:::: MENU ::::

Selasa, 10 November 2015

Rasanya sedikit terlambat untuk mahasiswa semester akhir untuk menyadari bahwa apa yang sedang dia pelajari selama ini tidak terlalu berarti (atau bahkan bertentangan) dengan yang diinginkannya.
Akhir-akhir ini, sebuah perenungan hadir dalam benak: Untuk apa saya belajar membangun?
Dalam sebuah diskusi warung kopi bersama teman alumni Tegalboto, kami membicarakan tentang dampak-dampak pembangunan terhadap lingkungan. Teman yang sejatinya adalah seorang dosen sosiologi dari Padang ini memang sedang konsen mendalami dampak-dampak lingkungan dari human based development.
Hadirlah subyektifitas saya sebagai mahasiswa teknik sipil dalam bentuk pertanyaan: Apakah selama ini pembangunan benar-benar ramah terhadap lingkungan? Saya rasa banyak orang yang tidak akan menemukan jawaban "ya" dari pertanyaan ini.
Di Jember saja, sebagai Kota Seribu Gumuk, kandungan kapur akan dieksploitasi habis oleh Semen Puger. Kabar dari pegawai Kantor Lingkungan Hidup, akan ada satu lagi perusahaan yang akan masuk untuk membantu meratakan gumuk dengan kandungan kapur di Puger itu.
Semen-semen itu bisa jadi akan hadir dalam rumah kita dalam bentuk tembok, balok-kolom beton, atau mungkin sekedar plesteran perekat keramik. Lalu, dalam keadaan ketidaksadaran atau setengah kesurupan, seorang mahasiswa seperti saya bersikap menolak penambangan itu, sedangkan di sisi lain penggunaan semen dalam bangunan masih tidak dapat dihindarkan.
(Ini belum lagi menyangkut penambangan yang lebih besar di Rembang oleh Semen Indonesia loh ya...)
Dalam sebuah acara kuliah Teknik Lingkungan yang entah kapan saya ikuti dahulu, seorang mahasiswa bertanya bagaimana bangunan bisa memungkinkan berdampak "nol" terhadap lingkungan. Saya yang kebetulan berdiri di depan untuk presentasi diam sejenak mencari jawaban. Akhirnya saya katakan, "Tidak ada pembangunan yang tidak berdampak pada lingkungan." Secara tidak terduga, dosen pun mengiyakan jawaban saya.
Aih, seperti menemui tembok kokoh rasanya. Layaknya saya menemukan batas lingkup dalam pembangunan, bahwa "setiap pembangunan pasti berdampak negatif pada lingkungan."
"Hey kalian aktifis lingkungan, tidak ada masa depan bagi kalian, selama pembangunan masih dibutuhkan." Sebuah suara dari alam bawah sadar membisiki saya.
Dalam perjalanan renungan, saya kemudian menghibur diri dengan menganggap kontradiksi antara bangunan dan lingkungan yang selama ini berkembang di pikiran masyarakat luas masih terlalu dini sehingga perlu ditelusuri lebih lanjut kemungkinan-kemungkinan sebaliknya.
Mungkin, tindakan revolusioner pertama yang ditawarkan teknik sipil bisa dengan mengubah nama AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dengan AMMAL (Analisis Mengenai Manfaat pada Lingkungan)?
Dengan maksud ingin menghibur hati, saya camkan kemungkinan ini dalam-dalam.

Kamis, 18 Juni 2015

Seorang penjaga pintu makam yang duduk di depan gerbang tiba-tiba berdiri menghampiri seorang pengunjung. Sambil mengulurkan tangan memberikan kartu parkir kendaraan, dia berkata kepadanya, “Setaun pisan engete (Ingatnya setahun sekali).” Pengunjung makam menerima kartu parkir sambil bermuka masam. Siapa orang ini, tiba-tiba merusak niat baik kedatanganku ke makam? Omongan itu nyata benar di satu sisi, keluarga memang hanya mengunjungi makam setahun sekali meski tidak berarti itu menunjukkan bahwa dia tidak peduli. Maksud saya, kehidupan sehari-hari memang butuh perhatian yang penuh sehingga mereka hanya punya waktu setahun sekali untuk mengurusi makam. Bagaimanapun, omongan itu tetap mengganggu benak pengunjung. Tapi penjaga pintu makam mengatakannya sambil tersenyum dan itu membuatnya terhindar dari kemarahan pengunjung makam. Pengunjung akhirnya menganggap omongannya sebagai angin lalu, dan cepat-cepat melewati gerbang kecil untuk memasuki areal makam dan meninggalkan penjaga makam. Penjaga makam masih tersenyum, sepertinya dia adalah orang yang ramah.

Selepas ditinggalkan oleh pengunjung yang melemparkan muka masam tadi, dia kembali bekerja. Dia memberikan kartu parkir pada setiap pengunjung yang datang, tentu diselingi dengan omongan pembuka yang tidak penting lainnya, misalkan, “Saiki kuburane bersih kan? Kijinge podo dibongkari.” Seperti pengunjung yang lalu, para pengunjung lain menganggapnya sebagai omong kosong. Mereka menganggap penjaga makam hanya ingin terlihat akrab dengan pengunjung sehingga pengunjung bisa mempercayakan sepeda motornya padanya dan berziarah dengan khidmat.

                Di pemakaman, para pengunjung bertemu dengan tetangga dekat yang makam keluarganya berada satu lokasi. Ibu-ibu bertemu dengan ibu-ibu lain yang biasa duduk bersama di depan halaman rumah membincangkan hari-hari atau tetangga lain hingga lupa waktu. Anak-anak bertemu temannya yang sama yang diajaknya bermain bola setiap hari. Ayah-ayah bertemu dengan ayah-ayah lain yang biasa membicarakan kondisi lingkungan di saat rapat mingguan. Tapi di makam, tak ada perbincangan, permainan ataupun gosip. Topik-topik semacam itu bukanlah alasan setiap orang untuk mengunjungi makam, mereka hanya ingin menghabiskan sore kali ini untuk  mengingat yang mati, merenung sejenak mengingat kenangan. Pikiran mereka terbang ke masa lalu, membayangkan betapa pernah berartinya hidup mereka bersama yang mati.

Beberapa dari pengunjung menangis, umumnya makam yang ditangisi adalah makam-makam baru. Ini maklum, keluarga masih belum percaya bahwa saudara yang terkubur ini telah meninggal, seperti baru kemarin mereka melihat yang terkubur ini lalu-lalang di depan gang rumah dan sekarang dia telah meninggal. Perlu beberapa waktu untuk membuat keluarga yang hidup ini sadar bahwa kehidupan mereka harus terus berlanjut tanpa kehadiran saudara yang meninggal.

Pengunjung makam yang bertemu tetangganya tidak melakukan perbincangan panjang, hanya saling sapa. Ada kesadaran kolektif yang ada pada setiap pengunjung makam yang melarang mereka berbicara banyak satu sama lain. Mereka tidak akan banyak berbicara satu sama lain tentang kemajuan atau keadaan terkini dunianya di makam. Wacana yang boleh muncul di makam adalah melulu tentang kehidupan si mati, yang itu berarti pengunjung hanya relevan membicarakan masa lalu, bukan masa kini. Di makam, mereka yang hidup adalah tamu dan yang mati adalah tuan rumah. Kedatangan si tamu adalah untuk berbicara dengan si mati, bukan berbicara hanya dengan sesama tamu. Anda bisa membayangkan saat bertamu bersama dengan dua atau tiga teman anda dan tidak mengajak tuan rumah dalam obrolan. Jika saya tuan rumahnya, mungkin saya akan segera mencari pembicaraan penutup agar para tamu segera pergi. Mereka para tamu akhirnya hanya melakukan tegur sapa seperlunya demi menghormati yang mati. Terkadang mereka hanya saling senyum dan menganggukkan kepala, sebagian yang ramah mungkin ikut melambaikan tangannya, itupun masih terasa mengganggu, apalagi yang disapa sedang khusyuk berjongkok di depan makam ibu atau ayah yang mereka cintai.

Areal makam telah bersih dari rumput liar, penjaga makam telah membersihkannya. Dua hari sebelum datangnya gelombang pengunjung, penjaga makam mencabuti rumput liar hingga ke akarnya sehingga areal makam seluruhnya hanya berwarna cokelat tanah. Setiap gundukan dan nisan mulai terlihat jelas terhampar. Dengan bersihnya areal makam, para pengunjung makam yang hanya berkunjung satu tahun sekali mulai sadar bahwa areal makam ini mulai padat. Tahun sebelumnya, mungkin mereka bisa lega berjongkok hingga bisa bersila, namun sekarang pantat mereka mulai menyentuh gundukan tanah makam lain atau nisan lain, dan tidak jarang mereka harus bersila dengan sedikit bagian pantat menduduki gundukan tanah di belakangnya. Setelah bangkit dari duduknya, mereka melayangkan pandang pada setiap sudut makam, tanyanya dalam hati, “Dimana tanah tersisa untukku nanti?” Penjaga makam paham akan keadaan ini, beberapa tahun lalu dia memasang papan larangan untuk mengkijing kuburan, dan tahun ini dia mulai membongkar kijingan yang sudah dibangun sebelum larangan mengkijing muncul. Kedua peraturan ini tidak berpengaruh apa-apa, kematian terus berlanjut dan areal makam tetap bertambah sesak. Namun paling tidak, peraturan ini menunjukkan bahwa pengurus makam mulai khawatir jika suatu nanti areal makam tidak lagi mencukupi untuk penghuni baru. Sebenarnya, untuk menghadapi keaadaan ini, harusnya diterbitkan peraturan untuk menggali kembali makam berusia lebih dari 20 tahun, 50 tahun, atau kapanpun. Namun, penjaga makam akan mendapat gelombang protes keras jika membuat peraturan ini, karena makam bagi yang hidup bukan sekedar mengubur yang mati, namun juga ikut mengubur kenangan-kenangan yang pernah membuat mereka merasa hidup. Satu alasan mengapa pengurus makam hanya berani menerbitkan larangan mengkijing dan pembongkaran kijingan adalah jika suatu saat nanti areal makam terlalu padat dan tidak ada tempat lagi bagi yang baru meninggal, maka mereka sewaktu-waktu bisa langsung menggali makam lama dan tidak harus menguras tenaga untuk menghancurkan beton makam berkijing. Itulah yang bisa dilakukan para pengurus makam, sebuah pekerjaan yang sebenarnya remeh namun berurusan dengan kenangan kehidupan orang banyak.

Di depan pintu gerbang makam, juga bersanding dengan tukang parkir dua ibu-ibu dan seorang anak perempuan tampak di sekitar meja yang penuh dengan bunga. Di bawah mejanya beberapa ember penuh air diletakkan dan beberapa lagi kosong. Satu ember separuh isi diangkat oleh salah satu wanita dan memercikkan airnya pada bunga-bunga yang dijualnya agar tetap terlihat segar, selain itu air juga membuat aroma bunga menyebar. Satu wanita yang tidak melakukan apa-apa hanya duduk di belakang meja sambil menunggu jika ada pengunjung yang membeli bunga. Usaha ini nampak sia-sia saja, karena ternyata pengunjung makam telah membawa bunga ziarah yang mereka beli dari pasar ataupun dari deretan penjual bunga yang membuka lapak sekitar lima puluh meter dari pemakaman. Usaha berjualan bunga tepat di pintu gerbang makam tak seramai jika dibandingkan dengan berjualan di lokasi lain tersebut. Lapak penjual di pasar tradisional terlihat ramai didatangi peziarah yang secara kebetulan lewat pasar tradisional. Pada lapak yang berjarak lima puluh meter sebelum mencapai makam, pembeli bunga parkir di pinggir jalan dan membuat lalu lintas sedikit terhambat. Lapak bunga di depan gerbang makam sepi, pengunjung makam tahu etika. Mereka menganggap bahwa bunga adalah oleh-oleh untuk si mati, dan jika kembali mengandaikan si mati sebagai tuan rumah yang sedang sakit, anda sebagai tamu tidak akan membeli oleh-oleh roti atau buah pada penjual yang nongkrong di depan rumah tuan rumah. Begitulah yang hidup masih menghormati yang mati, namun penjual bunga di depang gerbang masih tetap mendapatkan penghasilan dari pengunjung makam yang terlalu sibuk bekerja lupa membawa bunga ziarah hingga sebelum dirinya melihat penjual bunga di depan gerbang pemakaman. Dan itu jumlahnya tidak sedikit, sekalipun tidak seramai lapak di lokasi lain, mereka masih mempunyai kesempatan menjual habis bunganya dengan mengandalkan kealpaan pengunjung makam tadi.

Penjual bunga di depan gerbang makam memecah kebosanan dengan berbicara dengan penjaga makam yang sekarang merangkap sebagai tukang parkir. Obrolan yang menarik keduanya identik, mencemooh para pengunjung makam yang datang hanya setahun sekali. Dalam hati, mereka menginginkan setiap hari pengunjung makam tetap datang sehingga mereka tetap bisa bekerja dengan profesi mereka saat ini, tapi itu mustahil.

Rabu, 29 April 2015



                 Iklan mie instan yang saya pilih untuk ditelaah ini adalah iklan Mie Sedaap yang terbaru. Secara singkat, bisa saya ceritakan latarnya adalah demikian: Beberapa keluarga sedang berkumpul di sebuah rumah. Disana mereka melakukan aktivitas bersama yang cenderung menyenangkan seperti berenang, bernyanyi, berkumpul dan berbincang diiringi dengan banyak tawa. Rumah yang dijadikan latar tempat adalah sebuah rumah dengan fasilitas dapur bersih, kolam renang, taman, juga balkon di lantai dua. Perkumpulan yang saya rasa lebih dari sepuluh orang ini memilih mie instan sebagai hidangan utama yang disajikan.

                Mari kita bicarakan satu persatu makna yang ingin disampaikan oleh pembuat iklan kepada para pemirsa sekaligus target konsumennya dalam layar kaca televisi ini. Pertama, adalah lagu “Siapa yang Suka” yang dijadikan backsound: lagu ini sudah cukup populer dan mempunyai lirik yang sederhana, sehingga dalam iklan, lagu ini cukup mudah dinyanyikan oleh sekumpulan anak kecil dengan menggunakan instrumen musik yang sederhana pula (gitar kecil dan piano tiup). Sekumpulan anak kecil yang sedang bernyanyi di taman inilah yang memulai lirik pertama lagu: “Mie sedap siapa yang suka?” Sebuah lirik yang lebih mudah kita dengar bersifat persuasif, bukan sebuah pertanyaan murni. Pertanyaan yang mengajak ini kemudian ditanggapi oleh remaja di balkon lantai dua: “Mie Sedaap semuanya suka”. Disini ada sebuah misi yang dilancarkan pembuat iklan untuk membuat pemirsa menganggap bahwa produk mereka sebagai selera universal (setidak-tidaknya dalam keluarga ini). Dalam sebuah perkumpulan keluarga, tuan rumah bisa saja terjebak dalam kebingungan memilih menu yang pas bagi seluruh anggota keluarga. Kebingungan yang pasti adalah antara memilih satu menu yang dianggap cocok dengan selera seluruh anggota keluarga atau memilih menyediakan beragam menu demi mengakomodasi selera yang berbeda-beda dari setiap anggota. Produk mie instan digambarkan sebagai satu menu yang dianggap cocok untuk mendamaikan kebingungan ini. Produk ini hadir dalam berbagai rasa, namun dengan penyajian yang tidak rumit, dia hadir sebagai solusi dari keberagaman selera konsumen.
                Tidak berhenti disana, kita bisa meneruskan pencarian makna dari setiap tanda yang disajikan oleh iklan dengan durasi kurang dari 30 detik ini. Mungkin kita juga mulai bertanya pada diri sendiri mengapa harus susah payah menggeledah iklan ini, sedangkan produk yang diiklankan sudah kita kenal ini tampil dengan cara yang sederhana dalam sebuah bungkusan. Sebuah produk, hadir dalam masyarakat bukan hanya berupa bungkus plastik, namun juga beserta imaji-imaji yang menyertainya, mereka hadir dengan ilusi yang mengatakan bahwa mereka adalah barang yang diperlukan. Dalam iklan ini, kita sudah membicarakan bahwa mie instan adalah sebuah solusi yang ditemukan untuk menghadapi kebingungan kita dengan keberagaman selera. Lebih dari itu, iklan sebenarnya juga menyisipkan cita-cita setiap individu untuk menarik konsumennya sekalipun tidak berhubungan langsung dengan produk mereka. Kita bisa melihat hal ini pada iklan ini dan banyak iklan lainnya, pada iklan sabun kecantikan misalnya: kita dihadapkan pada sebuah wanita berkulit cerah dan mulus yang mandi dengan busa yang melimpah, makna busa disini tidak hanya menunjukkan kebersihan, namun juga sebuah kemewahan/luxury, sebuah imaji yang didukung oleh tempat mandi bathup (sedangkan di Indonesia, mayoritas masih memakai gayung), juga kamar mandi yang memilih warna putih, merah maroon, atau juga ungu, sesuai warna tema sabun. Ada sebuah cita-cita masyarakat yang ingin difasilitasi oleh iklan, cita-cita universal ini adalah “cita-cita untuk menjadi borjuis”. Sejak persamaan hak didengungkan sebagai objek yang diperjuangkan, beberapa masyarakat dari kalangan menengah ke bawah memaknainya sebagai terbukanya pintu untuk menjadi borjuis. Perusahaan dari berbagai produk meresponnya dengan baik dengan menampilkan produknya sebagai sarana-sarana menuju borjuasi. Mereka mengatakan kepada masyarakat bahwa, “Orang kaya memakai ini. Tapi bukan hanya mereka yang berhak memilikinya, anda juga.” Setidaknya itulah saya lihat pada iklan sabun kecantikan, shampoo, barang elektronik, tupperware, properti, juga mie instan yang akan segera kita bahas kedoknya sebentar lagi.
                Latar tempat dan para pemeran dalam hal ini yang menandai cita-cita borjuasi dalam iklan. Iklan produk ini mengambil latar tempat di sebuah rumah berfasilitas lengkap untuk memungkinkan sebuah kebahagian (semu). Sebuah rumah dengan area taman yang luas dan rindangnya pepohonan lengkap dengan balkon untuk menikmati pemandangan dari lantai dua, rumput yang tercukur rapi, dan juga kolam renang, serta dapur bersih. Para pemeran juga dipilih dari lintas generasi, sejak anak kecil, remaja, dewasa, hingga setengah baya. Dengan asumsi bahwa mereka adalah keluarga besar, mereka adalah contoh ideal untuk menggambarkan kebahagiaan bersama. Di Indonesia, keluarga tidak sekedar memiliki arti dalam kaitan masa lalu, namun juga bisa menjadi sebuah cita-cita. Kita sering mendengar cita-cita teman kita yang hanya ingin membahagiakan orang tuanya, memiliki anak yang sehat, tampan, dan cantik juga termasuk dalam cita-cita mereka. Inilah yang coba ditampilkan oleh produk ini. Sebuah cita-cita konsumen, yang dengannya mereka menampilkan bukan keadaan asli target konsumen, namun apa yang diinginkan konsumen dalam kehidupannya. Mereka juga dengan rendah hati memakai gagasan bahwa produk mereka bukanlah segalanya, namun hanya sebagian kecil dari cita-cita konsumen. Pembuat iklan ingin konsumen melihat produknya sebagai simbol dari cita-cita yang mungkin tidak akan pernah mereka capai. Bagi saya, setelah konsumen membeli dan memakai produknya yang tentu saja tidak akan mengantar mereka pada kondisi yang diinginkannya secara instan, maka pembuat iklan akan memakai semacam argumen, “Anda memang tidak bisa memiliki keluarga besar yang rukun, kolam renang, dan taman yang rindang, namun setidaknya anda bisa memakan apa yang juga mereka makan.”
                Hal menarik yang kita dapat pada iklan adalah bahwa mereka mencitrakan produk mereka menggunakan cara yang bahkan asing bagi mereka. Kita lihat pada scene selanjutnya. Ada sebuah adonan bahan dasar mie instan yang sedang ditekan-tekan dengan kedua tangan, sebuah proses yang bertujuan untuk melembutkan adonan sehingga tidak macet saat digiling dan dibentuk menjadi mie. Selanjutnya setelah berbentuk menjadi mie, tangan itu kemudian menguraikannya. Kita tahu bahwa produksi mie instan dalam skala besar tidak akan menggunakan kerja manual seperti yang ditampilkan ini, saya sendiri pernah melihat proses seperti ini saat pengusaha kecil rumahan membuat mie ayam di rumahnya dalam skala produksi kecil, sekecil rumahnya. Namun, kita tidak bisa mengatakan bahwa ini adalah bentuk kebohongan dari iklan (karena semua iklan adalah bohong secara harfiah). Kita bisa menganggapnya sebagai pencitraan produknya: tangan, dalam scene ini melambangkan sebuah usaha keras dalam membuat produk, tangan ini kemudian juga bisa diartikan sebagai kelembutan dan ketelatenan jika tampil bersama adonan bahan dasar mie. Scene selanjutnya saat mie diurai yang menghasilkan bentuk mie membentuk mirip getaran amplitudo menandakan bahwa struktur mie bersifat kenyal dan sekaligus tidak mudah patah (sebuah kata yang juga dekat dengan kata rapuh dan mudah rusak).
Ada pula adegan dimana layar dibagi menjadi dua bagian, satu bagian menampilkan bungkus mie instan, dan yang lainnya menampilkan beragam bumbu: rempah-rempah yang terlempar menuju ke arah muka pemirsa, sepotong jeruk nipis segar dengan air jeruknya yang menetes, lalu bawang merah dalam saringan yang direndam air, bahkan juga kelapa muda yang terbelah (satu-satunya komponen yang bahkan tidak ada dalam komposisi atau rasa mie instan). Semua bumbu ini menunjukkan mie instan secara asali. Pembuat iklan mencoba berbicara bahwa dalam sebungkus mie instan, terdapat bumbu-bumbu dapur yang telah diolah. Bumbu-bumbu dapur ini digambarkan dalam kondisi segar yang ditunjukkan dengan rempah-rempah yang terlempar, air yang berkecipak, menetes, dan menyembur dari masing-masing bumbu masakan. Imaji yang sempurnya untuk menggambarkan kerja keras, kesegaran yang tersaji dalam sebungkus makanan.[]










Jumat, 03 April 2015

Menjalankan hukuman mati di negeri ini tampak merupakan penegakan keadilan. Pada awalnya saya juga berpikir demikian: membunuh satu orang demi kebaikan orang banyak mungkin lebih bijak. Namun, bukankah pendapat itu juga yang digunakan pelaku teror keagamaan untuk membunuh orang lain yang tidak sejalan dengan kelompoknya. Kelompok radikal di Indonesia mengatakan bahwa “darah orang kafir itu halal”. Dengan gaya yang meniru, sekarang kita menyatakan bahwa “nyawa pengedar narkoba itu halal (untuk dihilangkan)”.
                Kita perlu menanyakan kembali mengapa hukuman mati harus diberlakukan? Saya mendapat jawaban dari Jokowi, Jaksa Agung HM Prasetyo.
Jokowi menjawab: “Kalau ada pengampunan untuk narkoba dan makin lama dibiarkan, hancurlah kita.” Dia juga menyisipkan data bahwa setiap harinya 50 orang di Indonesia meninggal karena mengkonsumsi narkoba.1 Saya masih tidak melihat alasan logis memilih hukuman mati dari jawaban Jokowi ini. Kita tahu bahwa para aktivis HAM tidak sedang meminta pengampunan atau peniadaan hukuman bagi para pengedar narkoba, mereka hanya tidak setuju dengan pemilihan hukuman mati. Dalam pikiran Jokowi, ada semacam sintesis bahwa jika dia tidak menghukum mati pengedar narkoba maka dia sedang mengampuni mereka. Kita tahu bahwa ada hukuman selain hukuman mati, dan kita masih belum bisa mendapatkan jawaban logis dari Jokowi mengenai pemilihan hukuman mati.
Jaksa Agung HM Prasetyo, seperti yang dikutip Kompas.com 20 Maret 2015 mengatakan bahwa hukuman ini akan membuat jera para pengedar narkoba. Dirinya juga mengatakan bahwa dampak dari hukuman mati ini memang tidak akan terasa dalam waktu dekat. Dia menggunakan argumen, “Sudah dieksekusi mati pun sudah seperti itu (masih ada penangkapan pelaku narkoba), apalagi kalau tidak,” kata Prasetyo. Argumen ini sebenarnya membuat saya geli. Ketika mengatakan bahwa hukuman mati akan membuat jera para pengedar narkoba, pemerintah sebenarnya perlu melakukan teror psikologis yang lebih daripada yang sekarang. Kita tahu bahwa hukuman mati dilakukan di penjara Nusakambangan, sebuah pulau yang terpisah dengan Pulau Jawa. Penembakan tahanan juga dilakukan di dalam ruangan khusus dengan hanya dilihat oleh para petugas penjara. Seandainya saja pelaksanaan hukuman mati ini disiarkan secara langsung lewat media televisi yang memungkinkan para pengedar narkoba melihat temannya ditembak jantungnya hingga terkulai. Menjadi teror yang lebih bagus pula jika pemirsa pengedar narkoba melihat temannya yang masih menggelepar setelah ditembak kemudian didekati oleh algojo untuk menerima tembakan tambahan di bawah telinga untuk memastikan kematiannya. Saya rasa dengan begitu, keinginan pemerintah untuk menimbulkan efek jera kepada para pengedar narkoba akan lebih mengena. Mungkin akan ada yang bertanya, “bagaimana jika tayangan itu ditonton oleh selain pengedar narkoba, atau anak kecil hingga menimbulkan trauma?” Saya akan jawab bahwa setiap orang yang bukan pengedar narkoba adalah calon pengedar narkoba, setiap orang yang bukan pembunuh adalah calon pembunuh, dan setiap orang yang bukan penjahat adalah calon penjahat, sungguh baik kan jika kita bisa membuat orang yang bukan pengedar narkoba mengurungkan niatnya menjadi pengedar dengan menayangkan tayangan eksekusi hukuman mati. Lalu, untuk ditonton anak kecil, mungkin kita bisa melabeli tayangan itu dengan huruf “D” (tanda tayangan untuk dewasa) di pojok kanan atas layar meskipun kita masih belum tahu apakah huruf itu bisa mencegah anak kita tidak menontonnya. Lalu dengan mengeksklusifkan eksekusi hukuman mati, kita harus bertanya dari sisi mana para pengedar narkoba mendapatkan efek jera? Saya rasa ini yang harus dijawab Jaksa Agung.
Darimana kita mengukur keberhasilan hukuman? Apakah dengan menurunnya angka kejahatan kemudian kita menganggap hukum yang kita jatuhkan pada penjahat berhasil? Apakah dengan menurunnya angka peredaran narkoba, kita bisa mengatakan bahwa hukuman yang kita jatuhkan pada para pengedarnya sudah cukup efektif?
Albert Camus, adalah salah satu tokoh filsuf eksistensialis dari Prancis yang dengan tegas menolak hukuman mati. Meskipun dalam pemikirannya mengatakan bahwa hidup itu absurd, dirinya menolak adanya hukuman mati. Dalam esainya berjudul “Merenungkan Guillotin”, dia mengatakan ketidaksetujuannya itu. Di Prancis, pada tahun 1957, tahun dimana Camus menulis esai ini, eksekusi hukuman mati dilakukan dengan guillotin (alat pemenggal menggunakan pisau raksasa). Prancis, telah memberlakukan eksekusi mati secara tertutup, dengan pertimbangan bahwa hal ini akan menimbulkan naluri sadistis penontonnya muncul. Di sisi lain, ini membuat alasan bahwa hukuman mati membuat jera para pelaku kejahatan menjadi dipertanyakan. Camus menyatakan protesnya dengan satir dalam paragraf berikut:
“Daripada hanya ditulis: “Jika kau membunuh, kau akan menerima balasannya di tiang gantungan”, bukankah atas dasar periketeladanan akan lebih baik jika dinyatakan: “Jika kau membunuh, kau akan dipenjarakan selama berbulan-bulan, atau bertahun-tahun, terkatung-katung antara putus harapan dan terus-menerus diserang teror, sampai akhirnya pada suatu pagi kami akan mendatangi selmu dengan berjingkat melepas sepatu agar kau tidak menyadari kedatangan kami, sementara kau lelap setelah gelisah semalaman tidak bisa tidur. Kami akan mencengkerammu, mengikat kedua tanganmu ke belakang, memotong leher bajumu, kalau perlu rambutmu. Karena kami menjunjung tinggi kesempurnaan, kedua tangan akan diikat sedemikian rupa sehingga tubuhmu bengkok membungkuk, dengan demikian lehermu akan mudah dicapai. Kemudian dengan dua pengawal di kanan-kirimu, kami akan bawa kau dengan kaki terseret sepanjang koridor. Lalu, di bawah langit gelap malam, salah seorang algojo akan mengangkatmu dan menelungkupkanmu di atas papan hukuman, sementara algojo lain menjaga agar kepalamu tidak bergerak di cekungan penyangga, sedang seorang lagi menjatuhkan pisau seberat 60 kilogram dari ketinggian dua setengah meter, pisau yang akan memotong lehermu dengan ketajaman sebuah silet.”
                Pada paragraf lainnya dia mengutip laporan Koestle bahwa saat eksekusi secara terbuka seorang pencopet di Inggris, ternyata para pencopet lain sedang beraksi dalam kerumunan penonton. Tidak ada bukti yang pasti bahwa sebuah hukuman mati bisa mencegah tindak kejahatan. Jika pun demikian, maka kejahatan di dunia pastilah sudah tidak ada di jaman sekarang, karena hukuman mati telah ada sejak jaman barbar.
                Menurut Frederic Bastiat, seorang pemikir dari Prancis pula, banyak orang yang salah menafsirkan bahwa hukum bisa mencegah suatu tindakan kejahatan. Masyarakat tentunya harus kecewa dengan kenyataan bahwa hukum tidak demikian adanya. Masih adanya kejahatan di muka bumi bukan dikarenakan hukuman untuk para penjahat masih terlalu ringan. Melainkan, dikarenakan sistem yang mengijinkan kejahatan itu masih ada. Praktisnya, masih eksisnya profesi pengedar narkoba hingga sekarang bukan berarti menunjukkan hukuman mati terlalu ringan bagi mereka, melainkan dikarenakan penyelundupan narkoba di Indonesia masih sangatlah mudah. Dari sudut pandang ini kita lihat bahwa ketimbang memperberat hukuman, kita masih bisa memperbaiki sistem keamanan untuk mencegah narkoba masuk. Kita masih belum terlalu yakin dengan sistem pengamanan untuk mengatasi penyelundupan narkoba, karena jamak diketahui bahwa di dalam penjara pun para naripadana masih bisa bertransaksi jual beli barang yang katanya menakutkan itu. Masihkah kita berani mengambil nyawa orang lain, sebagai konsekuensi dari sistem keamanan kita yang bobrok?  Kita bisa saja mengambil nyawa pengedar narkoba dengan harapan jumlah narkoba yang diselundupkan akan menurun, namun jika nyatanya nantinya jumlah narkoba tidak kunjung menurun, apakah kita bisa mengembalikan nyawa mereka sebagai bentuk permintaan maaf? Masihkah kita bisa bilang bahwa hukuman mati akan menimbulkan efek jera?
Saya rasa kita harus mengkaji ulang alasan untuk menghabisi nyawa orang, memutus garis keturunan seseorang, hanya untuk melampiaskan naluri membunuh ataupun menunjukkan ketegasan yang dicitrakan. Baru-baru saja, kita mendapatkan bahwa ada perampok motor yang dibakar oleh massa, lalu MUI merekomendasikan kaum homoseksual dihukum mati. Kita tidak bisa hidup tentram dengan menghukum orang lain dengan menghilangkan nyawanya. Indonesia yang terkenal dengan ramah senyumnya ternyata bisa menjadi pembunuh seketika.

1http://www.tribunnews.com/nasional/2015/02/14/jokowi-64-berstatus-terpidana-mati-narkoba-ajukan-grasi-saya-pastikan-semua-ditolak

Selasa, 24 Maret 2015


Saat berbicara dengan wanita, suatu tindakan yang tidak sopan untuk memperbincangkan berat badan. Mereka cenderung protektif dengan hanya mengijinkan beberapa orang saja yang tahu angka berat badannya. Mereka juga sering menghindari membicarakan berat badan dengan laki-laki. Lain halnya ketika bersama kelompok perempuan, info berat badan mereka mungkin menjadi bahan pembicaraan pembuka sebelum masuk ke inti obrolan, yakni tips dan trik diet sehat.
Wanita yang berjuang untuk mendapatkan tubuh langsing melalui diet mungkin harus berpikir ulang. Karena, pada waktu yang sama saat mereka mengurangi makanan, 10 juta orang di Sudan, Kenya, dan Ethiopia menderita kelaparan. Mungkin ada baiknya mengurangi jumlah makanan berminyak dan berpengawet buatan demi menjaga kesehatan, namun mengurangi jatah makan hingga hampir terkena maag itu juga tidak baik. Diet harusnya lebih berguna daripada sekedar untuk mendapatkan tubuh yang indah. Diet sebenarnya berfungsi untuk menjaga kesehatan bagi beberapa orang. Orang tua anak autis biasanya memberikan menu diet sehat untuk anaknya demi menghindari kondisi yang hiperaktif.
Jika berat badan menjadi sebuah aib, para perempuan bisa memakai jubah panjang di sekujur tubuhnya. Saya rasa itu akan menyembunyikan bentuk tubuh yang tidak mereka inginkan. Itu juga sama dengan menutup wajah dengan tangan saat anda merasa malu karena anda merasa raut wajah anda tidak patut ditampilkan di muka umum. Mungkin, ini adalah efek iklan produk pelangsing. Pada iklan susu pelangsing yang saya ingat-ingat, ada adegan seorang wanita memakai gaun merah ketat melewati celah sempit. Ia melewatinya dengan berjalan menyamping, praktis setiap lekukan mereka terlihat jelas. Benjolan payudara dan pantat mereka menonjol karena tidak memiliki perut yang buncit. Mungkin para wanita segera memegang dan mencubit perutnya masing-masing saat melihat iklan ini.
Saya rasa ini adalah doktrin global saat menyatakan diet itu sehat sambil menjual produk pelangsing. Bukannya menyangkal bahwa obesitas juga merupakan kondisi yang tidak sehat, namun akibat iklan, para wanita lupa bahwa terlalu kurus juga sama berbahayanya. Iklan juga membuat wanita lupa bahwa masing-masing manusia mempunyai bentuk tubuh yang berbeda. Ada yang memang mempunyai keturunan bertubuh kurus, ada juga yang berketurunan bertubuh gemuk. Mereka harus menjaga diri agar tidak sampai menyalahkan ayah atau ibu yang melahirkan mereka hanya karena mewarisi tubuh gemuk itu. Para pengusaha produk pelangsing mereka yang berperawakan gemuk sebagai sebuah pasar. Mereka menyebarkan betapa berbahayanya obesitas dan mengatakan dengan samar bahwa laki-laki tidak suka wanita gemuk, atau paling tidak mereka suka wanita langsing. Saya tidak demikian, karena ada wanita yang terlihat cantik dengan perawakan montoknya, macam Kim Kardashian, Adele, dan pacar saya sendiri, hehe. Iklan juga menyampaikan nasehat secara tidak langsung bahwa langsing itu cantik. Itu bisa dibantah dengan contoh wanita yang saya sebut di atas.
Saya rasa memang sulit untuk menjadi wanita di mana iklan mendoktrin habis-habisan. Iklan shampoo bilang bahwa rambut panjang dan lurus itu cantik. Iklan krim pemutih bilang bahwa wanita berkulit gelap itu tidak menarik. Sama dengan iklan produk pelangsing badan. Satu-satunya jalan untuk melebarkan sudut pandang dan membebaskan diri dari standarisasi iklan ini adalah mencari sendiri ide-ide kecantikan dalam diri tanpa berpegang teguh pada iklan lagi. Kita harus terbuka pada kenyataan bahwa di Polinesia, wanita yang cantik adalah wanita yang gemuk. Jika ingin contoh yang dekat, anda bisa melihat pahatan di candi, sosok wanita digambarkan montok, bukan langsing. Romo Mangun mengatakan bahwa dalam konotasinya, wanita montok adalah simbol wanita yang subur. Saya rasa dengan melihat doktrin iklan yang ganas itu, lebih baik anda mengganti channel jika acara anda sedang istirahat dan memasuki sesi pariwara. Hindari banyak-banyak menonton iklan.

Selasa, 03 Februari 2015



 Camus, Pramoedya, Nietzsche, Beethoven, dan sedikit Iwan Fals. Apakah aku hanya akan menjadi sekedar saduran dari kegemilangan ajaran dari para idola-idolaku ini? Jika Einstein mengatakan bahwa mengidolakan seseorang hanya dilakukan oleh manusia dekaden, maka sesungguhnya dia tidak bisa serta merta menuduh yang demikian. Mengidolakan seseorang bukan berarti menjiplak dengan sempurna segala ajarannya. Mereka hanya menjadi panutan bagaimana seharusnya memandang dunia, barangkali mereka mempersepsi dunia sama halnya dengan kita mempersepsinya, meskipun tidak sama persis. Mereka adalah guru, Einstein pun juga mempunyai guru sebelum dia menemukan teori relativitasnya.

Camus mengatakan untuk tidak lagi memunculkan rasa bersalah dalam diri; tidak ada kata maaf. Sepintas ini bertentangan dengan etiket umum di kalangan Jawa: terlalu banyak kata maaf dan rendah diri di sana-sini. Bahkan berjalan di gang pun, kita harus mengucapkan “nuwun sewu” pada orang tua yang sedang duduk santai di depan rumah. Menurut Camus, kata maaf sebenarnya adalah usaha melepaskan tanggung jawab dari kesalahan. Dia mengajak manusia menguasai diri, sesadar-sadarnya atas segala tindakannya. Jika pun ada kesalahan, mereka tidak perlu minta maaf; cukup maju selangkah dan berkata, “Aku yang melakukannya dengan sadar, tidak perlu melihat orang lain. Tentu aku bertanggung jawab atas kelakukanku.” Suatu keberanian yang sedang hilang dari wajah pemimpin negara. Mereka lebih suka menihilkan diri sendiri dalam tindakan. Menjadikan peraturan yang dibuatnya sendiri untuk menenggelamkan tanggung jawab. Kita lebih sering melihat saling lempar tanggung jawab antar instansi saat mereka terkena masalah. Itukah sifat dasar bangsa kita?

Pramoedya, sang realis juga eksistensialis. Dalam kuartet novelnya yang berlatar penjajahan Belanda, menampilkan perjuangan atas persamaan hak dan tingginya harga diri. Harga diri? Anda pernah mendengar orang yang gila harga diri, itukah yang diinginkan Pram? Tidak. Kita perlu memberi istilah lain untuk salah kaprah istilah gila harga diri, yakni: Gila Penghargaan! Pram mengajarkan kita untuk tidak saling memangsa, dan merasa unggul jika berhadapan dengan sesama manusia. Dalam Jejak Langkah, dia menulis, “Diri datang bukan untuk menang, tak pernah bercita-cita jadi pemenang atas sesama”. Nama aslinya yang seharusnya Pramoedya Ananta Mastoer, digantinya dengan menghilangkan suku kata “Mas”, sebagai lambang bahwa dirinya menjunjung tinggi kesetaraan. Dan seperti pejuang kesetaraan, dia selalu dianggap sebagai pemberontak yang mengancam keamanan negara.

Nietzsche, dengan Zarathustra-nya yang menyindir tanpa ampun. Menghancurkan nilai moral, sekaligus menumbuhkan nilai moral yang baru. Apa nilai moral yang baru? Kehendak katanya, segala sesuatu adalah karena kehendak, kehendak akan kuasa khususnya. Tuhan telah mati, katanya. Segala nilai moral berdasar ketuhanan juga ikut hancur bersamanya. Manusia hanya harus kembali menuju dirinya sendiri untuk membunuh Tuhan. Manusia adalah batu berpori, mereka ingin menjadi utuh tanpa lubang sehingga mau tak mau harus mengisi lubang pori-pori itu dengan sesuatu disebut Tuhan. Oh iya, Nietzsche sendiri mempunyai idola yang berubah-ubah. Dia pernah jatuh cinta pada karya Richard Wagner, seorang komposer Jerman. Pada waktu yang lain dia terkesima dengan pemikiran filsuf Schopenhauer. Pada akhirnya, dia memusuhi kedua idolanya itu.

Ludwig van Beethoven, seorang yang baru saja kukenal lewat sebuah film “Copying Beethoven”. Di dalamnya saya mengenalnya sebagai seorang yang tidak peduli pada nilai moral pada umumnya. Dia tidak pernah meragukan kemampuannya sendiri dalam bermusik. Dia berkata, “Tuhan berbisik kepada semua orang, tapi kepadaku Dia berteriak hingga aku tuli.” Beethoven memang seorang tuli, bisakah anda membayangkan seorang pencipta musik yang tuli? Dalam kesempatan lain, Beethoven juga sedikit diulas pada novel Jostein Gaarder berjudul “Gadis Jeruk”, dia berkomentar “Beethoven memiliki surga dan nerakanya sendiri, itu terbukti pada simfoni Moonlight.” Saya sendiri tidak terlalu paham musik-musik opera klasik. Namun, musiknya saya akui menenangkan. Dia sendiri mengomentari bahwa musiknya, “menjembatani jiwa-jiwa manusia”.

Iwan Fals, Virgiawan Listanto nama aslinya. Saya mengenalnya semasa SMP, saya jatuh cinta pada lagu “Sore Tugu Pancoran” yang dimainkan radio di rumah. Karyanya mewakili kondisi warga menengah ke bawah. Anak kecil loper koran yang rela meninggalkan pekerjaan rumah demi mendapat biaya sekolah. Pelacur penafkah keluarga yang sepi pengunjung (cerita pada lagu “Azan Subuh Masih di Telinga” dan “Doa Pengobral Dosa”). Belum lagi lagu romantisnya semacam “22 Januari”, “Yang Terlupakan”, atau “Jendela Kelas Satu”. Aaah, sungguh memikat. Sebelumnya, saya adalah seorang fans dari Rhoma Irama, sebelum akhirnya saya sadar bahwa dia adalah “pengkhotbah moral” yang lebih suka menentang kejahatan dan berlagak suci dalam kedok gitarnya, saya khilaf.

Saya kira setiap idola yang layak dimaknai sebagai idola tidak terlalu silau dengan nama besar dan penghargaan. Baginya, fans yang bisa menemukan dirinya sendiri dalam karyanya adalah penghargaan yang cukup.