:::: MENU ::::

Selasa, 10 November 2015

Rasanya sedikit terlambat untuk mahasiswa semester akhir untuk menyadari bahwa apa yang sedang dia pelajari selama ini tidak terlalu berarti (atau bahkan bertentangan) dengan yang diinginkannya.
Akhir-akhir ini, sebuah perenungan hadir dalam benak: Untuk apa saya belajar membangun?
Dalam sebuah diskusi warung kopi bersama teman alumni Tegalboto, kami membicarakan tentang dampak-dampak pembangunan terhadap lingkungan. Teman yang sejatinya adalah seorang dosen sosiologi dari Padang ini memang sedang konsen mendalami dampak-dampak lingkungan dari human based development.
Hadirlah subyektifitas saya sebagai mahasiswa teknik sipil dalam bentuk pertanyaan: Apakah selama ini pembangunan benar-benar ramah terhadap lingkungan? Saya rasa banyak orang yang tidak akan menemukan jawaban "ya" dari pertanyaan ini.
Di Jember saja, sebagai Kota Seribu Gumuk, kandungan kapur akan dieksploitasi habis oleh Semen Puger. Kabar dari pegawai Kantor Lingkungan Hidup, akan ada satu lagi perusahaan yang akan masuk untuk membantu meratakan gumuk dengan kandungan kapur di Puger itu.
Semen-semen itu bisa jadi akan hadir dalam rumah kita dalam bentuk tembok, balok-kolom beton, atau mungkin sekedar plesteran perekat keramik. Lalu, dalam keadaan ketidaksadaran atau setengah kesurupan, seorang mahasiswa seperti saya bersikap menolak penambangan itu, sedangkan di sisi lain penggunaan semen dalam bangunan masih tidak dapat dihindarkan.
(Ini belum lagi menyangkut penambangan yang lebih besar di Rembang oleh Semen Indonesia loh ya...)
Dalam sebuah acara kuliah Teknik Lingkungan yang entah kapan saya ikuti dahulu, seorang mahasiswa bertanya bagaimana bangunan bisa memungkinkan berdampak "nol" terhadap lingkungan. Saya yang kebetulan berdiri di depan untuk presentasi diam sejenak mencari jawaban. Akhirnya saya katakan, "Tidak ada pembangunan yang tidak berdampak pada lingkungan." Secara tidak terduga, dosen pun mengiyakan jawaban saya.
Aih, seperti menemui tembok kokoh rasanya. Layaknya saya menemukan batas lingkup dalam pembangunan, bahwa "setiap pembangunan pasti berdampak negatif pada lingkungan."
"Hey kalian aktifis lingkungan, tidak ada masa depan bagi kalian, selama pembangunan masih dibutuhkan." Sebuah suara dari alam bawah sadar membisiki saya.
Dalam perjalanan renungan, saya kemudian menghibur diri dengan menganggap kontradiksi antara bangunan dan lingkungan yang selama ini berkembang di pikiran masyarakat luas masih terlalu dini sehingga perlu ditelusuri lebih lanjut kemungkinan-kemungkinan sebaliknya.
Mungkin, tindakan revolusioner pertama yang ditawarkan teknik sipil bisa dengan mengubah nama AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dengan AMMAL (Analisis Mengenai Manfaat pada Lingkungan)?
Dengan maksud ingin menghibur hati, saya camkan kemungkinan ini dalam-dalam.