Menjalankan hukuman
mati di negeri ini tampak merupakan penegakan keadilan. Pada awalnya saya juga
berpikir demikian: membunuh satu orang demi kebaikan orang banyak mungkin lebih
bijak. Namun, bukankah pendapat itu juga yang digunakan pelaku teror keagamaan
untuk membunuh orang lain yang tidak sejalan dengan kelompoknya. Kelompok
radikal di Indonesia mengatakan bahwa “darah orang kafir itu halal”. Dengan
gaya yang meniru, sekarang kita menyatakan bahwa “nyawa pengedar narkoba itu
halal (untuk dihilangkan)”.
Kita
perlu menanyakan kembali mengapa hukuman mati harus diberlakukan? Saya mendapat
jawaban dari Jokowi, Jaksa Agung HM Prasetyo.
Jokowi menjawab:
“Kalau ada pengampunan untuk narkoba dan makin lama dibiarkan, hancurlah kita.”
Dia juga menyisipkan data bahwa setiap harinya 50 orang di Indonesia meninggal
karena mengkonsumsi narkoba.1 Saya masih tidak melihat alasan logis memilih
hukuman mati dari jawaban Jokowi ini. Kita tahu bahwa para aktivis HAM tidak
sedang meminta pengampunan atau peniadaan hukuman bagi para pengedar narkoba,
mereka hanya tidak setuju dengan pemilihan hukuman mati. Dalam pikiran Jokowi,
ada semacam sintesis bahwa jika dia tidak menghukum mati pengedar narkoba maka
dia sedang mengampuni mereka. Kita tahu bahwa ada hukuman selain hukuman mati,
dan kita masih belum bisa mendapatkan jawaban logis dari Jokowi mengenai
pemilihan hukuman mati.
Jaksa Agung HM
Prasetyo, seperti yang dikutip Kompas.com 20 Maret 2015 mengatakan bahwa
hukuman ini akan membuat jera para pengedar narkoba. Dirinya juga mengatakan
bahwa dampak dari hukuman mati ini memang tidak akan terasa dalam waktu dekat.
Dia menggunakan argumen, “Sudah dieksekusi mati pun
sudah seperti itu (masih ada penangkapan pelaku narkoba), apalagi kalau tidak,”
kata Prasetyo. Argumen ini sebenarnya membuat saya geli. Ketika mengatakan
bahwa hukuman mati akan membuat jera para pengedar narkoba, pemerintah
sebenarnya perlu melakukan teror psikologis yang lebih daripada yang sekarang.
Kita tahu bahwa hukuman mati dilakukan di penjara Nusakambangan, sebuah pulau
yang terpisah dengan Pulau Jawa. Penembakan tahanan juga dilakukan di dalam
ruangan khusus dengan hanya dilihat oleh para petugas penjara. Seandainya saja
pelaksanaan hukuman mati ini disiarkan secara langsung lewat media televisi
yang memungkinkan para pengedar narkoba melihat temannya ditembak jantungnya
hingga terkulai. Menjadi teror yang lebih bagus pula jika pemirsa pengedar
narkoba melihat temannya yang masih menggelepar setelah ditembak kemudian
didekati oleh algojo untuk menerima tembakan tambahan di bawah telinga untuk
memastikan kematiannya. Saya rasa dengan begitu, keinginan pemerintah untuk
menimbulkan efek jera kepada para pengedar narkoba akan lebih mengena. Mungkin
akan ada yang bertanya, “bagaimana jika tayangan itu ditonton oleh selain
pengedar narkoba, atau anak kecil hingga menimbulkan trauma?” Saya akan jawab
bahwa setiap orang yang bukan pengedar narkoba adalah calon pengedar narkoba,
setiap orang yang bukan pembunuh adalah calon pembunuh, dan setiap orang yang
bukan penjahat adalah calon penjahat, sungguh baik kan jika kita bisa membuat
orang yang bukan pengedar narkoba mengurungkan niatnya menjadi pengedar dengan
menayangkan tayangan eksekusi hukuman mati. Lalu, untuk ditonton anak kecil,
mungkin kita bisa melabeli tayangan itu dengan huruf “D” (tanda tayangan untuk
dewasa) di pojok kanan atas layar meskipun kita masih belum tahu apakah huruf
itu bisa mencegah anak kita tidak menontonnya. Lalu dengan mengeksklusifkan
eksekusi hukuman mati, kita harus bertanya dari sisi mana para pengedar narkoba
mendapatkan efek jera? Saya rasa ini yang harus dijawab Jaksa Agung.
Darimana kita mengukur keberhasilan hukuman? Apakah dengan menurunnya
angka kejahatan kemudian kita menganggap hukum yang kita jatuhkan pada penjahat
berhasil? Apakah dengan menurunnya angka peredaran narkoba, kita bisa
mengatakan bahwa hukuman yang kita jatuhkan pada para pengedarnya sudah cukup
efektif?
Albert Camus, adalah
salah satu tokoh filsuf eksistensialis dari Prancis yang dengan tegas menolak
hukuman mati. Meskipun dalam pemikirannya mengatakan bahwa hidup itu absurd,
dirinya menolak adanya hukuman mati. Dalam esainya berjudul “Merenungkan
Guillotin”, dia mengatakan ketidaksetujuannya itu. Di Prancis, pada tahun 1957,
tahun dimana Camus menulis esai ini, eksekusi hukuman mati dilakukan dengan
guillotin (alat pemenggal menggunakan pisau raksasa). Prancis, telah
memberlakukan eksekusi mati secara tertutup, dengan pertimbangan bahwa hal ini
akan menimbulkan naluri sadistis penontonnya muncul. Di sisi lain, ini membuat
alasan bahwa hukuman mati membuat jera para pelaku kejahatan menjadi
dipertanyakan. Camus menyatakan protesnya dengan satir dalam paragraf berikut:
“Daripada hanya ditulis: “Jika kau membunuh, kau akan menerima
balasannya di tiang gantungan”, bukankah atas dasar periketeladanan akan lebih
baik jika dinyatakan: “Jika kau membunuh, kau akan dipenjarakan selama
berbulan-bulan, atau bertahun-tahun, terkatung-katung antara putus harapan dan
terus-menerus diserang teror, sampai akhirnya pada suatu pagi kami akan
mendatangi selmu dengan berjingkat melepas sepatu agar kau tidak menyadari
kedatangan kami, sementara kau lelap setelah gelisah semalaman tidak bisa
tidur. Kami akan mencengkerammu, mengikat kedua tanganmu ke belakang, memotong
leher bajumu, kalau perlu rambutmu. Karena kami menjunjung tinggi kesempurnaan,
kedua tangan akan diikat sedemikian rupa sehingga tubuhmu bengkok membungkuk,
dengan demikian lehermu akan mudah dicapai. Kemudian dengan dua pengawal di kanan-kirimu,
kami akan bawa kau dengan kaki terseret sepanjang koridor. Lalu, di bawah
langit gelap malam, salah seorang algojo akan mengangkatmu dan menelungkupkanmu
di atas papan hukuman, sementara algojo lain menjaga agar kepalamu tidak
bergerak di cekungan penyangga, sedang seorang lagi menjatuhkan pisau seberat
60 kilogram dari ketinggian dua setengah meter, pisau yang akan memotong
lehermu dengan ketajaman sebuah silet.”
Pada
paragraf lainnya dia mengutip laporan Koestle bahwa saat eksekusi secara terbuka
seorang pencopet di Inggris, ternyata para pencopet lain sedang beraksi dalam
kerumunan penonton. Tidak ada bukti yang pasti bahwa sebuah hukuman mati bisa
mencegah tindak kejahatan. Jika pun demikian, maka kejahatan di dunia pastilah
sudah tidak ada di jaman sekarang, karena hukuman mati telah ada sejak jaman
barbar.
Menurut
Frederic Bastiat, seorang pemikir dari Prancis pula, banyak orang yang salah
menafsirkan bahwa hukum bisa mencegah suatu tindakan kejahatan. Masyarakat
tentunya harus kecewa dengan kenyataan bahwa hukum tidak demikian adanya. Masih
adanya kejahatan di muka bumi bukan dikarenakan hukuman untuk para penjahat
masih terlalu ringan. Melainkan, dikarenakan sistem yang mengijinkan kejahatan
itu masih ada. Praktisnya, masih eksisnya profesi pengedar narkoba hingga
sekarang bukan berarti menunjukkan hukuman mati terlalu ringan bagi mereka,
melainkan dikarenakan penyelundupan narkoba di Indonesia masih sangatlah mudah.
Dari sudut pandang ini kita lihat bahwa ketimbang memperberat hukuman, kita
masih bisa memperbaiki sistem keamanan untuk mencegah narkoba masuk. Kita masih
belum terlalu yakin dengan sistem pengamanan untuk mengatasi penyelundupan
narkoba, karena jamak diketahui bahwa di dalam penjara pun para naripadana
masih bisa bertransaksi jual beli barang yang katanya menakutkan itu. Masihkah
kita berani mengambil nyawa orang lain, sebagai konsekuensi dari sistem
keamanan kita yang bobrok? Kita bisa
saja mengambil nyawa pengedar narkoba dengan harapan jumlah narkoba yang
diselundupkan akan menurun, namun jika nyatanya nantinya jumlah narkoba tidak
kunjung menurun, apakah kita bisa mengembalikan nyawa mereka sebagai bentuk
permintaan maaf? Masihkah kita bisa bilang bahwa hukuman mati akan menimbulkan
efek jera?
Saya rasa kita harus
mengkaji ulang alasan untuk menghabisi nyawa orang, memutus garis keturunan
seseorang, hanya untuk melampiaskan naluri membunuh ataupun menunjukkan
ketegasan yang dicitrakan. Baru-baru saja, kita mendapatkan bahwa ada perampok
motor yang dibakar oleh massa, lalu MUI merekomendasikan kaum homoseksual
dihukum mati. Kita tidak bisa hidup tentram dengan menghukum orang lain dengan
menghilangkan nyawanya. Indonesia yang terkenal dengan ramah senyumnya ternyata
bisa menjadi pembunuh seketika.
1http://www.tribunnews.com/nasional/2015/02/14/jokowi-64-berstatus-terpidana-mati-narkoba-ajukan-grasi-saya-pastikan-semua-ditolak
0 komentar:
Posting Komentar