:::: MENU ::::

Minggu, 21 Desember 2014



Jika kita tidak saling mengajukan permintaan, kita tidak dapat saling mencintai atau bekerja.
Kutipan di atas adalah kalimat yang dituliskan Phillip Hill dalam bukunya “Lacan untuk Pemula”. Tulisan itu tampil bersama ilustrasi dan digambarkan sedang diucapkan oleh laki-laki bersayap (malaikat) kepada seorang perempuan. Bibir mereka berdua berdekatan sebagai tanda mereka adalah sepasang kekasih.
                Permintaan seperti dalam perspektif Lacan adalah permintaan tentang sesuatu yang tidak ada. Hill menyontohkan dengan baik tentang ini dengan menggambarkan seorang bocah yang meminta barang kepada orang tuanya. Bocah meminta cokelat, orang tua menyanggupi. Lima menit kemudian bocah meminta pisang, orang tua masih menyanggupi. Kemudian bocah meminta biskuit, orang tuanya menaruh biskuit ke mulutnya. Saya yakin bocah itu akan meminta obyek-obyek yang lain, jika saja mulutnya tidak disumpal biskuit.
                Dan cinta, mirip dengan permintaan yang dilancarkan si bocah. Kata “Aku rindu padamu” yang dikatakan oleh pasangan kita (maaf untuk yang masih jomblo) adalah keinginan untuk bertemu. Namun, bersamaan dengan itu, sebenarnya dia juga mengatakan bahwa dia sedang tersiksa dengan ketidakhadiran pasangannya. Lantas kemudian, tidak ada yang menjamin setelah mereka bertemu, tidak akan ada permintaan yang dilancarkan oleh masing-masing pasangan. Sensasi rindu yang hilang kemudian berganti menjadi permintaan lainnya, seperti: ajakan makan malam, shopping.
                Cinta menemukan bentuknya dengan saling mengajukan permintaan kepada pasangannya. Begitu banyaknya permintaan yang dilancarkan ini terkadang memunculkan anggapan bahwa setiap orang selalu bersikap manja kepada pasangannya. Anggapan ini tentu diucapkan oleh orang ketiga serba tidak tahu (sahabat, teman, atau konsultan cinta). Saya rasa itu wajar karena mereka yang mengerti arti permintaan dalam percintaan adalah orang yang sedang bercinta. Orang lain mungkin akan menganggap mereka yang sedang bercinta sebagai anak kecil (karena manja), atau bahkan sebagai budak (karena terus-menerus menyanggupi permintaan pasangannya). Keadaan ini sebenarnya wajar, bahkan pun jika permintaan yang diajukan tidak rasional, karena pada dasarnya setiap pasangan sedang ingin menguji seberapa besar kemampuan pasangannya untuk mengabulkan permintaan. Sebaliknya, saat pasangan tidak saling mengajukan permintaan, maka cinta tidak akan bermakna lagi dan mereka menganggap bahwa cinta tidak akan berguna lagi bagi dirinya.
                 Para individualis seringkali bermasalah dengan konsep ini, karena mereka mungkin tidak bisa menemukan alasan mengapa mencintai orang lain, mereka merasa sudah cukup memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Orang lain mungkin hanya beban. Jikapun mereka sedang berpacaran, maka mereka tentu akan mengeluh saat mereka diserang permintaan oleh pasangannya. Dalam pikirannya akan timbul pernyataan, “Aku tidak pernah butuh apapun darinya, mengapa aku harus mencukupi kebutuhannya?” Orang seperti ini sepenuhnya masih belum menyadari kebutuhannya. Sekurang-kurangnya, manusia membutuhkan orang lain untuk dicintai, bahkan untuk sekedar pemuasan biologis. Pada saatnya dia sadar, dia akan mencari pasangannya. Bagaimanapun, intensitas permintaan yang dilancarkan seseorang bisa menjadi parameter betapa besar cintanya.

Catatan: Jangan kira dengan tulisan ini, anda menganggap saya bercita-cita menjadi konsultan cinta layaknya Mario Teguh. Saya menulis ini saat sedang buntu merevisi proposal skripsi. Saya menemukan bahwa menulis blog lebih gampang daripada menulis skripsi. Cita-cita saya jangka pendek ini masih tetap menjadi seorang Insinyur Sipil yang amanah demi menghasilkan rejeki yang barokah.

1 komentar: