Tugas besar yang paling berkesan, seingat saya adalah TB
(Tugas Besar) Hidrologi. Saya menghitung fluktuasi air banjir dan menentukan
debit maksimum saat banjir. Poin yang berkesan di sini adalah mahasiswa harus
menulis tangan, saya tegaskan, tulis tangan sebanyak tiga ratus lembar di
kertas HVS/A4 yang kemudian dibendel. Isi bendelan tugas ini adalah
hitungan-hitungan dengan rumus yang terkadang tidak dimengerti konsepnya. Saya
bersyukur ada manusia jenius yang menciptakan pogram bernama MS. Excel. Saya
tinggal copy paste file berisi rumus
dari Vivi, teman saya, kemudian memasukkan variabel-variabel pengubah, dan
hasilnya disalin di atas kertas.
Mahasiswa
Teknik Sipil sudah terbiasa menulis. Tangan mereka sudah lihai, luwes. Mereka
biasa menulis dengan rentang waktu yang padat. TB setebal tiga ratus lembar dikerjakan
dalam kurang lebih satu bulan. Bisa dibayangkan seberapa sering mereka menulis.
Bisa dibayangkan pula seberapa keren mereka yang mengejewantahkan pemikiran ke
dalam tiga ratus halaman dalam waktu sesingkat itu. Tan Malaka saja mengerjakan
karyanya master piece-nya, Madilog,
dengan waktu delapan bulan, itupun tidak setebal tiga ratus halaman.
Dalam
film “Finding Forester”, William Forester yang diceritakan sebagai novelis
legendaris memarahi Jamal, muridnya, yang tidak kunjung menulis ketika sudah
duduk di hadapan mesin ketik. Jamal tidak kunjung menulis karena pikirannya
buntu, tidak tahu apa yang akan ditulis. William memarahi Jamal untuk segera berhenti
berpikir dan segera menulis. Baginya, menulis akan lebih jujur jika kita mengawali
menulis dengan hati, bukan dengan berpikir. Namun, tentu saja untuk mereka yang
belum terbiasa menulis, menulis adalah hal yang sulit dilakukan, peduli itu
diawali dengan hati atau dengan pikiran. Senior saya di Tegalboto, Oryza,
mengatakan bahwa belajar menulis seperti belajar sepeda kayuh. Sama seperti
belajar sepeda, keahlian menulis akan timbul hanya jika sudah menjadi
kebiasaan.
Menjadikan
menulis sebagai kebiasaan sudah menjadi jati diri dari mahasiswa Teknik Sipil. Sebagian
besar laporan dan tugas besar dikerjakan dengan menulis tangan. Nasihat untuk
membiasakan diri untuk menulis sudah basi, seperti menyuruh anak SMA
mengerjakan soal UAN SMP.
TB Pasti Berlalu
Tugas tetap saja tugas. Satu-satunya
bagian yang membahagiakan dari mengerjakan tugas adalah saat mengakhirinya. Seberapa
cepat kebahagiaan dicapai, diukur dari seberapa cepat menyelesaikan tugas
besar.
Jangan bertindak sok suci untuk menikmati
proses. Mereka yang menikmati proses dengan sengaja meninggalkan keutamaan
pencapaian dan berakhir dengan molornya kelulusan. Lagipula, berproses pun
tidak terlalu berguna banyak. Jika yang dikatakan berproses adalah mengamati
kembali pekerjaan tugas besar kakak tingkat yang dijadikan contekan untuk
kemudia mendapat hasil yang lebih akurat, dosen tidak peduli. Mereka hanya
ingin mahasiswa menyetor bendelan bercover biru untuk dijadikan tiket masuk ruangan
ujian akhir semester atau beberapa persentasi nilai akhir.
Namun,
saya melihat sudah banyak mahasiswa yang sadar akan keutamaan hasil akhir ini.
Mahasiswa menulis tugas besar dengan menanggalkan sifat kritis, rumus yang
salah tidak dikoreksi. Saya rasa itu wajar, mereka hanya ingin cepat lulus. Kuliah
tidak murah, semakin lama lulus maka semakin banyak uang yang terkorek habis. Berbanding
terbalik, jika cepat lulus maka semakin banyak uang yang masuk di kantong –jika
mendapat pekerjaan sih. Tugas besar
yang menjadi penghalang kelulusan patut diselesaikan secepatnya demi kesehatan
kondisi keuangan dan terjaganya harga diri.
Mengerjakan
tugas besar seperti maraton. Keringat-keringat yang jatuh di sepanjang rute sama
banyaknya dengan kejengkelan karena sulit bertemu dosen-asisten/asisten-dosen. Kaki
yang kram karena kelelahan sama berartinya dengan buntu karena bosan menuliskan
rumus-rumus absurd. Kami terpaksa untuk memahami bahwa kebahagiaan dicapai
dengan jalan penderitaan. Di saat keringat membasahi badan dan kaki mulai
pegal-pegal, terbayang di dalam kepala kami pita garis finish yang akan menanti
kami.
Setelah
melewati pita itu kami akan berbahagia, seolah lupa bahwa pita itu bukan hanya
garis finish, tapi juga garis start untuk rute selanjutnya. Kebahagiaan kami
hanya sementara. Kebahagiaan itu lenyap seketika kami menyadari harus kembali
berlari menuju garis finish selanjutnya. Terkadang kami benci, mengapa mengorbankan
diri pada penderitaan yang begitu lama hanya untuk kebahagiaan yang sementara.
Saya teringat nasihat Freud tentang kebahagiaan dan penderitaan. Dia
mengatakan, “Manusia lebih mudah menjadi menderita daripada berbahagia,”
begitulah kira-kira nasihatnya.[]
0 komentar:
Posting Komentar