-Agustira Rahman Ilhami-
Tukang, layaknya
para buruh, pekerja kasar. Seperti buruh lepas, mereka berganti-ganti tempat
bekerja. Ganti tempat, ganti proyek, juga ganti bidang. Pada proyek berskala
kecil menengah, mereka bisa mempunyai pengalaman mengerjakan berbagai macam bidang
pekerjaan. Maksud saya berbagai macam pekerjaan adalah mereka bisa saja pernah
menggarap jembatan (transportasi), gedung (struktur), atau mungkin bendungan
(bangunan air). Pada proyek kecil menengah biasanya tidak dilakukan seleksi
terlalu ketat terhadap para tukang
mengenai spesifikasi keahliannya.
Meski banyak
yang tidak memiliki sertifikat keahlian, para tukang tidak bisa dianggap enteng
dalam hal keahlian. Pengalaman bertahun-tahun di bidang bangunan terkadang
membuat mereka mengerti struktur tanpa menghitung. Waktu yang mengajarkan
mereka. Seperti kata Albert Cammus. Semua hanya masalah terbiasa. Saya sedikit
iri dengan mereka, bagaimana bisa mereka mengerti struktur tanpa menghitung,
sedangkan kuliah saya lebih sering diisi lembur bersama Microsoft Excel dan
kalkulator?
Memang ada
konsekuensinya, tidak bisa kita mengatakan bahwa para tukang lebih mudah
memahami struktur karena melalui proses tanpa hitungan struktur rumit. Kita
lihat bahwa mereka menghabiskan minimal sepuluh tahun untuk melatih pemahaman
tersebut. Dengan mengetahui itu, diharapkan tidak ada yang menganggap bahwa
“insting insinyur” tumbuh secara instan. Kecuali, anda setuju dengan orang yang
menganggap bahwa menjadi tukang (bekerja kasar) selama sepuluh tahun adalah
menyenangkan. Sepuluh tahun bukan masa yang pendek. Berpeluh-peluh menyangkul
adukan spesi, menata bata, hingga mengangkat kuda-kuda utuh ke atap bukanlah
perkara yang menyenangkan, utamanya bagi
sebagian besar mahasiswa Teknik Sipil yang biasa duduk di kelas.
Para tukang
adalah korban zaman, begitu ungkap Ahmad Tohari dalam novelnya “Orang-Orang
Proyek”. Pada awalnya, tidak ada yang pernah bercita-cita menjadi seorang
tukang bangunan. Profesi ini tidak terlalu meningkatkan harkat martabat
keluarga. Tidak terlalu menjanjikan penghasilan yang tetap. Para tukang
sebagian besar berpendidikan rendah. Bukan berarti bodoh, namun mereka lebih
memilih bekerja sedari muda untuk mencukupi keluarganya daripada meneruskan ke
jenjang yang lebih tinggi. Kemudian mereka mengekor kepada tetangganya di desa
menuju sebuah proyek di kota. Awalnya mereka menjadi kuli (asisten tukang).
Setelah cukup pengalaman dan insting yang kuat, mereka bisa naik ‘pangkat’ menjadi
tukang.
Desa menjadi
tempat lahirnya tukang. Di Banyuwangi, saya jarang mendapatkan bahwa tukang
dalam proyek berasal dari kota (Kecamatan Banyuwangi). Banyak dari mereka yang
berasal dari pedesaan barat (Kecamatan Glagah, Licin) dan dari masyarakat
sederhana daerah selatan (Kecamatan Muncar, Cluring, Srono, dst).
Bisa dibilang
keahlian tukang dibesarkan oleh kondisi sosialnya mereka bekerja. Pada awalnya
para tukang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kecil semacam jembatan penghubung
jalan kabupaten atau rumah tinggal berlantai dua. Proyek berskala kecil ini
mengakibatkan mudahnya proyek tersebut diamati. Para tukang pemula dengan mudah
bisa mengingat berapa banyak material yang sudah keluar masuk hari ini. Mereka
lalu membandingkan dengan volume pekerjaan yang mampu dikerjakannya dengan
material itu. Misalnya saja, dua hari lalu dating seribu buah batu bata
menggunakan satu mobil pick-up. Mereka kemudian mengamati bahwa dengan seribu
bata, mereka mampu membuat tembok seluas empat belas meter persegi. Hal
tersebut cukup kecil sehingga bisa diamati oleh para tukang.
Pengamatan-pengamatan
tersebut berlanjut pada obyek lain pada bangunan seperti berapa pada keramik,
pekerjaan pintu, plafon, atau pekerjaan atap. Bahkan, tukang yang ‘keren’, bisa
menghitung dengan cepat (dan terlihat mudah) kebutuhan tulangan pada plat
beton. Pengamatan-pengamatan seperti ini tidak akan berhasil jika dilakukan
pada proyek berskala besar seperti gedung berlantai lebih dari tiga. Pada
akhirnya, saya akan mempunyai alasan mengapa setiap orang harus berangkat dari
hal-hal kecil.
Para tukang
adalah insinyur alam. Mereka mengetahui apa yang salah pada bangunan dengan
melihatnya saja. Saya mempunyai teman yang mengaku beruntung mendapatkan tukang
yang pintar. Dalam renovasi rumah saudaranya, teman saya (mahasiswa teknik
sipil) menyerahkan gambar denah dan tampak depan yang diinginkan. Tukang
tersebut melihat gambar tersebut dan meminta ijin untuk merevisinya. Teman saya
mengijinkan, dan di akhir proyek dia berkata bahwa cukup puas dengan perubahan
pada gambar yang direvisi tadi. Jika teman saya yang sebagai mahasiswa dan
tukang ini saya sebut sebagai sampel dari golongan masing-masing, saya bisa
mengatakan bahwa insting insinyur milik para tukang lebih baik daripada
mahasiswa.
Dosen saya
mengajarkan bahwa insting insinyur hanya akan didapatkan saat sering berada di
proyek. Namun, saya tidak setuju pendapat itu (saya bisa mengelak, karena
pendapat dosen saya belum diresmikan dalam SNI). Insting insinyur juga bisa
didapat melalui proses-proses di dalam kelas. Mahasiswa yang notabene sebagai
akademisi bisa disebut kalah jauh dengan intensitas keberadaannya di area
proyek. Mereka sesuai dengan tugasnya sebagai mahasiswa, lebih sering
menghabiskan waktu di dalam kelas membahas rumus dan flowchart perhitungan
struktur. Insting insinyur bisa tumbuh andaikata mereka tahu mengenai maksud
dari tahapan-tahapan perhitungan, ditambah lagi intensitas berlatih melalui
contoh-contoh soal. Adanya keberlanjutan latihan akan membuat mereka tahu
ketika hasil perhitungan yang didapatkan tidak normal. Misalnya saja, kolom
baja yang terkena beban 10 ton biasanya cukup dengan profil WF.200. Ketika
dalam perhitungan didapatkan bahwa hasilnya lebih besar atau lebih kecil dari
hasil biasanya, mereka bisa tahu bahwa ada yang salah dari perhitungannya.
Bahkan, jika mahasiswa lebih teliti, insting insinyur mereka tidak akan
berhenti pada bangunan yang berukuran sedang saja. Hal ini tentu berbeda dengan
insting insinyur milik tukang yang hanya berlaku pada bangunan berukuran
sedang.
Insting insinyur
bisa tumbuh di dalam kelas maupun di luar kelas. Mahasiswa tidak perlu berkecil
hati jika mereka didamprat oleh tukang dengan perkataan, “Gawe opo sekolah?
Teorimu gak digawe nang kene!” Tukang
juga tidak seharusnya terkena omelan tak berlogika dari para pelaksana lulusan
Teknik Sipil hanya karena mereka tidak pernah bersekolah di bidang Teknik
Sipil. Tukang dan mahasiswa bisa menumbuhkan pemahaman terhadap bangunan
melalui proses yang berbeda. Penghormatan terhadap proses masing-masing akan
menuju pemahaman yang sama.
Namun, melihat
realita yang ada, ternyata proses-proses di dalam kelas yang terlalu berlebihan
akan menimbulkan masalah. Banyak dari mahasiswa yang akhirnya tidak mengerti
apa yang sedang mereka hitung. Jari-jari mereka hanya bisa menekan tombol
kalkulator sesuai dengan persamaan yang diinginkan rumus dan peraturan. Ketika
ditanya, “Kamu menghintung apa?” “Saya tidak tahu!” Saya tidk menyalahkan. Pada
satu titik jenuh, beberapa hal dalam perhitungan saya pikir tidak penting untuk
dicari tahu. Yang penting kan dapat “A”, eh!!
0 komentar:
Posting Komentar