Richard Heinberg*
Esensi kata ‘berkelanjutan’ (sustainable) adalah “yang mampu dipertahankan sepanjang waktu”. Selanjutnya,
ini berarti setiap masyarakat yang tak-berkelanjutan (unsustainable) tidak bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama dan
akan berhenti berfungsi dalam beberapa hal.
Sayangnya, dalam beberapa tahun belakangan kata ‘berkelanjutan’
telah digunakan secara luas untuk menunjuk praktik yang lebih kepada isu
lingkungan daripada lainnya. Terkadang kata ini digunakan serampangan oleh
aktifis lingkungan dengan mengabaikan kegunaannya. Bagaimanapun, konsepnya
sangatlah diperlukan dan harus menjadi patokan untuk semua perencanaan jangka panjang.
Mungkin tidak ada masalah untuk mengasumsikan bahwa tidak ada
tatanan kehidupan manusia yang bisa dipertahankan selamanya. Astronom
meyakinkan kita bahwa dalam beberapa milyar tahun Matahari akan memanas hingga samudra
di Bumi akan mendidih. Maka dari itu keberlanjutan (sustainability) adalah kata yang relatif. Tampaknya beralasan bagi
saya untuk menggunakan bingkai waktu peradaban-peradaban sebelumnya, dalam
jangka waktu sejak ratusan hingga ribuan tahun. Maka dari itu, masyarakat
berkelanjutan adalah mereka yang mampu mempertahankan diri setidaknya untuk
beberapa abad.
Bagaimana Kita Menjelaskan Keberlanjutan?
Konsep keberlanjutan telah menyatu dalam tradisi masyarakat asli;
contohnya, Konfederasi Iriquois Gayanashagowa, atau Hukum Agung Perdamaian**,
yang menyadari dampak keputusannya dalam tujuh generasi yang akan datang.
Orang Eropa pertama yang diketahui memakai kata keberlanjutan
(Jerman: Nachhaltigketi) pada tahun 1713 dalam buku Sylvicultura Oeconomica
yang ditulis rimbawan dan peneliti asal Jerman Hans Carl von Carlowitz. Lalu,
rimbawan Prancis dan Inggris mengadopsinya untuk penanaman tanaman sebagai “hasil-berkelanjutan
kehutanan”.
Kata ini banyak digunakan setelah 1987, ketika Brundtland Report dari United Nations of World Commission on
Environment and Development menjelaskan pembangunan
berkelanjutan sebagai pembangunan yang “memenuhi kebutuhan generasi saat
ini tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang dalam melengkapi
kebutuhannya sendiri”. Definisi ini telah terbukti sangat mempengaruhi masyarakat
dan masih banyak digunakan; meskipun, definisi ini telah dikritik mengenai kegagapannya dalam menghadapi penggunaan
penggunaan sumber daya yang tak bisa diperbarui dan mengabaikan masalah pertumbuhan
populasi.
Juga pada tahun 1980-an, ahli oncologi Swedia Dr. Karl-Henrik
Robert bersama peneliti lainnya untuk mengembangkan sebuah konsensus sebagai
syarat masyarakat berkelanjutan. Pada 1989 Robert merancang konsensus ini dalam
empat poin, yang selanjutnya menjadi dasar untuk organisasi Natural Step. Berikutnya, banyak perusahaan
dan kota di seluruh dunia berjanji mematuhi syarat-syarat Natural Step. Empat syarat itu adalah:
Dalam
masyarakat berkelanjutan, alam bukanlah subyek yang meningkatkan secara
sistematis:
1. Konsentrasi zat yang dikeluarkan dari
kerak bumi.
2. Konsentrasi zat yang diproduksi oleh
masyarakat.
3. Degradasi dalam arti fisik.
Dan, dalam masyarakat itu:
4. Orang bukanlah subyek yang mengondisikan
perusakan secara sistematis kapasitas untuk mendapatkan kebutuhannya.
Melihat kebutuhan akan catatan atau skema indikator, yang
mana untuk mengukur keberlanjutan, ahli ekologi Canada William Rees dan mahasiswa
sarjana (saat itu) Mathis Wackernagel mengembangkan di awal 1990-an konsep “jejak
ekologis”, dijelaskan sebagai jumlah luas tanah dan air yang dibutuhkan oleh populasi
manusia untuk menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi dirinya
dan untuk menyerap limbahnya, sesuai teknologi yang ada pada umumnya. Secara tersirat
dalam skema ini terdapat pengertian bahwa, agar manusia mampu mencapai hidup berkelanjutan,
maka jumlah jejak populasi dunia harus kurang dari total tanah dan air yang
tersedia di Bumi (jejak tersebut saat ini dihitung oleh Global Footprint Network yang kira-kira 40% lebih besar dari yang
bisa dihasilkan planet ini, mengindikasikan bahwa manusia sudah terlalu banyak
mengonsumsi sumber daya dan sedang menjalani kebiasaan yang tidak
berkelanjutan).
Sebuah penelusuran melalui survey penggunaan kata
berkelanjutan dan keberlanjutan tidak mudah dilakukan. Pencarian di Amazon.com untuk kata
keberlanjutan (sustainability) pada 1 April 2010 menghasilkan 8.875 judul buku
yang mengandung kata tersebut. Pencarian artikel jurnal di Google Scholar menghasilkan lebih dari 108.000 pencarian,
mengindikasikan ribuan artikel akademik dengan kata keberlanjutan dalam
judulnya. Bagaimanapun, pembahasan secara teliti literatur menunjukkan kebanyakan
kata dalam tubuh tulisan mengulangi, atau berdasarkan, defisini dan syarat yang
disampaikan di atas.
Catatan:
*) Richard Heinberg
menulis buku The Party’s Over yang berbicara mengenai krisis minyak yang akan
dihadapi peradaban manusia. Dia bekerja sebagai jurnalis di Amerika Serikat,
saat ini sebagai editor media alternatif MuseLetter.
**) Great Law of Peace dibuat oleh masyarakat
asli Amerika yang tergabung dalam Iriquois Confederay (termasuk di dalamnya negara
bagian Mohawk, Cayuga, Onondaga, Seneca,
the Oneida, and the Tuscarora)
Selanjutnya: http://www.agustira.net/2016/07/apa-itu-sustainability-aksioma-satu-dan.html
Selanjutnya: http://www.agustira.net/2016/07/apa-itu-sustainability-aksioma-satu-dan.html
0 komentar:
Posting Komentar