:::: MENU ::::

Kamis, 18 Juni 2015

Seorang penjaga pintu makam yang duduk di depan gerbang tiba-tiba berdiri menghampiri seorang pengunjung. Sambil mengulurkan tangan memberikan kartu parkir kendaraan, dia berkata kepadanya, “Setaun pisan engete (Ingatnya setahun sekali).” Pengunjung makam menerima kartu parkir sambil bermuka masam. Siapa orang ini, tiba-tiba merusak niat baik kedatanganku ke makam? Omongan itu nyata benar di satu sisi, keluarga memang hanya mengunjungi makam setahun sekali meski tidak berarti itu menunjukkan bahwa dia tidak peduli. Maksud saya, kehidupan sehari-hari memang butuh perhatian yang penuh sehingga mereka hanya punya waktu setahun sekali untuk mengurusi makam. Bagaimanapun, omongan itu tetap mengganggu benak pengunjung. Tapi penjaga pintu makam mengatakannya sambil tersenyum dan itu membuatnya terhindar dari kemarahan pengunjung makam. Pengunjung akhirnya menganggap omongannya sebagai angin lalu, dan cepat-cepat melewati gerbang kecil untuk memasuki areal makam dan meninggalkan penjaga makam. Penjaga makam masih tersenyum, sepertinya dia adalah orang yang ramah.

Selepas ditinggalkan oleh pengunjung yang melemparkan muka masam tadi, dia kembali bekerja. Dia memberikan kartu parkir pada setiap pengunjung yang datang, tentu diselingi dengan omongan pembuka yang tidak penting lainnya, misalkan, “Saiki kuburane bersih kan? Kijinge podo dibongkari.” Seperti pengunjung yang lalu, para pengunjung lain menganggapnya sebagai omong kosong. Mereka menganggap penjaga makam hanya ingin terlihat akrab dengan pengunjung sehingga pengunjung bisa mempercayakan sepeda motornya padanya dan berziarah dengan khidmat.

                Di pemakaman, para pengunjung bertemu dengan tetangga dekat yang makam keluarganya berada satu lokasi. Ibu-ibu bertemu dengan ibu-ibu lain yang biasa duduk bersama di depan halaman rumah membincangkan hari-hari atau tetangga lain hingga lupa waktu. Anak-anak bertemu temannya yang sama yang diajaknya bermain bola setiap hari. Ayah-ayah bertemu dengan ayah-ayah lain yang biasa membicarakan kondisi lingkungan di saat rapat mingguan. Tapi di makam, tak ada perbincangan, permainan ataupun gosip. Topik-topik semacam itu bukanlah alasan setiap orang untuk mengunjungi makam, mereka hanya ingin menghabiskan sore kali ini untuk  mengingat yang mati, merenung sejenak mengingat kenangan. Pikiran mereka terbang ke masa lalu, membayangkan betapa pernah berartinya hidup mereka bersama yang mati.

Beberapa dari pengunjung menangis, umumnya makam yang ditangisi adalah makam-makam baru. Ini maklum, keluarga masih belum percaya bahwa saudara yang terkubur ini telah meninggal, seperti baru kemarin mereka melihat yang terkubur ini lalu-lalang di depan gang rumah dan sekarang dia telah meninggal. Perlu beberapa waktu untuk membuat keluarga yang hidup ini sadar bahwa kehidupan mereka harus terus berlanjut tanpa kehadiran saudara yang meninggal.

Pengunjung makam yang bertemu tetangganya tidak melakukan perbincangan panjang, hanya saling sapa. Ada kesadaran kolektif yang ada pada setiap pengunjung makam yang melarang mereka berbicara banyak satu sama lain. Mereka tidak akan banyak berbicara satu sama lain tentang kemajuan atau keadaan terkini dunianya di makam. Wacana yang boleh muncul di makam adalah melulu tentang kehidupan si mati, yang itu berarti pengunjung hanya relevan membicarakan masa lalu, bukan masa kini. Di makam, mereka yang hidup adalah tamu dan yang mati adalah tuan rumah. Kedatangan si tamu adalah untuk berbicara dengan si mati, bukan berbicara hanya dengan sesama tamu. Anda bisa membayangkan saat bertamu bersama dengan dua atau tiga teman anda dan tidak mengajak tuan rumah dalam obrolan. Jika saya tuan rumahnya, mungkin saya akan segera mencari pembicaraan penutup agar para tamu segera pergi. Mereka para tamu akhirnya hanya melakukan tegur sapa seperlunya demi menghormati yang mati. Terkadang mereka hanya saling senyum dan menganggukkan kepala, sebagian yang ramah mungkin ikut melambaikan tangannya, itupun masih terasa mengganggu, apalagi yang disapa sedang khusyuk berjongkok di depan makam ibu atau ayah yang mereka cintai.

Areal makam telah bersih dari rumput liar, penjaga makam telah membersihkannya. Dua hari sebelum datangnya gelombang pengunjung, penjaga makam mencabuti rumput liar hingga ke akarnya sehingga areal makam seluruhnya hanya berwarna cokelat tanah. Setiap gundukan dan nisan mulai terlihat jelas terhampar. Dengan bersihnya areal makam, para pengunjung makam yang hanya berkunjung satu tahun sekali mulai sadar bahwa areal makam ini mulai padat. Tahun sebelumnya, mungkin mereka bisa lega berjongkok hingga bisa bersila, namun sekarang pantat mereka mulai menyentuh gundukan tanah makam lain atau nisan lain, dan tidak jarang mereka harus bersila dengan sedikit bagian pantat menduduki gundukan tanah di belakangnya. Setelah bangkit dari duduknya, mereka melayangkan pandang pada setiap sudut makam, tanyanya dalam hati, “Dimana tanah tersisa untukku nanti?” Penjaga makam paham akan keadaan ini, beberapa tahun lalu dia memasang papan larangan untuk mengkijing kuburan, dan tahun ini dia mulai membongkar kijingan yang sudah dibangun sebelum larangan mengkijing muncul. Kedua peraturan ini tidak berpengaruh apa-apa, kematian terus berlanjut dan areal makam tetap bertambah sesak. Namun paling tidak, peraturan ini menunjukkan bahwa pengurus makam mulai khawatir jika suatu nanti areal makam tidak lagi mencukupi untuk penghuni baru. Sebenarnya, untuk menghadapi keaadaan ini, harusnya diterbitkan peraturan untuk menggali kembali makam berusia lebih dari 20 tahun, 50 tahun, atau kapanpun. Namun, penjaga makam akan mendapat gelombang protes keras jika membuat peraturan ini, karena makam bagi yang hidup bukan sekedar mengubur yang mati, namun juga ikut mengubur kenangan-kenangan yang pernah membuat mereka merasa hidup. Satu alasan mengapa pengurus makam hanya berani menerbitkan larangan mengkijing dan pembongkaran kijingan adalah jika suatu saat nanti areal makam terlalu padat dan tidak ada tempat lagi bagi yang baru meninggal, maka mereka sewaktu-waktu bisa langsung menggali makam lama dan tidak harus menguras tenaga untuk menghancurkan beton makam berkijing. Itulah yang bisa dilakukan para pengurus makam, sebuah pekerjaan yang sebenarnya remeh namun berurusan dengan kenangan kehidupan orang banyak.

Di depan pintu gerbang makam, juga bersanding dengan tukang parkir dua ibu-ibu dan seorang anak perempuan tampak di sekitar meja yang penuh dengan bunga. Di bawah mejanya beberapa ember penuh air diletakkan dan beberapa lagi kosong. Satu ember separuh isi diangkat oleh salah satu wanita dan memercikkan airnya pada bunga-bunga yang dijualnya agar tetap terlihat segar, selain itu air juga membuat aroma bunga menyebar. Satu wanita yang tidak melakukan apa-apa hanya duduk di belakang meja sambil menunggu jika ada pengunjung yang membeli bunga. Usaha ini nampak sia-sia saja, karena ternyata pengunjung makam telah membawa bunga ziarah yang mereka beli dari pasar ataupun dari deretan penjual bunga yang membuka lapak sekitar lima puluh meter dari pemakaman. Usaha berjualan bunga tepat di pintu gerbang makam tak seramai jika dibandingkan dengan berjualan di lokasi lain tersebut. Lapak penjual di pasar tradisional terlihat ramai didatangi peziarah yang secara kebetulan lewat pasar tradisional. Pada lapak yang berjarak lima puluh meter sebelum mencapai makam, pembeli bunga parkir di pinggir jalan dan membuat lalu lintas sedikit terhambat. Lapak bunga di depan gerbang makam sepi, pengunjung makam tahu etika. Mereka menganggap bahwa bunga adalah oleh-oleh untuk si mati, dan jika kembali mengandaikan si mati sebagai tuan rumah yang sedang sakit, anda sebagai tamu tidak akan membeli oleh-oleh roti atau buah pada penjual yang nongkrong di depan rumah tuan rumah. Begitulah yang hidup masih menghormati yang mati, namun penjual bunga di depang gerbang masih tetap mendapatkan penghasilan dari pengunjung makam yang terlalu sibuk bekerja lupa membawa bunga ziarah hingga sebelum dirinya melihat penjual bunga di depan gerbang pemakaman. Dan itu jumlahnya tidak sedikit, sekalipun tidak seramai lapak di lokasi lain, mereka masih mempunyai kesempatan menjual habis bunganya dengan mengandalkan kealpaan pengunjung makam tadi.

Penjual bunga di depan gerbang makam memecah kebosanan dengan berbicara dengan penjaga makam yang sekarang merangkap sebagai tukang parkir. Obrolan yang menarik keduanya identik, mencemooh para pengunjung makam yang datang hanya setahun sekali. Dalam hati, mereka menginginkan setiap hari pengunjung makam tetap datang sehingga mereka tetap bisa bekerja dengan profesi mereka saat ini, tapi itu mustahil.

0 komentar:

Posting Komentar