:::: MENU ::::

Sabtu, 13 September 2014



Berbagai bidang pekerjaan dan strata pun ada untuk menjadikan kehidupan manusia tetap bermakna. Mulai menjadi buruh, pedagang kaki lima, pegawai negeri, hingga menjadi pemimpin negara. Beberapa profesi mengharuskan untuk bekerja keras siang dan malam untuk mendapatkan upah yang pas-pasan. Sebagian lainnya mendapat uang berlimpah dengan hanya sebatas memanajemen dan menyumbangkan isi kepala pada suatu pekerjaan. Bahkan dalam beberapa hal, kita bisa menemui manusia mempertaruhkan nyawanya untuk bekerja menghidupi keluarganya atau sekedar mengangkat harga diri keluarganya.
Pekerjaan yang ada hanya sebatas memenuhi kebutuhan material untuk tetap eksis dalam dunia. Ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa dunia ini fana, tidak abadi, kebanyakan orang menjadi lemas, sadar bahwa pekerjaannnya tidak terlalu berarti. Mendadak mereka merasa pekerjaannya sekedar formalitas dalam menjalani kehidupan yang singkat ini. Kemudian, kehadiran agama tiba-tiba menjadi penawar sekaligus candu ketidakabadian dunia dengan menawarkan dunia akhirat yang kekal –lepas dari dunia jasadi yang fana. Sebagian orang dengan pikir pendek kemudian mengisi sepanjang hari dengan ibadah untuk mendapatkan imbalan keabadian di surga. Namun, apakah keabadian tidak bisa didapatkan di dunia fana?
Dalam suatu film berjudul “Troy” mungkin bisa menjawab pertanyaan itu. Achilles, seorang pemuda Yunani, digambarkan tidak mempunyai rasa takut saat berperang. Dalam satu adegan, dia berpamitan kepada ibunya sebelum berangkat berperang ke kota Troya. Layaknya seorang ibu, dia mengkhawatirkan Achilles akan mati di medan perang. Achilles tetap bersikukuh untuk berangkat berperang dan ingin mendapatkan kemenangan di sana. Achilles tidak takut kematian, dia hanya ingin mengejar keabadian namanya dalam perang. Dalam narasinya dia berkata bahwa tidak ada manusia yang abadi, pekerjaan yang dilakukan semasa hidup manusialah yang membuat manusia itu abadi. Yang dimaksud Achilles adalah kendati manusia tidak bisa menghindar dari kematian dari kematian jasadnya, namun mereka mempunyai kesempatan mengabadikan namanya melalui jasa semasa hidup. Akhirnya dia berangkat menuju Troya dengan motivasi mengabadikan namanya dengan menjadi pahlawan perang. Dan keinginan Achilles untuk mengabadikan namanya sudah tercapai, dia membunuh Hector –Pangeran Troya.
Dalam percakapan Achilles dengan ibunya, manusia menganggap bahwa kefanaan jasad adalah sebuah derita. Akhirnya mereka mencari cara untuk eksis di dunia lebih lama dari umur kehidupannya. Dalam hal ini, Achilles memilih mengabadikan namanya dengan menjadi pahlawan perang. Di bidang lain, penulis menulis karya untuk mengenalkan dirinya di masa depan. Pesepakbola ingin meraih trofi untuk bisa masuk dalam rentetan nama pemenang sebelumnya. Mungkin inilah esensi kehidupan. Manusia-manusia ambisius akan melakukan apa saja agar mereka tidak mudah dilupakan –minimal oleh keluarganya.
Pada kasus yang lebih sederhana, para suami bekerja untuk mendapatkan status penting di lingkungan ketika perekonomian keluarganya terangkat. Para pahlawan kemerdekaan berperang melawan penjajah agar namanya bisa dikenang anak cucu, atau bahkan bangsanya. Para arsitek yang berlomba menciptakan proyek master piece-nya. Dan pejabat pun ingin namanya dikenal dan dikenang. Seperti halnya film G30S PKI yang wajib ditonton pada masa Orde Baru. Soeharto juga ingin mengabadikan namanya lewat film itu. Di samping untuk dokumentasi sebagai pelajaran-historis bangsa ini selanjutnya.
Munculnya uban, kendurnya kulit, merabunnya pandangan mata, kakunya tulang punggung, akan selalu menjadi derita bagi manusia. Jasad tidak mampu bertahan selamanya. Manusia mencari jalan lain untuk mengabadikan dirinya. Keabadian di dunia fana memang berbeda dengan di surga. Mereka yang masyhur di dunia tidak merasakan kepuasan secara terus-menerus ketika di akhirat (jika memang ada). Karena kepuasan hanyalah sebagian dari nafsu yang akan ikut menghilang saat berakhirnya kehidupan. Sedangkan keabadian yang ditawarkan di surga digambarkan bersifat memuaskan sepanjang waktu. Sekilas memang lebih menggiurkan keabadian yang ditawarkan oleh Tuhan di surga. Namun, apakah benar manusia masih mencari rasa puas (pengejewantahan dari nafsu) di surga? Wallahu alam.

Kamis, 11 September 2014

Tugas besar yang paling berkesan, seingat saya adalah TB (Tugas Besar) Hidrologi. Saya menghitung fluktuasi air banjir dan menentukan debit maksimum saat banjir. Poin yang berkesan di sini adalah mahasiswa harus menulis tangan, saya tegaskan, tulis tangan sebanyak tiga ratus lembar di kertas HVS/A4 yang kemudian dibendel. Isi bendelan tugas ini adalah hitungan-hitungan dengan rumus yang terkadang tidak dimengerti konsepnya. Saya bersyukur ada manusia jenius yang menciptakan pogram bernama MS. Excel. Saya tinggal copy paste file berisi rumus dari Vivi, teman saya, kemudian memasukkan variabel-variabel pengubah, dan hasilnya disalin di atas kertas.

                Mahasiswa Teknik Sipil sudah terbiasa menulis. Tangan mereka sudah lihai, luwes. Mereka biasa menulis dengan rentang waktu yang padat. TB setebal tiga ratus lembar dikerjakan dalam kurang lebih satu bulan. Bisa dibayangkan seberapa sering mereka menulis. Bisa dibayangkan pula seberapa keren mereka yang mengejewantahkan pemikiran ke dalam tiga ratus halaman dalam waktu sesingkat itu. Tan Malaka saja mengerjakan karyanya master piece-nya, Madilog, dengan waktu delapan bulan, itupun tidak setebal tiga ratus halaman.

                Dalam film “Finding Forester”, William Forester yang diceritakan sebagai novelis legendaris memarahi Jamal, muridnya, yang tidak kunjung menulis ketika sudah duduk di hadapan mesin ketik. Jamal tidak kunjung menulis karena pikirannya buntu, tidak tahu apa yang akan ditulis. William memarahi Jamal untuk segera berhenti berpikir dan segera menulis. Baginya, menulis akan lebih jujur jika kita mengawali menulis dengan hati, bukan dengan berpikir. Namun, tentu saja untuk mereka yang belum terbiasa menulis, menulis adalah hal yang sulit dilakukan, peduli itu diawali dengan hati atau dengan pikiran. Senior saya di Tegalboto, Oryza, mengatakan bahwa belajar menulis seperti belajar sepeda kayuh. Sama seperti belajar sepeda, keahlian menulis akan timbul hanya jika sudah menjadi kebiasaan.

                Menjadikan menulis sebagai kebiasaan sudah menjadi jati diri dari mahasiswa Teknik Sipil. Sebagian besar laporan dan tugas besar dikerjakan dengan menulis tangan. Nasihat untuk membiasakan diri untuk menulis sudah basi, seperti menyuruh anak SMA mengerjakan soal UAN SMP.

TB Pasti Berlalu

Tugas tetap saja tugas. Satu-satunya bagian yang membahagiakan dari mengerjakan tugas adalah saat mengakhirinya. Seberapa cepat kebahagiaan dicapai, diukur dari seberapa cepat menyelesaikan tugas besar.
               
Jangan bertindak sok suci untuk menikmati proses. Mereka yang menikmati proses dengan sengaja meninggalkan keutamaan pencapaian dan berakhir dengan molornya kelulusan. Lagipula, berproses pun tidak terlalu berguna banyak. Jika yang dikatakan berproses adalah mengamati kembali pekerjaan tugas besar kakak tingkat yang dijadikan contekan untuk kemudia mendapat hasil yang lebih akurat, dosen tidak peduli. Mereka hanya ingin mahasiswa menyetor bendelan bercover biru untuk dijadikan tiket masuk ruangan ujian akhir semester atau beberapa persentasi nilai akhir.

                Namun, saya melihat sudah banyak mahasiswa yang sadar akan keutamaan hasil akhir ini. Mahasiswa menulis tugas besar dengan menanggalkan sifat kritis, rumus yang salah tidak dikoreksi. Saya rasa itu wajar, mereka hanya ingin cepat lulus. Kuliah tidak murah, semakin lama lulus maka semakin banyak uang yang terkorek habis. Berbanding terbalik, jika cepat lulus maka semakin banyak uang yang masuk di kantong –jika mendapat pekerjaan sih.    Tugas besar yang menjadi penghalang kelulusan patut diselesaikan secepatnya demi kesehatan kondisi keuangan dan terjaganya harga diri.

                Mengerjakan tugas besar seperti maraton. Keringat-keringat yang jatuh di sepanjang rute sama banyaknya dengan kejengkelan karena sulit bertemu dosen-asisten/asisten-dosen. Kaki yang kram karena kelelahan sama berartinya dengan buntu karena bosan menuliskan rumus-rumus absurd. Kami terpaksa untuk memahami bahwa kebahagiaan dicapai dengan jalan penderitaan. Di saat keringat membasahi badan dan kaki mulai pegal-pegal, terbayang di dalam kepala kami pita garis finish yang akan menanti kami.


                Setelah melewati pita itu kami akan berbahagia, seolah lupa bahwa pita itu bukan hanya garis finish, tapi juga garis start untuk rute selanjutnya. Kebahagiaan kami hanya sementara. Kebahagiaan itu lenyap seketika kami menyadari harus kembali berlari menuju garis finish selanjutnya. Terkadang kami benci, mengapa mengorbankan diri pada penderitaan yang begitu lama hanya untuk kebahagiaan yang sementara. Saya teringat nasihat Freud tentang kebahagiaan dan penderitaan. Dia mengatakan, “Manusia lebih mudah menjadi menderita daripada berbahagia,” begitulah kira-kira nasihatnya.[]