Ibuku mati tahun lalu. Anakku mati dua minggu sebelum
lebaran kemarin. Anakku tidak mati diracun sianida. Tak ada yang tahu namanya,
tak perlu diberitakan media massa, tidak perlu pula ke meja hijau demi meminta
keadilan nasib. Keadilan itu apa? Tai kucing tah?
![]() |
Creation of Adam, Michelangelo |
Tadi siang, sebuah rumah makan memanggilku membenahi pipa
wastafelnya yang bocor. Aku melintasi meja dimana lelaki bahagia bersama
teman-temannya sedang makan siang. Aku tahu dia, jarak tiga rumah dariku. Rumahnya
menghadap jalan, rumahku ada di gang selebar motor yang terletak di samping
rumahnya. Dia berbisik sambil mengangkat cangkir kopi pada teman bicaranya,
“Aku tak akan tahan kalau jadi dia.” Kenapa dia perlu berbisik, harusnya dia
mengatakan persis di telingaku. Dia kira aku kira aku akan bunuh diri? Demi
Tuhan, jangan samakan aku dengannya.
Jika memang karena seumur hidup aku melarat, tinggal di
rumah kumuh –yang belum aku bayar uang sewanya, membawa peralatan pipa di tas
kumal, dan ibu dan anak yang meninggalkanku membuatku punya alasan untuk bunuh
diri. Memang pernah terlintas di benakku pikiran kotor itu, tapi aku kira aku
tak pernah bergantung dengan orang lain soal nasibku. Ibu dan anakku belum
tentu bahagia jika aku menyusul mereka. Dan aku tak punya daya mencegah
kepergiannya. Aku masih hidup di Bumi, di planet yang sama dimana istriku juga
berpijak namun di belahan yang lain.
Tetangga dengan rumah berpagar tinggi dihiasi pecahan kaca di
atasnya itu, dia tidak begitu mengenal tetangganya yang kumal ini. Jika dia
mengatakannya itu di depan telingaku, aku sangat bahagia. Betapa aku akan tahu
bahwa kecukupan materi membuat hati manusia lemah dan demikian emosional. Betapa
mata yang lemah saat dia membayangkan berada di posisiku akan menghibur diriki,
aku kira.
Dan sekarang aku tahu apa guna ‘empati’ bagi seorang korban
takdir seperti diriku. Empati membuat orang yang bernasib buruk sedikit terhibur,
bukan karena orang lain mengerti perasaannya (mustahil itu), tapi karena
ternyata dirinya lebih kuat daripada orang lain yang sudah mewek hanya karena membayangkan
mengalami nasib yang sama.
Orang semacam dia itu adalah orang kafir. Iya, kafir, kalian
tak salah dengar. Mereka gila kuasa akan apapun. Begitu satu barang “miliknya”
diambil atau berkurang, mereka jadi gila. Begitu barangnya bertindak tidak
sesuai perintah mereka naik pitam. Lihatlah, bahkan keluarganya pun dianggapnya
hanya sekedar harta kekayaan. Penghargaan macam apa itu?
Dia adalah contoh terbaik keterasingan. Aku juga korban
keterasingan, terasing dari kota yang berkembang lebih cepat dibanding tebal
dompetku. Tapi, itu bukan salahku jika kota ini tumbuh. Itu di luar kontrol
seorang tukang pipa. Namun, dia, yang berharta itu, dia menjadi asing akan
materi yang diusahakannya sendiri. Dia kira bisa mengatur segalanya, dan
tiba-tiba, puffffff.... Semua bergerak tak tentu arah, remote control tak
bekerja lagi kali ini. Pada sebuah bencana, dia mengaku depresi sedang aku
menyadari.
Ibu dan anakku mati, tak ada cuti esok hari, bocornya pipa
rumah orang tidak berhenti dengan sendirinya. Dan aku masih disiksa waktu, aku
mengadu pada Pastur, dan dia mengatakan itu sama sekali bukan urusan Tuhannya.
Benar sekali. Urusan hatiku bukanlah urusan Tuhan, aku sendiri yang harus
menenangkannya.
Sebaiknya aku tenggak air putih banyak-banyak, dan segera menyapa kegelapan kamar. Selamat malam.
*) Fiksi yang muncul setelah menonton Searching for Sugarman
dan mendengar anak bisu yang tertawa bercanda dengan bapaknya di kamar lantai
bawah. 28 Juli. Duren Tiga, Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar