Dari keempat kakek dan nenekku,
aku hanya pernah bertatap muka dengan satu di antaranya. Dia adalah ibu dari
ibuku. Hal yang paling kuingat darinya adalah dia sering membuat kue menjelang
hari raya. Banyak orang yang memesan untuk dibuatkan kue. Ada beberapa kue yang
bisa dipesan kepada mbah (aku memanggilnya demikian), yakni tingting jahe,
tingting kacang, sato, kue mawar dengan selai nanas (aku tidak tahu nama yang
umumnya dipakai untuk kue ini).
Menjelang hari raya Idul Fitri,
mbah selalu sibuk. Dia membuat kue dari pagi hingga sore. Pada pagi hari dia
mulai menata kayu bakar dalam tungku. Dia membutuhkan bahan bakar kayu dengan
apinya yang besarnya tidak bisa dihasilkan dari kompor minyak.
Di atas tungku itu kemudian dia
melelehkan gula hingga berbentuk lengket semacam lem kertas, warnanya kuning
tua. Ibu tidak terlalu bisa memasak, dia terkadang membantu tapi hanya untuk
hal-hal sepele seperti merendam dan mengupas kacang, menjemur buah asem, dan
mengepak kue ke dalam toples. Terkadang aku juga membantu di dapur, jika tidak sedang
bermain biasanya aku ikut mengaduk gula yang sedang dipanaskan, ikut
mencetak kue sato. Aku juga ikut memotong lembaran kue tingting jahe dan
tingting menjadi bagian-bagian kecil sebelum masuk ke toples. Tapi itu tidak
sering, ayah mengingatkanku untuk tidak terlalu sering beraktifitas di dapur,
katanya dapur itu urusannya wanita. Sejak itu aku mulai berpikir dua kali jika
ingin membantu mbah di dapur, lagipula aku tidak benar-benar membantu di dapur,
mbah sering harus mengaduk lagi gula yang telah aku aduk, dia harus menuntun
pisauku saat memotong lembaran kue. Hematnya, aku di sana hanya merepotkannya
saja.
Dapurku untuk membuat kue masih beralaskan tanah, luasnya hampir sepertiga keseluruhan
luas rumah. Tidak ada kompor gas, hanya tungku api yang terbuat dari batu
bata. Bahan bakarnya adalah kayu kering, mbah biasanya menyimpan cadangan kayu
kering di depan rumah di bawah teritisan atap, di samping taman depan. Di dapur
itu juga ada meja makan bertaplak merah muda dengan corak persegi kecil.
Ukurannya cukup besar untuk menampung sekitar delapan jenis masakan di atasnya.
Dapurku tidak pernah terlihat
berkilau, tembok dan tungkunya berwarna hitam akibat asap dari sisa pembakaran
kayu bakar. Tidak ada langit-langit, aku bisa melihat genteng dan rangka
atapnya dari bawah yang juga berwana hitam. Lantainya berwarna coklat
kehitaman, kadang becek karena ada tetesan air yang jatuh dari atap yang bocor,
tapi itu tidak sering.
Saat aku SMP, rumahku
direnovasi. Atapnya ditinggikan, ubin lantai diganti dengan keramik. Dapurnya
juga ikut diperbaiki. Lantai tanah diganti keramik, tungku diganti kompor minyak,
tidak ada tembok hitam. Waktu itu mbah tidak terlalu keberatan, karena dia memang
akan berhenti menerima pesanan kue, lebih tepatnya ibu dan ayahku yang
menyuruhnya berhenti. Dia mulai sering sakit, ibu merasa dia sudah cukup
bekerja di usianya yang menginjak tujuh puluh tahunan. Lagipula keadaan ekonomi
keluargaku juga sudah meningkat, nafkah yang dicari ayahku cukup untuk sedikit
memanjakan mbah. Ayah dan ibu sepakat untuk menyuruhnya berhenti membuat kue
agar sakitnya tidak berkelanjutan.
Aku tidak terlalu ingat dia
menderita sakit apa saat dia baru berhenti membuat kue. Aku hanya ingat saat
aku sudah sekolah di SMK, dia menderita flu tulang. Nama yang aneh untuk sebuah
penyakit, karena aku tahu bahwa tulang tidak akan bisa batuk. Apapun itu, dia
menjadi lebih ringkih saat berjalan. Dia sering berjalan pelan-pelan dengan
telapak tangan bersandar kepada tembok. Dia juga jarang keluar rumah. Dia lebih
sering menghabiskan aktivitas di ruang tamu untuk sekedar melihat jalanan dari
balik kaca jendela. Jika terdengar suara adzan, dia ke kamar mandi mengambil
wudhu’ kemudian sholat di kamar. Setelah itu dia kembali ke ruang tamu, kadang
juga dia terlelap setelah melakukan sholat.
Seiring bergulirnya waktu,
kesehatannya semakin memburuk. Dia semakin jarang duduk di ruang tamu, lebih
sering berada di dalam kamar. Dia keluar kamar hanya pada saat ingin mandi dan
wudhu’. Saat makan, ibu mengantarkan makanannya ke kamarnya.
Aku tidak mengerti seberapa
besar mbah menyayangiku. Itu dikarenakan mbah tidak terlalu banyak berbicara.
Dia jarang menasehatiku, dia hanya sering marah saat aku tidak kunjung pulang
bermain sepak bola saat adzan maghrib. Dia juga marah saat aku keluar rumah
pada jam dua siang untuk bermain. Dia keberatan jika aku bermain saat panas
matahari masih menyengat, tapi aku menyukai bermain sepak bola di bawah panas
matahari sehingga aku terlalu mendengarnya dan sering mencuri kesempatan keluar rumah saat dia
lengah. Sekalipun demikian, dia sering memujiku sebagai anak pintar saat aku
mendapatkan ranking tinggi di kelas. Dia juga sering menyuruhku belajar di
malam hari, tapi aku jarang menurutinya karena merasa pelajaran di kelas
terlalu mudah sehingga lebih sering mengerjakan PR di sekolah pada pagi hari.
Saat aku sudah kuliah di Jember,
ibu mengatakan bahwa mbah sering tanya kabarku. Aku paham kekhawatirannya,
sehingga aku masih sering untuk pulang agar dia tidak terlalu bingung
memikirkan kabarku. Dia meninggal saat aku semester
tiga. Dia meninggal bersama sakit yang dideritanya, tapi aku lebih senang
menganggapnya sakit karena memang sudah waktunya. Jika aku tidak salah, dia
meninggal pada hari Sabtu. Waktu itu aku masih bekerja sebagai tukang gambar freelance pada akhir pekan. Aku ingat
ibu meneleponku saat aku di dalam mobil untuk survey lokasi perumahan yang akan
aku gambar. Dia meninggal pada tengah hari, setelah dia melakukan sholat
dhuhur.
Sejak saat itu, aku mulai
berpikir bahwa satu kamar di rumah kami akan kosong. Aku juga tidak akan melihat
orang berbaju kebaya lagi di rumah, aku yakin ibu dan adikku tidak akan mau
memakai kebaya mengikuti tradisi. Aku juga teringat bahwa aku lupa mencium
tangannya untuk berpamitan sebelum bekerja tadi pagi, aku sedikit menyesal
untuk itu. Lebih menyesal lagi saat aku tidak bisa mengingat apa percakapan
terakhir kami berdua.
Bagaimanapun, aku tidak perlu
menyesali kepergiannya. Aku rasa dia telah berbahagia karena mengakhiri
perjalanan waktunya di dunia saat anak-anaknya telah mandiri, dalam artian
tugasnya sebagai orang tua dan nenek telah selesai. Jikapun ada alasan bagi
Tuhan untuk mempertahankan dia di dunia, itu adalah sekedar untuk membuat
anak-anaknya mempunyai kesempatan untuk membalas budi untuk merawatnya. Tugas
pokoknya telah selesai, dan dia layak untuk mendapat keabadian sebagaimana yang
pernah Tuhan janjikan. (17/11/2014)
*Tulisan ini saya buat untuk
Dewi Fatmawati yang baru saja kehilangan neneknya. Semoga kamu punya keikhlasan
yang besar dan menghilangkan keinginan egois untuk menikmati waktu bersamanya.
Dia pasti bahagia karena meninggalkan dunia fana, surga sudah diciptakan untuk
membahagiakan jiwa manusia yang lelah.