:::: MENU ::::

Jumat, 03 April 2015

Menjalankan hukuman mati di negeri ini tampak merupakan penegakan keadilan. Pada awalnya saya juga berpikir demikian: membunuh satu orang demi kebaikan orang banyak mungkin lebih bijak. Namun, bukankah pendapat itu juga yang digunakan pelaku teror keagamaan untuk membunuh orang lain yang tidak sejalan dengan kelompoknya. Kelompok radikal di Indonesia mengatakan bahwa “darah orang kafir itu halal”. Dengan gaya yang meniru, sekarang kita menyatakan bahwa “nyawa pengedar narkoba itu halal (untuk dihilangkan)”.
                Kita perlu menanyakan kembali mengapa hukuman mati harus diberlakukan? Saya mendapat jawaban dari Jokowi, Jaksa Agung HM Prasetyo.
Jokowi menjawab: “Kalau ada pengampunan untuk narkoba dan makin lama dibiarkan, hancurlah kita.” Dia juga menyisipkan data bahwa setiap harinya 50 orang di Indonesia meninggal karena mengkonsumsi narkoba.1 Saya masih tidak melihat alasan logis memilih hukuman mati dari jawaban Jokowi ini. Kita tahu bahwa para aktivis HAM tidak sedang meminta pengampunan atau peniadaan hukuman bagi para pengedar narkoba, mereka hanya tidak setuju dengan pemilihan hukuman mati. Dalam pikiran Jokowi, ada semacam sintesis bahwa jika dia tidak menghukum mati pengedar narkoba maka dia sedang mengampuni mereka. Kita tahu bahwa ada hukuman selain hukuman mati, dan kita masih belum bisa mendapatkan jawaban logis dari Jokowi mengenai pemilihan hukuman mati.
Jaksa Agung HM Prasetyo, seperti yang dikutip Kompas.com 20 Maret 2015 mengatakan bahwa hukuman ini akan membuat jera para pengedar narkoba. Dirinya juga mengatakan bahwa dampak dari hukuman mati ini memang tidak akan terasa dalam waktu dekat. Dia menggunakan argumen, “Sudah dieksekusi mati pun sudah seperti itu (masih ada penangkapan pelaku narkoba), apalagi kalau tidak,” kata Prasetyo. Argumen ini sebenarnya membuat saya geli. Ketika mengatakan bahwa hukuman mati akan membuat jera para pengedar narkoba, pemerintah sebenarnya perlu melakukan teror psikologis yang lebih daripada yang sekarang. Kita tahu bahwa hukuman mati dilakukan di penjara Nusakambangan, sebuah pulau yang terpisah dengan Pulau Jawa. Penembakan tahanan juga dilakukan di dalam ruangan khusus dengan hanya dilihat oleh para petugas penjara. Seandainya saja pelaksanaan hukuman mati ini disiarkan secara langsung lewat media televisi yang memungkinkan para pengedar narkoba melihat temannya ditembak jantungnya hingga terkulai. Menjadi teror yang lebih bagus pula jika pemirsa pengedar narkoba melihat temannya yang masih menggelepar setelah ditembak kemudian didekati oleh algojo untuk menerima tembakan tambahan di bawah telinga untuk memastikan kematiannya. Saya rasa dengan begitu, keinginan pemerintah untuk menimbulkan efek jera kepada para pengedar narkoba akan lebih mengena. Mungkin akan ada yang bertanya, “bagaimana jika tayangan itu ditonton oleh selain pengedar narkoba, atau anak kecil hingga menimbulkan trauma?” Saya akan jawab bahwa setiap orang yang bukan pengedar narkoba adalah calon pengedar narkoba, setiap orang yang bukan pembunuh adalah calon pembunuh, dan setiap orang yang bukan penjahat adalah calon penjahat, sungguh baik kan jika kita bisa membuat orang yang bukan pengedar narkoba mengurungkan niatnya menjadi pengedar dengan menayangkan tayangan eksekusi hukuman mati. Lalu, untuk ditonton anak kecil, mungkin kita bisa melabeli tayangan itu dengan huruf “D” (tanda tayangan untuk dewasa) di pojok kanan atas layar meskipun kita masih belum tahu apakah huruf itu bisa mencegah anak kita tidak menontonnya. Lalu dengan mengeksklusifkan eksekusi hukuman mati, kita harus bertanya dari sisi mana para pengedar narkoba mendapatkan efek jera? Saya rasa ini yang harus dijawab Jaksa Agung.
Darimana kita mengukur keberhasilan hukuman? Apakah dengan menurunnya angka kejahatan kemudian kita menganggap hukum yang kita jatuhkan pada penjahat berhasil? Apakah dengan menurunnya angka peredaran narkoba, kita bisa mengatakan bahwa hukuman yang kita jatuhkan pada para pengedarnya sudah cukup efektif?
Albert Camus, adalah salah satu tokoh filsuf eksistensialis dari Prancis yang dengan tegas menolak hukuman mati. Meskipun dalam pemikirannya mengatakan bahwa hidup itu absurd, dirinya menolak adanya hukuman mati. Dalam esainya berjudul “Merenungkan Guillotin”, dia mengatakan ketidaksetujuannya itu. Di Prancis, pada tahun 1957, tahun dimana Camus menulis esai ini, eksekusi hukuman mati dilakukan dengan guillotin (alat pemenggal menggunakan pisau raksasa). Prancis, telah memberlakukan eksekusi mati secara tertutup, dengan pertimbangan bahwa hal ini akan menimbulkan naluri sadistis penontonnya muncul. Di sisi lain, ini membuat alasan bahwa hukuman mati membuat jera para pelaku kejahatan menjadi dipertanyakan. Camus menyatakan protesnya dengan satir dalam paragraf berikut:
“Daripada hanya ditulis: “Jika kau membunuh, kau akan menerima balasannya di tiang gantungan”, bukankah atas dasar periketeladanan akan lebih baik jika dinyatakan: “Jika kau membunuh, kau akan dipenjarakan selama berbulan-bulan, atau bertahun-tahun, terkatung-katung antara putus harapan dan terus-menerus diserang teror, sampai akhirnya pada suatu pagi kami akan mendatangi selmu dengan berjingkat melepas sepatu agar kau tidak menyadari kedatangan kami, sementara kau lelap setelah gelisah semalaman tidak bisa tidur. Kami akan mencengkerammu, mengikat kedua tanganmu ke belakang, memotong leher bajumu, kalau perlu rambutmu. Karena kami menjunjung tinggi kesempurnaan, kedua tangan akan diikat sedemikian rupa sehingga tubuhmu bengkok membungkuk, dengan demikian lehermu akan mudah dicapai. Kemudian dengan dua pengawal di kanan-kirimu, kami akan bawa kau dengan kaki terseret sepanjang koridor. Lalu, di bawah langit gelap malam, salah seorang algojo akan mengangkatmu dan menelungkupkanmu di atas papan hukuman, sementara algojo lain menjaga agar kepalamu tidak bergerak di cekungan penyangga, sedang seorang lagi menjatuhkan pisau seberat 60 kilogram dari ketinggian dua setengah meter, pisau yang akan memotong lehermu dengan ketajaman sebuah silet.”
                Pada paragraf lainnya dia mengutip laporan Koestle bahwa saat eksekusi secara terbuka seorang pencopet di Inggris, ternyata para pencopet lain sedang beraksi dalam kerumunan penonton. Tidak ada bukti yang pasti bahwa sebuah hukuman mati bisa mencegah tindak kejahatan. Jika pun demikian, maka kejahatan di dunia pastilah sudah tidak ada di jaman sekarang, karena hukuman mati telah ada sejak jaman barbar.
                Menurut Frederic Bastiat, seorang pemikir dari Prancis pula, banyak orang yang salah menafsirkan bahwa hukum bisa mencegah suatu tindakan kejahatan. Masyarakat tentunya harus kecewa dengan kenyataan bahwa hukum tidak demikian adanya. Masih adanya kejahatan di muka bumi bukan dikarenakan hukuman untuk para penjahat masih terlalu ringan. Melainkan, dikarenakan sistem yang mengijinkan kejahatan itu masih ada. Praktisnya, masih eksisnya profesi pengedar narkoba hingga sekarang bukan berarti menunjukkan hukuman mati terlalu ringan bagi mereka, melainkan dikarenakan penyelundupan narkoba di Indonesia masih sangatlah mudah. Dari sudut pandang ini kita lihat bahwa ketimbang memperberat hukuman, kita masih bisa memperbaiki sistem keamanan untuk mencegah narkoba masuk. Kita masih belum terlalu yakin dengan sistem pengamanan untuk mengatasi penyelundupan narkoba, karena jamak diketahui bahwa di dalam penjara pun para naripadana masih bisa bertransaksi jual beli barang yang katanya menakutkan itu. Masihkah kita berani mengambil nyawa orang lain, sebagai konsekuensi dari sistem keamanan kita yang bobrok?  Kita bisa saja mengambil nyawa pengedar narkoba dengan harapan jumlah narkoba yang diselundupkan akan menurun, namun jika nyatanya nantinya jumlah narkoba tidak kunjung menurun, apakah kita bisa mengembalikan nyawa mereka sebagai bentuk permintaan maaf? Masihkah kita bisa bilang bahwa hukuman mati akan menimbulkan efek jera?
Saya rasa kita harus mengkaji ulang alasan untuk menghabisi nyawa orang, memutus garis keturunan seseorang, hanya untuk melampiaskan naluri membunuh ataupun menunjukkan ketegasan yang dicitrakan. Baru-baru saja, kita mendapatkan bahwa ada perampok motor yang dibakar oleh massa, lalu MUI merekomendasikan kaum homoseksual dihukum mati. Kita tidak bisa hidup tentram dengan menghukum orang lain dengan menghilangkan nyawanya. Indonesia yang terkenal dengan ramah senyumnya ternyata bisa menjadi pembunuh seketika.

1http://www.tribunnews.com/nasional/2015/02/14/jokowi-64-berstatus-terpidana-mati-narkoba-ajukan-grasi-saya-pastikan-semua-ditolak

0 komentar:

Posting Komentar