:::: MENU ::::

Selasa, 28 Juni 2016

Membaca Dostoevsky adalah pengalaman yang menyenangkan. Dalam bukunya Notes From Underground, saya menemukan kritik arsitektur yang sinis. Dia mengatakan manusia abad 19 sedang bermimpi bisa hidup dalam istana kristal, lalu membangun apartemen dan hotel dengan dominasi elemen kaca yang mirip dengan kristal. Dua abad yang lalu hingga sekarang, kita salah mempersepsikan apartemen dan hotel sebagai istana kristal padahal tidak lebih dari arsitektur kandang ayam. Bagi saya, kaca membuat manusia menjadi ikan dalam akuarium.

Saya menginap di sebuah hotel di Jember. Di ketinggian daerah Gebang yang menawarkan pandangan luas ke bawah, melihat pemukiman penduduk yang bersandingan dengan pohon-pohon rimbun. Jauh dari keramaian kota, bisa melihat matahari yang beranjak pulang di sore hari. Tepat seperti yang diinginkan para wisatawan mancanegara dan domestik yang kegirangan akan senja dan kesepian. Seakan senja tak pernah ditemui sepanjang hidupnya, seakan-akan kesepian adalah pelarian yang jarang dari riuhnya dunia kerja.

Dari dalam kamar saya bisa melihat dunia luar dari lantai tiga lewat jendela yang hampir mememenuhi dinding salah satu bidang. Ini bukanlah kamar manusia, pikir saya. Ini adalah akuarium, atau mungkin etalase. Kamar ini tidak memungkinkan udara luar masuk secara langsung. Tidak ada aroma pepohonan atau bau asap kendaraan. Suara kendaraan di jalan juga hanya setara dengan suara embusan angin Air Conditioner, telinga saya hampa. Saya merasa pusing dalam ruangan ini, mendadak terkena vertigo. Saya merasa asing dan curiga dengan penginderaan yang saya kira tajam ini.

Kaca, Akuarium, dan Kesadaran Ikan yang Bunuh Diri
Unite d'Habitation atau Radiant City karya Le Corbusier


Apakah saya sakit? Atau ruangan ini yang membuat saya sakit?

Saya merasa mata saya disuguhkan area yang luas, mata saya dimanjakan; tapi telinga dan hidung saya terkurung dalam ruangan berukuran lima kali lima meter ini. Otak saya seketika menolak, dia sulit mendamaikan ketiga indera dalam situasi seperti ini. Mendadak otak saya jatuh pada kesimpulan aneh yang membuat saya berpikir sedang menjadi boneka dalam etalase.

Dostoevsky menganggap kaca adalah simbol kesombongan abad perindustrian, elemen penuh pamer. Dia benci dengan kaca-kaca besar yang dipajang menggantikan dinding-dinding batu. Meletakkan kehidupan di dalam kaca layaknya barang jualan atau pertunjukan kemewahan

Kaca. Elemen yang manja dan malu-malu. Elemen paling sombong setelah emas. Tidak seperti dinding, yang kata Dostoevsky sebagai pembatas masif tanpa ada tawar-menawar, simbolik dengan pembatas moral dalam agama, kaca menawarkan hal-hal yang rentan (apakah dengan masifnya penggunaan kaca, juga bisa ditarik kesimpulan bahwa batasan moral agama sudah ambyar?) Kaca membuat ruang menjadi berbatas namun tak berbatas. Membuat indera sulit berkomunikasi satu sama lain. Sudah berapa orang yang kau buat pusing semacam ini?

Di dalam kamar, saya kira saya bisa mencium dan mendengar sebaik saya melihat dari kaca besar, nyatanya tidak. Sebaik-baiknya penggunaan kaca memang hanya untuk benda mati. Tidak ada makhluk hidup yang ingin berada di dalam ruangan kaca, bahkan jika ikan mempunyai kesadaran, dia pun akan memilih meloncat bunuh diri keluar dari akuarium. Dia akan bingung betapa kontrasnya perabotan akuarium dengan perabotan manusia pemeliharanya. Ikan bernafas dalam air, manusia bernafas lewat udara. Udara yang bergerak dalam air menampakkan gelembung, sedang udara bergerak di luar akuarium tak nampak apapun. Ikan makan dengan pakanan mengapung, dan manusia tidak makan dengan nasi yang melayang. Dan semua itu dipisahkan oleh “KACA”.

Dan sudah pernahkah anda mendengar ikan-ikan yang memecah akuariumnya sendiri atau melompat keluar dari zona amannya? Saya punya alasan yang kuat untuk menganggap beberapa ikan mempunyai kesadaran. Mereka lompat dan memberontak dari akuarium karena pusing, layaknya saya, layaknya manusia. Manusia melihat kekhawatiran pada tumbuhnya tingkat kesadaran ikan dengan malu-malu, mereka tidak lagi memelihara Ikan Arwana, Louhan, Patin, dan ikan-ikan berukuran besar lainnya. Saat ini mereka memilih ikan yang berukuran sebesar tidak lebih dari ibu jari, dan mengisi air akuarium tak lebih dari dua per tiga penuh. Bukan, bukan karena manusia takut kehilangan nyawa ikannya, tapi manusia takut menyadari ikan mempunyai kesadaran diri sepertinya. Sebuah keadaan yang mengancam statusnya sebagai spesies khusus di tatanan evolusi makhluk hidup.

Kaca, Akuarium, dan Kesadaran Ikan yang Bunuh Diri
Orang Metropolitan yang punya cukup uang untuk hidup layak, tapi malah memimpikan hidup dalam kandang ayam eksklusif di gedung-gedung bertingkat


Jika ikan pun memberontak, maka apa lagi dasar yang membuat manusia memakai kaca? Kaca harusnya digunakan untuk membatasi ruang dimana tidak ada makhluk hidup di dalamnya, agar tidak ada yang merasa pusing seperti saya, atau ikan-ikan pemberontak yang umumnya adalah Ikan Arwana. Biarkan boneka-boneka berbusana terpajang di dalam etalase masif dengan nyaman, asal jangan Ashanty (dalam iklan Elevenia) yang jadi modelnya. Biarkan barang-barang kosmetik, snack, parfum, minuman bersoda saja yang dikurung oleh kaca, jangan kami.


Catatan: Setelah checkout dari hotel saya mengalami mual seperti masuk angin, beberapa hari kemudian terkena flu selama tiga minggu dan berat badan turun empat kilo. Aih, Cuma gara-gara kaca?[]

*) diterbitkan di Kalatida.com (http://kalatida.com/arsitektur-kandang-ayam)