Seorang penjaga pintu makam yang duduk di depan gerbang tiba-tiba
berdiri menghampiri seorang pengunjung. Sambil mengulurkan tangan memberikan
kartu parkir kendaraan, dia berkata kepadanya, “Setaun pisan engete (Ingatnya setahun sekali).” Pengunjung makam
menerima kartu parkir sambil bermuka masam. Siapa orang ini, tiba-tiba merusak
niat baik kedatanganku ke makam? Omongan itu nyata benar di satu sisi, keluarga
memang hanya mengunjungi makam setahun sekali meski tidak berarti itu
menunjukkan bahwa dia tidak peduli. Maksud saya, kehidupan sehari-hari memang
butuh perhatian yang penuh sehingga mereka hanya punya waktu setahun sekali
untuk mengurusi makam. Bagaimanapun, omongan itu tetap mengganggu benak
pengunjung. Tapi penjaga pintu makam mengatakannya sambil tersenyum dan itu
membuatnya terhindar dari kemarahan pengunjung makam. Pengunjung akhirnya
menganggap omongannya sebagai angin lalu, dan cepat-cepat melewati gerbang
kecil untuk memasuki areal makam dan meninggalkan penjaga makam. Penjaga makam
masih tersenyum, sepertinya dia adalah orang yang ramah.
Selepas
ditinggalkan oleh pengunjung yang melemparkan muka masam tadi, dia kembali
bekerja. Dia memberikan kartu parkir pada setiap pengunjung yang datang, tentu
diselingi dengan omongan pembuka yang tidak penting lainnya, misalkan, “Saiki kuburane bersih kan? Kijinge
podo dibongkari.” Seperti pengunjung yang lalu, para pengunjung lain
menganggapnya sebagai omong kosong. Mereka menganggap penjaga makam hanya ingin
terlihat akrab dengan pengunjung sehingga pengunjung bisa mempercayakan sepeda
motornya padanya dan berziarah dengan khidmat.
Di
pemakaman, para pengunjung bertemu dengan tetangga dekat yang makam keluarganya
berada satu lokasi. Ibu-ibu bertemu dengan ibu-ibu lain yang biasa duduk
bersama di depan halaman rumah membincangkan hari-hari atau tetangga lain
hingga lupa waktu. Anak-anak bertemu temannya yang sama yang diajaknya bermain
bola setiap hari. Ayah-ayah bertemu dengan ayah-ayah lain yang biasa membicarakan
kondisi lingkungan di saat rapat mingguan. Tapi di makam, tak ada perbincangan,
permainan ataupun gosip. Topik-topik semacam itu bukanlah alasan setiap orang
untuk mengunjungi makam, mereka hanya ingin menghabiskan sore kali ini
untuk mengingat yang mati, merenung
sejenak mengingat kenangan. Pikiran mereka terbang ke masa lalu, membayangkan
betapa pernah berartinya hidup mereka bersama yang mati.
Beberapa dari
pengunjung menangis, umumnya makam yang ditangisi adalah makam-makam baru. Ini
maklum, keluarga masih belum percaya bahwa saudara yang terkubur ini telah
meninggal, seperti baru kemarin mereka melihat yang terkubur ini lalu-lalang di
depan gang rumah dan sekarang dia telah meninggal. Perlu beberapa waktu untuk
membuat keluarga yang hidup ini sadar bahwa kehidupan mereka harus terus
berlanjut tanpa kehadiran saudara yang meninggal.
Pengunjung
makam yang bertemu tetangganya tidak melakukan perbincangan panjang, hanya
saling sapa. Ada kesadaran kolektif yang ada pada setiap pengunjung makam yang melarang
mereka berbicara banyak satu sama lain. Mereka tidak akan banyak berbicara satu
sama lain tentang kemajuan atau keadaan terkini dunianya di makam. Wacana yang
boleh muncul di makam adalah melulu tentang kehidupan si mati, yang itu berarti
pengunjung hanya relevan membicarakan masa lalu, bukan masa kini. Di makam,
mereka yang hidup adalah tamu dan yang mati adalah tuan rumah. Kedatangan si
tamu adalah untuk berbicara dengan si mati, bukan berbicara hanya dengan sesama
tamu. Anda bisa membayangkan saat bertamu bersama dengan dua atau tiga teman
anda dan tidak mengajak tuan rumah dalam obrolan. Jika saya tuan rumahnya,
mungkin saya akan segera mencari pembicaraan penutup agar para tamu segera
pergi. Mereka para tamu akhirnya hanya melakukan tegur sapa seperlunya demi
menghormati yang mati. Terkadang mereka hanya saling senyum dan menganggukkan
kepala, sebagian yang ramah mungkin ikut melambaikan tangannya, itupun masih
terasa mengganggu, apalagi yang disapa sedang khusyuk berjongkok di depan makam
ibu atau ayah yang mereka cintai.
Areal makam telah bersih dari rumput liar, penjaga makam telah
membersihkannya. Dua hari sebelum datangnya gelombang pengunjung, penjaga makam
mencabuti rumput liar hingga ke akarnya sehingga areal makam seluruhnya hanya
berwarna cokelat tanah. Setiap gundukan dan nisan mulai terlihat jelas
terhampar. Dengan bersihnya areal makam, para pengunjung makam yang hanya
berkunjung satu tahun sekali mulai sadar bahwa areal makam ini mulai padat.
Tahun sebelumnya, mungkin mereka bisa lega berjongkok hingga bisa bersila,
namun sekarang pantat mereka mulai menyentuh gundukan tanah makam lain atau
nisan lain, dan tidak jarang mereka harus bersila dengan sedikit bagian pantat
menduduki gundukan tanah di belakangnya. Setelah bangkit dari duduknya, mereka
melayangkan pandang pada setiap sudut makam, tanyanya dalam hati, “Dimana tanah
tersisa untukku nanti?” Penjaga makam paham akan keadaan ini, beberapa tahun
lalu dia memasang papan larangan untuk mengkijing kuburan, dan tahun ini dia mulai
membongkar kijingan yang sudah dibangun sebelum larangan mengkijing muncul. Kedua
peraturan ini tidak berpengaruh apa-apa, kematian terus berlanjut dan areal
makam tetap bertambah sesak. Namun paling tidak, peraturan ini menunjukkan
bahwa pengurus makam mulai khawatir jika suatu nanti areal makam tidak lagi
mencukupi untuk penghuni baru. Sebenarnya, untuk menghadapi keaadaan ini,
harusnya diterbitkan peraturan untuk menggali kembali makam berusia lebih dari
20 tahun, 50 tahun, atau kapanpun. Namun, penjaga makam akan mendapat gelombang
protes keras jika membuat peraturan ini, karena makam bagi yang hidup bukan
sekedar mengubur yang mati, namun juga ikut mengubur kenangan-kenangan yang
pernah membuat mereka merasa hidup. Satu alasan mengapa pengurus makam hanya berani
menerbitkan larangan mengkijing dan pembongkaran kijingan adalah jika suatu
saat nanti areal makam terlalu padat dan tidak ada tempat lagi bagi yang baru meninggal,
maka mereka sewaktu-waktu bisa langsung menggali makam lama dan tidak harus menguras
tenaga untuk menghancurkan beton makam berkijing. Itulah yang bisa dilakukan
para pengurus makam, sebuah pekerjaan yang sebenarnya remeh namun berurusan
dengan kenangan kehidupan orang banyak.
Di depan pintu gerbang makam, juga bersanding dengan tukang parkir
dua ibu-ibu dan seorang anak perempuan tampak di sekitar meja yang penuh dengan
bunga. Di bawah mejanya beberapa ember penuh air diletakkan dan beberapa lagi
kosong. Satu ember separuh isi diangkat oleh salah satu wanita dan memercikkan
airnya pada bunga-bunga yang dijualnya agar tetap terlihat segar, selain itu
air juga membuat aroma bunga menyebar. Satu wanita yang tidak melakukan apa-apa
hanya duduk di belakang meja sambil menunggu jika ada pengunjung yang membeli
bunga. Usaha ini nampak sia-sia saja, karena ternyata pengunjung makam telah
membawa bunga ziarah yang mereka beli dari pasar ataupun dari deretan penjual
bunga yang membuka lapak sekitar lima puluh meter dari pemakaman. Usaha
berjualan bunga tepat di pintu gerbang makam tak seramai jika dibandingkan
dengan berjualan di lokasi lain tersebut. Lapak penjual di pasar tradisional
terlihat ramai didatangi peziarah yang secara kebetulan lewat pasar
tradisional. Pada lapak yang berjarak lima puluh meter sebelum mencapai makam,
pembeli bunga parkir di pinggir jalan dan membuat lalu lintas sedikit
terhambat. Lapak bunga di depan gerbang makam sepi, pengunjung makam tahu
etika. Mereka menganggap bahwa bunga adalah oleh-oleh untuk si mati, dan jika kembali
mengandaikan si mati sebagai tuan rumah yang sedang sakit, anda sebagai tamu
tidak akan membeli oleh-oleh roti atau buah pada penjual yang nongkrong di
depan rumah tuan rumah. Begitulah yang hidup masih menghormati yang mati, namun
penjual bunga di depang gerbang masih tetap mendapatkan penghasilan dari
pengunjung makam yang terlalu sibuk bekerja lupa membawa bunga ziarah hingga
sebelum dirinya melihat penjual bunga di depan gerbang pemakaman. Dan itu
jumlahnya tidak sedikit, sekalipun tidak seramai lapak di lokasi lain, mereka
masih mempunyai kesempatan menjual habis bunganya dengan mengandalkan kealpaan
pengunjung makam tadi.
Penjual bunga
di depan gerbang makam memecah kebosanan dengan berbicara dengan penjaga makam
yang sekarang merangkap sebagai tukang parkir. Obrolan yang menarik keduanya
identik, mencemooh para pengunjung makam yang datang hanya setahun sekali.
Dalam hati, mereka menginginkan setiap hari pengunjung makam tetap datang
sehingga mereka tetap bisa bekerja dengan profesi mereka saat ini, tapi itu
mustahil.