Baudrillard
sedang kesal, kesal sekali mungkin. Ah, kapan memangnya dia tidak kesal. Filsuf
pencemberut, cengeng, suka memaki. Kami menyewa kamar di salah satu hotel
berbintang di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Dia ingin melihat Burj Khalifa yang
terkenal itu dari dekat. Burj Khalifa adalah gedung tertinggi di dunia, kami
menyewa kamar hotel yang menghadap pada gedung kokoh ini. Tidak perlu menyewa
hotel yang dekat, jika memandang pada arah yang tepat, Burj Khalifa terlihat
dari manapun juga.
Bagi dia,
melancong bukanlah berfoto-ria dengan penuh senyuman, dia hanya mencari obyek
makian lain setelah berbusa-busa bosan mengolok-olok konsumerisme Amerika Serikat. Dan
sebagai teman imajiner yang baik, saya selalu mengikutinya. Kami datang saat
malam larut, malam yang terang di Bumi dan kegelapan hanya milik langit di atas
kami.
Baru saja dia
tiba di kamar, duduk sambil menata pakaian dalam lemari, dia sudah berani memaki-maki
hotel yang kami inapi, “Cakrawala masih terang di malam buta, pendingin ruangan
menyala dalam kamar hotel yang kosong di tengah padang pasir ......” Orang ini
tidak bisa hidup tanpa mengkritik. Dia jijik pada pembangunan. Baginya laju pembangunan
menjadi semakin bodoh. Dan hotel ini menunjukkan mindless luxury, kemewahan tanpa otak, katanya.
“Siang atau
malam tetap saja terang, apa orang sekarang sebegitu takut pada gelap?” dia meneruskannya,
dan saya sudah terbiasa mendengar dia demikian. Terkadang saat saya sedang
tidak enak hati, saya merasa cemoohannya pada pembangunan juga diarahkan pada
saya. “Dasar orang tua ketinggalan zaman, lambat menerima kenyataan,” kata saya
dalam hati meski kemudian segera saya tarik kembali.
Dia lebih
suka mendengar cerita-cerita saat manusia tinggal di goa. Dia mengagumi manusia
purba yang dekat dengan alam. Dia menyukai para “kera” yang tahu kebutuhan
hakikinya untuk bertahan hidup. Dan pada saat yang bersamaan memandang sinis pada
“spesies hasil evolusi terakhir manusia” yang semakin hari semakin mengedepankan
kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya artifisial.
Hmm, saya
membayangkan orang di depan saya ini tengah memanggang paha mammoth di dalam
gua. Memakai pakaian kulit singa purba, dan memegang pentungan sebesar
badannya.
![]() |
Lelucon Evolusi |
Dia tidur
larut malam seperti biasanya. Rencananya kami akan berbelanja kebutuhan
sehari-hari ke supermarket terdekat dari hotel.
Keesokannya
dia bangun pagi dan kami bergegas menuju supermarket yang buka 24 jam. Saat dia
masuk supermarket yang lampunya menyala meski matahari sudah terbit, dia protes:
“Dasar arsitek gila, matahari kurang terang apa coba?!!” Si kasir penjaga toko
yang tak tahu apa-apa menjadi takut, kincup, dan menunduk sambil menempelkan
barang belanjaan kami pada pemindai laser. Etalase, boneka peraga, lampu hias,
tanaman palsu, tak luput dari makiannya. Dia selalu merasa sesak dan gerah dimanapun
dia berada.
Meski dia
bukan orang baik dalam pengertian orang normal. Tapi saya menyukai Baudrillard.
Saya menyukai orang-orang yang suka memaki, suka dengan orang yang menyimpan
dendam yang sejenis dia, Nietzsche atau Marquise Sade. Dan mulai meninggalkan
orang woles macam Camus, saya tidak
bisa menjadi woles seperti dia. Bagi
saya, dendam dan kebencian menimbulkan energi yang lebih dari cukup untuk menemukan
titik kritis persoalan. Namun, tentu saja, tidak mudah untuk menjadi pembenci
yang cerdas. Tanpa kecerdasan dan wacana, sepertinya kebencian kita hanya akan
menjadi kritik kacangan. Dan kecerdasan tanpa kebencian, itu tidak mungkin.
Semakin kita tahu, semakin kita membenci. Tak kenal, maka tak boleh membenci.
Siapa yang bilang kalau kecerdasan akan sia-sia tanpa
adanya kasih sayang. Saya hanya tertawa. Sebab bagi saya, rasa benci tumbuh
bersamaan dengan kasih sayang, tak ada bedanya, pisau bermata dua.
***
Kembali pada
Baudrillard yang sekarang sudah reda emosinya setelah meminum kopi dan menghisap
rokok Surya yang saya bawa. Dia punya mata dan pikiran yang tajam dalam melihat
ruang. Sebagaimana dia melihat komunikasi, ruang baginya merupakan cerminan para
insinyur yang sedang mabuk. Sedang kecanduan dan teler. Berlebih-lebihan.
![]() |
Jean Baudrillard |
Banyaknya lampu
hias, tanaman palsu, atau AC yang bertebaran di dinding ruangan, baginya
menunjukkan betapa manusia berada dalam kondisi teler. Tapi mengapa manusia
menjadi teler dalam segala proses mencipta? Jawaban terdekatnya adalah ‘kuasa’.
Para pencipta ruang (arsitek) sepertinya menginginkan adanya kendali penuh
manusia dalam mengatur ruang-ruang sesuai keinginannya. Mereka berusaha menciptakan
ruangan yang terlepas dari keadaan kacau dan tak terpahami yang biasa mereka
temui di ruang terbuka. Mereka adalah tipe orang yang gila kuasa.
Jika kita
lihat, ruangan supermarket, hotel, ataupun apartemen, sebisa mungkin dalam keadaan
stabil, tak berubah. Jika anda ke supermarket hari ini, maka tak akan ada
bedanya suasana yang anda alami saat mengunjungi kembali sebulan kemudian. Tidak
akan ada pengalaman meruang yang berbeda pada setiap kunjungan. Suhunya sama,
siang dan malam sama terangnya, lagu yang diputar dengan volume yang sama, paling
cuma penataan barangnya yang berbeda.
Mereka
sengaja menciptakannya demikian, memisahkan ruangan ciptaannya dari kompleksnya
iklim di dunia luar. Hari ini, batas-batas ruangan menjadi absolut. Bagaikan
bunker Hitler yang membuat penghuninya tidak tahu kondisi dunia luar. Bagaikan penjara
Alcatraz yang mengasingkan narapidana dari keluarganya. Ruangan macam ini tidak
mengikuti siklus lingkungan sekitar dalam eksistensinya. Dia memiliki siklus
sendiri yang berada dalam kendali pemiliknya. (Tuhan tidak ada dalam supermarket?
Dalam beberapa hal, itu bisa jadi benar)
Para pemilik ruang menginginkan ruangan di dalam
kendalinya. Baik itu suhu, terangnya cahaya, aroma, tingkat kebisingan. Sejak
itulah hidup kita dipenuhi remote control dan tombol, demi sebuah kendali
mutlak. Dan sejak itu pula pengalaman meruang kita menjadi tanpa kejutan. Sejak
itu pula kita gampang bosan. Sejak itu pengalaman meruang kita menjadi terlalu
manusiawi, terlalu logis, dan terlalu naif.
Baudrillard memang banyak berbicara soal hal-hal
berlebihan. Suatu keinginan menambahkan sesuatu dalam sebuah obyek hingga
akhirnya obyeknya tenggelam dalam riuhnya aksesoris. Namun, saya tahu
kelemahannya: Dia bisa menulis ribuan paragraf mengenai hal-hal yang melewati
batas, namun dia tidak pernah tahu batas yang seharusnya tidak dilampaui, tidak
tahu dimana seharusnya manusia berhenti.
Pernah saya dengar dia berbicara lantang di atas mimbar, “Manusia
sekarang sudah kebablasan! Pembangunan sekarang kelewatan! Konsumerisme melampaui
batasan!” Kemudian, di antara para jamaah yang bingung, ada yang bertanya, “Wahai
Baudrillard, tahukah anda batasan mana yang menjadi batas wajar manusia?
Tahukah anda titik kritis mana yang membuat kami berangsur menjadi gila?”
Baudrillard tertunduk sedih, “Saya tidak tahu sejak kapan
kita jatuh dalam jalur kegilaan ini, saya tidak tahu siapa yang harus
disalahkan, bahkan saya tidak tahu apakah saya benar-benar tidak terlibat dalam
membuat umat manusia dalam malapetaka.”
***
Kami sudah
dua hari menginap, dan esok kami harus kembali ke rumah masing-masing. Kami
harus naik pesawat pada pagi buta, dan tidak bisa tidur larut kali ini. Saya
mengingatkan, “Bukankah kamu ingin melihat Burj Khalifa, gedung tertinggi di
dunia? Ini malam terakhir loo.”
Dia
menjawab, “Aku sudah cukup melihat Burj Khalifa dari luarnya, aku tidak
tertarik apa yang ada di dalamnya, aku rasa isinya sama saja dengan gedung lain.”
0 komentar:
Posting Komentar