Kita
selalu punya alasan untuk menjadi serakah. Selalu punya ruang kosong dalam perut
untuk menambah nasi di pesta makan. Selalu punya alasan untuk meninggikan
gedung-gedung hingga hilang ditelan awan. ‘Kita’ hilang dalam impian, atau ‘kita’
adalah impian itu sendiri. Apa itu kebutuhan? Kita tidak tahu. Produksi semen
sudah lebih dari yang kita butuhkan, tapi pabrik semen selalu punya alasan
untuk menganggap pembukaan pabrik semen baru adalah sebuah kebutuhan. Kita
tidak butuh semen lagi.
![]() |
Bansky |
Produksi
semen sudah mencapai 79,8 juta ton pada tahun 2015. Di tahun yang sama,
konsumsi yang terpakai hanya 60,6 juta ton. Tren grafik juga menunjukkan kapasitas
produksi pabrik semen yang terus meningkat, sedangkan konsumsi semen tidak
begitu menunjukkan peningkatan.
Selain
itu, mayoritas penggunaan semen pun masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Jawa
menyumbangkan lebih dari 50% penggunaan semen. Tepatnya dengan angka 16,24 juta
ton dari 30,12 juta ton penjualan semen nasional pada semester satu 2016. Tradisi
Jawa sebagai pulau yang rakus semen tercatat setidaknya sejak tahun 2006 atau
mungkin jauh lebih lama. Jawa memang sudah penuh dengan pembangunan, tapi
manusianya selalu punya alasan untuk menyesakkan bangunan baru di tanah yang
sempit ini.
How Much Land Does A Man Need?
Kata Leo Tolstoy dua abad yang lalu. Jawabannya: tidak tahu, tidak tentu, atau
mungkin juga tidak perlu dipertanyakan. Pertanyaan Tolstoy yang kemudian dijadikan
sebuah cerpen tersebut akan menganggu pikiran kita. Apakah kita hanya butuh
rumah dengan satu kamar tidur atau lima kamar tidur? Kamar mandi dalam atau
luar? Halaman sempit untuk menanam tanaman obat atau kebun luas untuk pohon
jati? Atau kita hanya butuh kolong jembatan? Pertanyaan “How much portland cement does we need?” juga sama tak terjawabnya
bagi pengusaha. Namun bagi orang yang tidak serakah, maka akan mengatakan bahwa
semen tersebut lebih dari cukup untuk membangun Indonesia.
Sebuah
nafsu kesetanan sedang hinggap dalam mental pembangunan Indonesia. Pemerataan hanyalah
wacana, kerakusan yang abadi tumbuh dalam pembangunan Pulau Jawa.
![]() |
Laju produksi dan konsumsi semen di Indonesia |
Ada
alasan lain mengapa kita tidak butuh lebih banyak semen saat ini. Beberapa
orang mengatakan bahwa pembangunan dibutuhkan oleh masyarakat, tapi nyatanya pembangunan
lebih dibutuhkan oleh pengusaha konstruksi. Bagaimana bisa?
Seorang
teman yang saat ini sedang belajar usaha konstruksi berbincang dengan saya saat
hari raya kemarin. Dia ingin mempunyai perusahaan konstruksi sendiri, namun
saat ini dia sedang menjadi karyawan sebagai pelaksana lapangan untuk mencari
tahu seluk-beluk dunia konstruksi. Dia mengatakan bahwa pengurangan dimensi
struktural adalah wajar. Selama komponen tersebut tidak kasat mata seperti pondasi,
galian tanah. Tidak hanya itu, campuran spesi (adukan semen) dan pembetonan
juga tidak disesuaikan dengan spesifikasi. Hal ini mengakibatkan bangunan tidak
tahan lama.
Tidak
heran jika kegiatan konstruksi saat ini sering berulang-ulang di tempat sama
dalam setiap tahunnya. Setelah dibangun, direnovasi, direnovasi lagi,
direnovasi lagi. Hal ini yang membuat ketergantungan kita terhadap semen
menjadi akut. Semen yang menjadi semacam micin membuat pengusaha konstruksi ketagihan
memakannya. Dia juga mengatakan, “Lek apik-apik engko proyeke entek, terus
kontraktor mangan opo?” (kalau kualitasnya bagus, tidak ada proyek lagi,
kontraktor makan apa nanti?). Tunggu dulu, padahal kan Jawa menghabiskan 50%
semen nasional, bagaimana bisa proyek habis atau mandeg?? Saya yang tidak asing lagi dengan kegiatan konstruksi
sejak sekolah menengah memahami bahwa perspektif demikian dimiliki oleh
mayoritas pekerja konstruksi.
Bisakah Pembangunan Indonesia
Menjadi Berkelanjutan?
Richard Heinberg, mengatakan
bahwa peradaban yang tidak menggunakan energi yang terbarukan tidak dapat
bertahan lama. Energi, dalam hal ini semen/karst adalah bahan yang terbatas
jumlahnya. Jika peradaban manusia yang dibangun dalam ketergantungan kepada
karst, maka bukan tidak mungkin mereka akan kebingungan mencari alternatif lain
untuk menggantikannya. Bahwa segala yang terbatas itu tidak mungkin dikonsumsi
terus-menerus (apalagi hingga mengakibatkan kecanduan) adalah hukum yang harus
dipatuhi untuk melanjutkan peradaban.
Bukan hanya energi minyak saja
yang sedang krisis, pada saatnya karst tidak akan diproduksi lagi. Dan bijih
besi untuk baja juga akan mengikuti kepunahan jika kita tetap “gila” pembangunan.
Saya kembali fokus dengan umur
bangunan. Bangunan kayu dikatakan ramah lingkungan jika umur bangunan dari kayu
tersebut bisa melampaui umur kayu saat ditebang. Artinya, jika kita menggunakan
kayu jati berumur 50 tahun untuk membangun rumah misalnya, maka rumah kita
tersebut minimal harus berumur 50 tahun pula. Hal ini ditujukan agar pohon jati
yang lain berkesempatan tumbuh, sehingga bisa dikatakan kita tidak akan
kehabisan stok kayu jati.
Lalu bagaimana dengan bangunan
dengan bahan dasar beton? Apakah ada bangunan beton yang berumur minimal 470
tahun? Boro-boro 470 tahun, lima tahun sekali aja renovasi, dua puluh tahun
ganti gaya arsitektur, lima tahun sekali tiap ganti bupati/gubernur/presiden
sudah ganti master plan tata kotanya.[]
Referensi
http://duniaindustri.com/lampaui-estimasi-konsumsi-semen-sepanjang-2015-tumbuh-18-jadi-61-juta-ton/
http://duniaindustri.com/ditopang-pasar-sumatera-konsumsi-semen-februari-2016-tumbuh-29/
http://investasiinfrastruktur.net/semen.php?halaman=produksi
http://investasiinfrastruktur.net/semen.php?halaman=pulau
Referensi
http://duniaindustri.com/lampaui-estimasi-konsumsi-semen-sepanjang-2015-tumbuh-18-jadi-61-juta-ton/
http://duniaindustri.com/ditopang-pasar-sumatera-konsumsi-semen-februari-2016-tumbuh-29/
http://investasiinfrastruktur.net/semen.php?halaman=produksi
http://investasiinfrastruktur.net/semen.php?halaman=pulau
0 komentar:
Posting Komentar