar, bahkan pun jika permintaan yang diajukan tidak rasional, karena pada dasarnya setiap pasangan sedang ingin menguji seberapa besar kemampuan pasangannya untuk mengabulkan permintaan. Sebaliknya, saat pasangan tidak saling mengajukan permintaan, maka cinta tidak akan bermakna lagi dan mereka menganggap bahwa cinta tidak akan berguna lagi bagi dirinya.
                 Para individualis seringkali bermasalah dengan konsep ini, karena mereka mungkin tidak bisa menemukan alasan mengapa mencintai orang lain, mereka merasa sudah cukup memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Orang lain mungkin hanya beban. Jikapun mereka sedang berpacaran, maka mereka tentu akan mengeluh saat mereka diserang permintaan oleh pasangannya. Dalam pikirannya akan timbul pernyataan, “Aku tidak pernah butuh apapun darinya, mengapa aku harus mencukupi kebutuhannya?” Orang seperti ini sepenuhnya masih belum menyadari kebutuhannya. Sekurang-kurangnya, manusia membutuhkan orang lain untuk dicintai, bahkan untuk sekedar pemuasan biologis. Pada saatnya dia sadar, dia akan mencari pasangannya. Bagaimanapun, intensitas permintaan yang dilancarkan seseorang bisa menjadi parameter betapa besar cintanya.

Catatan: Jangan kira dengan tulisan ini, anda menganggap saya bercita-cita menjadi konsultan cinta layaknya Mario Teguh. Saya menulis ini saat sedang buntu merevisi proposal skripsi. Saya menemukan bahwa menulis blog lebih gampang daripada menulis skripsi. Cita-cita saya jangka pendek ini masih tetap menjadi seorang Insinyur Sipil yang amanah demi menghasilkan rejeki yang barokah.

Senin, 17 November 2014

Dari keempat kakek dan nenekku, aku hanya pernah bertatap muka dengan satu di antaranya. Dia adalah ibu dari ibuku. Hal yang paling kuingat darinya adalah dia sering membuat kue menjelang hari raya. Banyak orang yang memesan untuk dibuatkan kue. Ada beberapa kue yang bisa dipesan kepada mbah (aku memanggilnya demikian), yakni tingting jahe, tingting kacang, sato, kue mawar dengan selai nanas (aku tidak tahu nama yang umumnya dipakai untuk kue ini).

Menjelang hari raya Idul Fitri, mbah selalu sibuk. Dia membuat kue dari pagi hingga sore. Pada pagi hari dia mulai menata kayu bakar dalam tungku. Dia membutuhkan bahan bakar kayu dengan apinya yang besarnya tidak bisa dihasilkan dari kompor minyak.

Di atas tungku itu kemudian dia melelehkan gula hingga berbentuk lengket semacam lem kertas, warnanya kuning tua. Ibu tidak terlalu bisa memasak, dia terkadang membantu tapi hanya untuk hal-hal sepele seperti merendam dan mengupas kacang, menjemur buah asem, dan mengepak kue ke dalam toples. Terkadang aku juga membantu di dapur, jika tidak sedang bermain biasanya aku ikut mengaduk gula yang sedang dipanaskan, ikut mencetak kue sato. Aku juga ikut memotong lembaran kue tingting jahe dan tingting menjadi bagian-bagian kecil sebelum masuk ke toples. Tapi itu tidak sering, ayah mengingatkanku untuk tidak terlalu sering beraktifitas di dapur, katanya dapur itu urusannya wanita. Sejak itu aku mulai berpikir dua kali jika ingin membantu mbah di dapur, lagipula aku tidak benar-benar membantu di dapur, mbah sering harus mengaduk lagi gula yang telah aku aduk, dia harus menuntun pisauku saat memotong lembaran kue. Hematnya, aku di sana hanya merepotkannya saja.

Dapurku untuk membuat kue masih beralaskan tanah, luasnya hampir sepertiga keseluruhan luas rumah. Tidak ada kompor gas, hanya tungku api yang terbuat dari batu bata. Bahan bakarnya adalah kayu kering, mbah biasanya menyimpan cadangan kayu kering di depan rumah di bawah teritisan atap, di samping taman depan. Di dapur itu juga ada meja makan bertaplak merah muda dengan corak persegi kecil. Ukurannya cukup besar untuk menampung sekitar delapan jenis masakan di atasnya.

Dapurku tidak pernah terlihat berkilau, tembok dan tungkunya berwarna hitam akibat asap dari sisa pembakaran kayu bakar. Tidak ada langit-langit, aku bisa melihat genteng dan rangka atapnya dari bawah yang juga berwana hitam. Lantainya berwarna coklat kehitaman, kadang becek karena ada tetesan air yang jatuh dari atap yang bocor, tapi itu tidak sering.

Saat aku SMP, rumahku direnovasi. Atapnya ditinggikan, ubin lantai diganti dengan keramik. Dapurnya juga ikut diperbaiki. Lantai tanah diganti keramik, tungku diganti kompor minyak, tidak ada tembok hitam. Waktu itu mbah tidak terlalu keberatan, karena dia memang akan berhenti menerima pesanan kue, lebih tepatnya ibu dan ayahku yang menyuruhnya berhenti. Dia mulai sering sakit, ibu merasa dia sudah cukup bekerja di usianya yang menginjak tujuh puluh tahunan. Lagipula keadaan ekonomi keluargaku juga sudah meningkat, nafkah yang dicari ayahku cukup untuk sedikit memanjakan mbah. Ayah dan ibu sepakat untuk menyuruhnya berhenti membuat kue agar sakitnya tidak berkelanjutan.

Aku tidak terlalu ingat dia menderita sakit apa saat dia baru berhenti membuat kue. Aku hanya ingat saat aku sudah sekolah di SMK, dia menderita flu tulang. Nama yang aneh untuk sebuah penyakit, karena aku tahu bahwa tulang tidak akan bisa batuk. Apapun itu, dia menjadi lebih ringkih saat berjalan. Dia sering berjalan pelan-pelan dengan telapak tangan bersandar kepada tembok. Dia juga jarang keluar rumah. Dia lebih sering menghabiskan aktivitas di ruang tamu untuk sekedar melihat jalanan dari balik kaca jendela. Jika terdengar suara adzan, dia ke kamar mandi mengambil wudhu’ kemudian sholat di kamar. Setelah itu dia kembali ke ruang tamu, kadang juga dia terlelap setelah melakukan sholat.

Seiring bergulirnya waktu, kesehatannya semakin memburuk. Dia semakin jarang duduk di ruang tamu, lebih sering berada di dalam kamar. Dia keluar kamar hanya pada saat ingin mandi dan wudhu’. Saat makan, ibu mengantarkan makanannya ke kamarnya.

Aku tidak mengerti seberapa besar mbah menyayangiku. Itu dikarenakan mbah tidak terlalu banyak berbicara. Dia jarang menasehatiku, dia hanya sering marah saat aku tidak kunjung pulang bermain sepak bola saat adzan maghrib. Dia juga marah saat aku keluar rumah pada jam dua siang untuk bermain. Dia keberatan jika aku bermain saat panas matahari masih menyengat, tapi aku menyukai bermain sepak bola di bawah panas matahari sehingga aku terlalu mendengarnya dan sering mencuri kesempatan keluar rumah saat dia lengah. Sekalipun demikian, dia sering memujiku sebagai anak pintar saat aku mendapatkan ranking tinggi di kelas. Dia juga sering menyuruhku belajar di malam hari, tapi aku jarang menurutinya karena merasa pelajaran di kelas terlalu mudah sehingga lebih sering mengerjakan PR di sekolah pada pagi hari.

Saat aku sudah kuliah di Jember, ibu mengatakan bahwa mbah sering tanya kabarku. Aku paham kekhawatirannya, sehingga aku masih sering untuk pulang agar dia tidak terlalu bingung memikirkan kabarku. Dia meninggal saat aku semester tiga. Dia meninggal bersama sakit yang dideritanya, tapi aku lebih senang menganggapnya sakit karena memang sudah waktunya. Jika aku tidak salah, dia meninggal pada hari Sabtu. Waktu itu aku masih bekerja sebagai tukang gambar freelance pada akhir pekan. Aku ingat ibu meneleponku saat aku di dalam mobil untuk survey lokasi perumahan yang akan aku gambar. Dia meninggal pada tengah hari, setelah dia melakukan sholat dhuhur.

Sejak saat itu, aku mulai berpikir bahwa satu kamar di rumah kami akan kosong. Aku juga tidak akan melihat orang berbaju kebaya lagi di rumah, aku yakin ibu dan adikku tidak akan mau memakai kebaya mengikuti tradisi. Aku juga teringat bahwa aku lupa mencium tangannya untuk berpamitan sebelum bekerja tadi pagi, aku sedikit menyesal untuk itu. Lebih menyesal lagi saat aku tidak bisa mengingat apa percakapan terakhir kami berdua.

Bagaimanapun, aku tidak perlu menyesali kepergiannya. Aku rasa dia telah berbahagia karena mengakhiri perjalanan waktunya di dunia saat anak-anaknya telah mandiri, dalam artian tugasnya sebagai orang tua dan nenek telah selesai. Jikapun ada alasan bagi Tuhan untuk mempertahankan dia di dunia, itu adalah sekedar untuk membuat anak-anaknya mempunyai kesempatan untuk membalas budi untuk merawatnya. Tugas pokoknya telah selesai, dan dia layak untuk mendapat keabadian sebagaimana yang pernah Tuhan janjikan. (17/11/2014)



*Tulisan ini saya buat untuk Dewi Fatmawati yang baru saja kehilangan neneknya. Semoga kamu punya keikhlasan yang besar dan menghilangkan keinginan egois untuk menikmati waktu bersamanya. Dia pasti bahagia karena meninggalkan dunia fana, surga sudah diciptakan untuk membahagiakan jiwa manusia yang lelah.







Sabtu, 15 November 2014



Laki-laki menyukai teka-teki. Dan karena itulah dia tidak menyukai wanita yang banyak bicara. Ketika wanita berbicara, ada dua kemungkinan yang ada dalam otaknya: menggurui, atau muntah. Aku tidak mengerti kenapa mereka memperlakukan laki-laki sebagai orang yang benar-benar peduli dengan masalah mereka saat mereka menceritakan seluruh detail masalahnya. Mulut mereka besar, tapi telinga mereka buntu.
                Mungkin ini salahku sendiri karena terlalu banyak mendengarkan lagu-lagu romantis Iwan Fals. Salah satunya berjudul 22 Januari. Dalam liriknya, sudah bisa ditebak bahwa si wanita adalah pendiam. Tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Bagian yang paling aku suka adalah bait yang menceritakan mereka berdua berjalan berdampingan di malam hari. Saat itu diceritakan sedang mendung. Saat mereka asyik jalan, keluarlah satu-satunya kata dari mulut si lelaki, “Sebentar lagi hujan.” Aku tidak tahu apakah kata-kata itu sebagai ajakan untuk pulang karena mereka tidak membawa payung, ataukah tanda kegirangan dari si lelaki karena akan berbagi kehangatan di tengah dinginnya hujan sembari berteduh di pinggir jalan. Aku sendiri membayangkan mereka berteduh di halte bus yang sudah sepi sambil duduk berdekatan, kehangatan tubuh masing-masing tersalurkan dari genggaman tangan mereka. Karena lagu inilah aku berkeyakinan bahwa Iwan Fals mempunyai selera wanita yang sama denganku, hahaha.
                Aku rasa semua orang setuju bahwa kita harus adil terhadap tubuh yang diberikan Tuhan kepada kita. Kita diberi lima indera, mata, telinga, lidah, kulit, dan hidung. Kelima indera ini diciptakan Tuhan sebagai bekal manusia untuk memahami apa yang di luar dirinya. Wanita tidak bisa bertindak tidak adil dengan memaksa laki-laki mengeksploitasi indera pendengarannya, telinga juga bisa letih dan syaraf-syaraf otak masih harus memikirkan rangsangan dari keempat indera lainnya.
Berkomunikasi seharusnya tidak melulu dengan bahasa lisan dan teks, terlebih lagi untuk sepasang kekasih yang mengaku sudah mengerti satu sama lain. Lagipula, aku rasa kenikmatan saat bercinta terlalu abstrak untuk digambarkan melalui bahasa apapun. Lihatlah, kamus bahasa indonesia hanya setebal tujuh centimeter, bahkan masih kurang tebal jika dibuat bantalan tidur.
Kita kemudian harus mulai memikirkan kembali cara berkomunikasi antar pasangan. Aku ingin menatap mata beningmu yang konon bisa menerawang jauh ke lubuk hati. Kulitku ingin merasa dicintai dengan belaian lembut tanganmu, dia juga tidak pernah keberatan jika harus ditampar jika sesekali pantas menerimanya. Hidungku juga ingin menghafal bau tubuhmu agar aku bisa menebak parfum apa yang sering kau pakai. Lidahku ingin merasakan masakanmu yang katanya sering kau beri bumbu cinta. Apapun pendapatmu tentang kegombalan ini, yang pasti sepasang kekasih tidak sepantasnya mengerti apa yang dirasakan pasangannya hanya melalui bahasa lisan dan teks. Dengan itu kita bisa berpendapat bahwa seorang bisu sekalipun masih layak mendapatkan cinta.

Rabu, 15 Oktober 2014

                Sejak awal melihat acara smackdown (dulu ditayangkan di Lativi), saya heran bagaimana para pemain gulat bertubuh kekar itu terjatuh beberapa kali tanpa cedera. Ringnya memang empuk, semacam ada pegas di bawahnya, namun saya rasa dibanting oleh orang bertinggi 7 kaki semacam Big Show akan sakit tidak peduli di manapun anda dibanting. Kemungkinan terbaik dari keheranan saya ini adalah mereka sudah berlatih untuk adegan ini.

                Sekalipun pegulat sudah berlatih, namun bukan berarti terhindar dari resiko cedera. Randy Orton mengalami cedera bahu dan absen beberapa bulan pada tahun 2002. Blue Blazer (pegulat bertopeng yang menggunakan blazer biru saat memasuki arena) tewas setelah jatuh dari ketinggian 15 meter saat bergelantungan pada tali yang kemudian putus. Resiko-resiko ini harus dihadapi oleh para pegulat hanya untuk melakukan sandiwara di atas ring.

                Gulat bukanlah olahraga, karena pertandingan gulat lebih merupakan sandiwara. Lebih jelas lagi, gulat adalah sandiwara yang menggunakan instrumen olahraga. Adegan banting-membanting dan kepalan tangan digunakan sudah terskenario sebagai satu kesatuan sandiwara. Mungkin, ini yang menyebabkan Dwayne “The Rock” Johnson bisa meniti karir sebagai aktor film. Dia sudah terbiasa berakting di panggung sandiwara gulat, paling tidak menjadi aktor film tidak membutuhkan banyak keringat.

                Dalam pertandingan gulat, skenario sudah disiapkan dan setiap pegulat mempunyai karakternya masing-masing. Penonton tidak perlu menebak-nebak bagaimana karakter pegulat, karena itu bisa dilihat dari namanya. Rey Mysterio, dia adalah pegulat dengan tubuh terkecil, 1,68 meter dan mempunyai gerakan lincah akrobatik. Sesuai dengan namanya, dia memakai topeng untuk menimbulkan kesan misterius. Big Show, mempunyai tinggi 2 meter lebih dan berbobot 193 kg. Jika anda ingin merasakan rasanya ditindih olehnya, suruh empat orang teman anda duduk di atas badan anda. Tubuh dan aksesoris pegulat menjadi obyek untuk memunculkan nama atau julukan pada beberapa pegulat. Setiap pegulat akan mempunyai ciri khas demi menciptakan citra dan karakter untuk membedakannya dengan pegulat lain. Kedudukan, pukulan andalan, bentuk tubuh, dan aksesoris akan menjadi ciri khas dari setiap pegulat.

Saya masih ingat Vince Mc Mahon, chairman WWE (World Wrestling Entertainment) selalu muncul dengan karakter pemilik yang angkuh dan sewenang-wenang. Kata-kata andalannya adalah “You’re fired,” untuk pegulat yang tidak disukainya. Vince Mc Mahon di sini bertugas menimbulkan citra bos yang egois –egois dan sewenang-wenang adalah citra bos secara umum. Lalu The Rock yang memakai pelindung berwarna hitam di kedua sikunya. Boogeyman, ditampilkan sebagai pria bercat dan berpakaian bulu, suka makan cacing.  Yang paling jadi favorit adalah John Cena, dia memakai celana pendek di bawah lutut yang sempat ditiru sebagai style pada celana seragam SMP semasa saya, hehe.

Pencitraan tanpa enigma juga terlihat saat pegulat dalam kuncian badan lawan. Mereka biasa mengerang kesakitan sambil menepuk-nepuk ring tanda tidak kuat menahan derita. Pada saat lawannya terkunci dan dinyatakan kalah, pemenang juga melakukan gaya yang dilebih-lebihkan. Randy Orton biasa naik di sudut ring merentangkan tangannya dengan dagu terangkat dan raut wajah bangga sekaligus sombong. The Rock, biasa mengitari lawan dan menatap penderitaan lawannya akibat sikutnya yang menusuk dada.

Roland Barthes dalam bukunya Mitologi, membahas tentang jelasnya pencitraan dalam gulat. Baginya, penonton mempunyai kepuasan tersendiri saat melihat pegulat jatuh tersungkur. Kepasrahan saat jatuh dan raut wajah penderitaan yang jelas tergambar merupakan prototipe kejadian di dunia nyata. Dia mengatakan bahwa gulat adalah pertunjukan besar mengenai suffering (penderitaan), defeat (kekalahan), dan fairness (keadilan). Untuk menemukan ketiga aspek utama yang ditampilkan ini, penonton disajikan gerakan, raut muka, nada bicara yang sejelas-jelasnya dari pemerannya. Pegulat biasanya berteriak, sempoyongan, dan memegangi bagian tubuh yang sakit untuk menunjukkan penderitaan. Untuk kekalahan, mereka tergeletak tanpa gerakan sedikitpun setelah menerima pukulan andalan dari lawan. Dan untuk keadilan, para penonton biasanya menghendaki ketika ada pertukaran pukulan yang setimpal dari masing-masing pegulat, banting dibalas banting, kepalan dibalas kepalan, sikut dibalas sikut, dsb. Mereka juga begitu antusias ketika seorang pengecut yang dengan sengaja membawa sejata (kursi, pentungan, dan tangga besi) untuk dihukum dengan dihabisi hingga tak berdaya.

Sama halnya dengan gulat, saya rasa video porno juga mempertontonkan citra tanpa enigma sesuai karakternya. Teriakan dan penderitaan dalam gulat bisa disamakan dengan desahan dan geliat tubuh aktris porno. Aktris porno Jepang dengan sengaja mengeluarkan suara desahan karena kenikmatan berhubungan intim. Mereka juga dengan nyata yang menunjukkan kesakitan dan kenikmatan sekaligus dengan berteriak saat orgasme. Hal ini sesuai menurut Freud, saat orgasme adalah saat perubahan dari penderitaan menuju pelepasan kenikmatan.

Jika dilihat dari video porno pada umumnya, kita akhirnya bisa mengkritik video porno yang pernah mengguncang dunia entertainment Indonesia. Pelakunya adalah Ariel Peterpan dan Luna Maya. Kedua pemain dalam video itu masih belum menampilkan apa yang dirasakan. Luna Maya hanya diam tanpa desahan, Ariel juga hampir tanpa ekspresi saat melakukan hubungan intim. Penonton dibiarkan dalam ambiguitas tentang apa yang dirasakannya. Ini diperparah dengan kualitas video yang menunjukkan pixel density yang rendah. Saya setuju dengan Arys Aditya, jika mereka berdua berniat membuat film porno mereka harus lebih menarik. Mereka masih belum bisa mengajak penonton untuk berfantasi membayangkan apa yang mereka rasakan.

Kita tidak akan bisa berharap melihat ekspresi dari pemain gulat dan porno pada dunia nyata, karena pada dasarnya mereka hanya melebih-lebihkan. Tujuan mereka berekspresi demikian adalah semata-mata membuat penonton mengerti. Ekspresi yang berlebihan dapat menggambarkan hasrat yang ingin ditampilkan sesuai skenario menjadi lebih jelas. Para kru dan sutradara akan merasa sukses apabila setiap adegan yang ditampilkan dapat dipahami oleh penonton tanpa menimbulkan pertanyaan.