Camus, Pramoedya, Nietzsche,
Beethoven, dan sedikit Iwan Fals. Apakah aku hanya akan menjadi sekedar saduran
dari kegemilangan ajaran dari para idola-idolaku ini? Jika Einstein mengatakan
bahwa mengidolakan seseorang hanya dilakukan oleh manusia dekaden, maka
sesungguhnya dia tidak bisa serta merta menuduh yang demikian. Mengidolakan
seseorang bukan berarti menjiplak dengan sempurna segala ajarannya. Mereka
hanya menjadi panutan bagaimana seharusnya memandang dunia, barangkali mereka
mempersepsi dunia sama halnya dengan kita mempersepsinya, meskipun tidak sama
persis. Mereka adalah guru, Einstein pun juga mempunyai guru sebelum dia
menemukan teori relativitasnya.
Camus mengatakan untuk tidak
lagi memunculkan rasa bersalah dalam diri; tidak ada kata maaf. Sepintas ini
bertentangan dengan etiket umum di kalangan Jawa: terlalu banyak kata maaf dan
rendah diri di sana-sini. Bahkan berjalan di gang pun, kita harus mengucapkan
“nuwun sewu” pada orang tua yang sedang duduk santai di depan rumah. Menurut
Camus, kata maaf sebenarnya adalah usaha melepaskan tanggung jawab dari kesalahan.
Dia mengajak manusia menguasai diri, sesadar-sadarnya atas segala tindakannya.
Jika pun ada kesalahan, mereka tidak perlu minta maaf; cukup maju selangkah dan
berkata, “Aku yang melakukannya dengan sadar, tidak perlu melihat orang lain.
Tentu aku bertanggung jawab atas kelakukanku.” Suatu keberanian yang sedang
hilang dari wajah pemimpin negara. Mereka lebih suka menihilkan diri sendiri
dalam tindakan. Menjadikan peraturan yang dibuatnya sendiri untuk
menenggelamkan tanggung jawab. Kita lebih sering melihat saling lempar tanggung
jawab antar instansi saat mereka terkena masalah. Itukah sifat dasar bangsa
kita?
Pramoedya, sang realis juga
eksistensialis. Dalam kuartet novelnya yang berlatar penjajahan Belanda,
menampilkan perjuangan atas persamaan hak dan tingginya harga diri. Harga diri?
Anda pernah mendengar orang yang gila harga diri, itukah yang diinginkan Pram?
Tidak. Kita perlu memberi istilah lain untuk salah kaprah istilah gila harga
diri, yakni: Gila Penghargaan! Pram mengajarkan kita untuk tidak saling
memangsa, dan merasa unggul jika berhadapan dengan sesama manusia. Dalam Jejak
Langkah, dia menulis, “Diri datang bukan untuk menang, tak pernah bercita-cita
jadi pemenang atas sesama”. Nama aslinya yang seharusnya Pramoedya Ananta
Mastoer, digantinya dengan menghilangkan suku kata “Mas”, sebagai lambang bahwa
dirinya menjunjung tinggi kesetaraan. Dan seperti pejuang kesetaraan, dia
selalu dianggap sebagai pemberontak yang mengancam keamanan negara.
Nietzsche, dengan
Zarathustra-nya yang menyindir tanpa ampun. Menghancurkan nilai moral,
sekaligus menumbuhkan nilai moral yang baru. Apa nilai moral yang baru?
Kehendak katanya, segala sesuatu adalah karena kehendak, kehendak akan kuasa
khususnya. Tuhan telah mati, katanya. Segala nilai moral berdasar ketuhanan
juga ikut hancur bersamanya. Manusia hanya harus kembali menuju dirinya sendiri
untuk membunuh Tuhan. Manusia adalah batu berpori, mereka ingin menjadi utuh
tanpa lubang sehingga mau tak mau harus mengisi lubang pori-pori itu dengan
sesuatu disebut Tuhan. Oh iya, Nietzsche sendiri mempunyai idola yang
berubah-ubah. Dia pernah jatuh cinta pada karya Richard Wagner, seorang
komposer Jerman. Pada waktu yang lain dia terkesima dengan pemikiran filsuf
Schopenhauer. Pada akhirnya, dia memusuhi kedua idolanya itu.
Ludwig van Beethoven, seorang
yang baru saja kukenal lewat sebuah film “Copying Beethoven”. Di dalamnya saya
mengenalnya sebagai seorang yang tidak peduli pada nilai moral pada umumnya.
Dia tidak pernah meragukan kemampuannya sendiri dalam bermusik. Dia berkata,
“Tuhan berbisik kepada semua orang, tapi kepadaku Dia berteriak hingga aku
tuli.” Beethoven memang seorang tuli, bisakah anda membayangkan seorang
pencipta musik yang tuli? Dalam kesempatan lain, Beethoven juga sedikit diulas
pada novel Jostein Gaarder berjudul “Gadis Jeruk”, dia berkomentar “Beethoven
memiliki surga dan nerakanya sendiri, itu terbukti pada simfoni Moonlight.”
Saya sendiri tidak terlalu paham musik-musik opera klasik. Namun, musiknya saya
akui menenangkan. Dia sendiri mengomentari bahwa musiknya, “menjembatani
jiwa-jiwa manusia”.
Iwan Fals, Virgiawan Listanto
nama aslinya. Saya mengenalnya semasa SMP, saya jatuh cinta pada lagu “Sore
Tugu Pancoran” yang dimainkan radio di rumah. Karyanya mewakili kondisi warga
menengah ke bawah. Anak kecil loper koran yang rela meninggalkan pekerjaan
rumah demi mendapat biaya sekolah. Pelacur penafkah keluarga yang sepi
pengunjung (cerita pada lagu “Azan Subuh Masih di Telinga” dan “Doa Pengobral
Dosa”). Belum lagi lagu romantisnya semacam “22 Januari”, “Yang Terlupakan”,
atau “Jendela Kelas Satu”. Aaah, sungguh memikat. Sebelumnya, saya adalah
seorang fans dari Rhoma Irama, sebelum akhirnya saya sadar bahwa dia adalah
“pengkhotbah moral” yang lebih suka menentang kejahatan dan berlagak suci dalam
kedok gitarnya, saya khilaf.
Saya kira setiap idola yang
layak dimaknai sebagai idola tidak terlalu silau dengan nama besar dan
penghargaan. Baginya, fans yang bisa menemukan dirinya sendiri dalam karyanya
adalah penghargaan yang cukup.
0 komentar:
Posting Komentar